Suatu malam pada awal Januari 2014, saya yang berlabel jurnalis Tempo duduk semeja di restoran cepat saji dengan seorang narasumber. Dia minum kopi sambil asyik dengan ponselnya. Sementara, saya menulis secepat mungkin, menyalin kata-kata dari bundelan kertas berisi pemeriksaan Akil Mochtar yang waktu itu belum lama ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lima menit sebelumnya si sumber bilang, “Ini bahan buat kamu, tapi jangan difoto karena bahaya buat saya. Tulis tangan aja isinya. Jangan lama-lama.”
Waktu itu saya sempat melongo karena sebagai jurnalis era digital (awal), sudah cukup lama tulisan tangan absen dari hidup. Catatan biasanya langsung diketikkan di ponsel, agar saat mengetik berita saya tak pusing mencoba membaca tulisan tangan yang amburadul. Tapi ya sudahlah, ini kesempatan langka, turuti saja perintah si sumber yang sudah saya lobi selama beberapa minggu.
Saya berusaha menyalin tiap kata persis dengan berkasnya, termasuk segala salah ketik dan singkatan. Soalnya, dalam berkas itu ada kutipan dialog Akil dengan Zainudin, orang Golkar Jawa Timur, yang dilakukan via BlackBerry Messenger (BBM). Saya menulis sambil mengumpat dalam hati, misal saat BBM Akil menyebut minta Rp10 miliar buat putusan sengketa pemilihan umum di Jawa Timur. Jancuk, murah tenan rek! 🤑🤬
Hasil salinan saya cek ulang setidaknya dua kali. Makanya, meski yang boleh disalin cuma tiga halaman dari bundelan itu, saya perlu sekitar 20 menit menuliskannya. Selepas berterima kasih pada si narasumber, saya bergegas pindah lokasi untuk mengetikkan tulisan tangan itu.
Ketikan kelar, saya beri tahukan kabar baik ini ke Stefanus Pramono (Pram), redaktur di kantor Tempo di Velbak, Jakarta Selatan. Sebagai jurnalis Tempo News Room, biasanya tulisan dan laporan saya dipakai untuk tempo.co dan Koran Tempo. Rupanya nilai berita si salinan berkas cukup tinggi, jadi ia diolah juga untuk Majalah Tempo. Tentu berkas tidak dimuat begitu saja, tapi diverifikasi dulu oleh para redaktur, juga dilengkapi konfirmasi, reportase, dan tulisan dari jurnalis lain.
Salinan berkas itu diolah jadi “Jalur Beringin Merdeka Barat” dalam Majalah Tempo edisi 13 Januari 2014. Ia dimuat juga di Tempo.co dan Koran Tempo.
Berkas tentang BBM Akil dan Zainudin itu adalah scoop pertama dan terakhir saya di Tempo. Selama sekitar 6 tahun jadi jurnalis Tempo, saya hampir selalu kebagian pos liputan, mulai dari Kementerian Perdagangan, Bursa Efek Indonesia, Mahkamah Konstitusi, KPK, sampai Istana Wakil Presiden dan Presiden. Jadi jurnalis yang ngepos itu harus akur sama reporter lain biar nggak ketinggalan kabar. Kalau suka bikin berita eksklusif (baca: nggak ngajak atau kasih tahu jurnalis lain), kamu bakal rada dikucilkan. Saya juga percaya informasi penting buat publik seharusnya malah dibagikan ke jurnalis lain, bukan disimpan sendiri. Tapi, mungkin pada dasarnya saya hanya malas.
Scoop Akil ini sebetulnya pembuktian diri karena terpicu nasehat keras dari Pram. Kelar cuti kuliah, reverse culture shock bikin saya rada ogah-ogahan kerja. Polusi dan kemacetan Jakarta, lenyapnya privilese dapat Euro tiap bulan (berganti Rupiah berjumlah minimalis), juga melelahkannya pos KPK (meski beban kerja dibagi dua dengan Muhamad Rizki “Gaga” yang sungguh rajin) memperparah burn-out itu.
Sebelum undur diri dari Tempo, segudang kenangan segala rasa saya dapatkan. Mulai dari masa culun saat jadi calon reporter, ngemper di mana-mana nunggu doorstop, bengong-bengong di k̶a̶n̶t̶o̶r̶ ̶L̶u̶r̶a̶h̶ Istana Wakil Presiden, melihat langsung mobil mewah sitaan KPK, menolak “uang transportasi”, hingga sesi karaokean sampai serak dengan kawan di Tempo maupun teman liputan.
Dengan privilese sebagai jurnalis Tempo juga saya bisa bersahabat dengan Vennie, Fame, dan Nila; berteman dengan beberapa jurnalis perbankan yang masih ramai di WAG hingga sekarang; mendapat “tiket” beasiswa; serta menggaet jodoh seorang wartawan Tempo 💗
Tempo hari ini berusia 50 tahun. Meski kalau manusia ia masuk kategori “separuh baya”, Tempo punya banyak pekerjaan rumah. Salah satunya adalah dengan mengubah diri jadi tempat kerja yang lebih ramah pada pekerja perempuan dan memproduksi berita yang lebih sensitif gender.
Industri media massa di Indonesia, termasuk Tempo, masih sangat didominasi lelaki. Tadi saya iseng mengintip masthead Tempo. Perusahaan induk dipimpin seorang Direktur Utama dan tiga Direktur, semuanya laki-laki. Pemimpin Redaksi dan Redaktur Eksekutif tempo.co, Koran Tempo, dan Majalah Tempo — versi Bahasa Indonesia maupun Inggris — semuanya pun lelaki. Semua Redaktur Pelaksana di Majalah Tempo versi Bahasa Indonesia (tujuh orang) dan Koran Tempo (empat orang) juga laki-laki. Di tempo.co proporsi gender Kepala Desk sedikit lebih baik: empat lelaki, dua perempuan. Sedangkan di Majalah Tempo edisi Bahasa Inggris hanya ada satu Redaktur Pelaksana dan ia perempuan: Purwani Dyah Prabandari.
Dengan komposisi pimpinan seperti itu, pantas saja representasi perempuan (apalagi gender nonbiner) dalam pemberitaan Tempo belum optimal. Dalam studi Tempo Institute bersama Pusat Data dan Analisis Tempo pada 2018, Koran Tempo dan tempo.co adalah bagian dari 10 media massa yang dalam sebulan hanya memberi porsi 11 persen bagi perempuan sebagai narasumber. Narasumber lelaki kebagian porsi 89 persen dari hampir 23.000 orang yang dikutip Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Jawa Pos, Tempo.co, Kompas.com, dan Detik.com.
Berita bernada seksis pun relatif mudah ditemukan dalam arsip Tempo.co. Saat saya mencari berita dengan kata kunci “cantik”, muncul 2,84 juta hasil yang terentang dari penjual tahu cantik, manajer cantik, polwan cantik, hingga berita soal cewek cantik mati tragis. Sementara, pencarian kata senada yang dilekatkan pada lelaki, “tampan” dan “ganteng”, masing-masing cuma menghasilkan 4.830 dan 5.420 entri. Kata “cantik” banyak juga dilekatkan pada banyak benda dan konsep dalam berita di Tempo.co, misalnya ponsel, mobil, rumah, diskon, dan tanggal.
Kalaupun ada perkembangan, setidaknya kata menggagahi/digagahi sepertinya makin jarang dipakai Tempo.co sebagai sinonim memerkosa/diperkosa yang nggak ada gagah-gagahnya itu. Berita terbaru yang masih pakai kata digagahi yang bisa saya temukan ialah tulisan pada tahun 2015. Sebagai catatan, sistem dalam Tempo.co membuat pencarian berdasar tanggal agak sulit dilakukan, banyak berita Majalah Tempo zaman dulu yang muncul di awal pencarian karena lamannya baru diunggah belakangan ini. Banyak juga berita pemerkosaan yang tidak menyebut menggagahi/digagahi malah nongol dalam hasil pencarian kedua kata itu.
Kembali ke soal tipisnya perempuan pemimpin di Tempo. Tentu penyebabnya tak tunggal. Ia bisa jadi mencerminkan struktur dalam masyarakat kita yang masih patriarkis. Tempo mungkin merasa tidak mendiskriminasi perempuan untuk jadi pemimpin. Tapi, setidaknya pada masa saya ada di sana, Tempo tidak memahami pengalaman sosial dan biologis perempuan yang berbeda dengan lelaki memerlukan kebijakan perusahaan yang berbeda pula. Panjangnya jam kerja (makin naik posisinya, jam kerja makin panjang pula karena harus menghadiri beragam rapat dan kelas); stamina fisik dan psikis yang harus kuat di lapangan; beratnya beban usulan, liputan, dan penyuntingan; juga gaji minimalis membuat perempuan sulit mendapat alasan untuk bertahan kerja di Tempo. Jika ada peluang mendapat kerja lebih ringan dengan gaji sedikit lebih tinggi daripada Tempo, banyak perempuan awak jurnalis kelompok media ini memilih pindah. Beberapa ada juga yang saking sudah nggak tahannya, memilih keluar meski belum dapat pekerjaan baru (saya termasuk di golongan ini 🤣).
Sependek ingatan saya, belum pernah ada Pemimpin Redaksi perempuan di Majalah Tempo versi Bahasa Indonesia, juga Koran Tempo dan Tempo.co. Tentu ada perempuan-perempuan hebat yang pernah menempati posisi puncak dan hampir-puncak. Yuli Ismartono dan Hermien Y. Kleden pernah menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Tempo edisi Bahasa Inggris. Hermien juga sempat jadi Redaktur Eksekutif Majalah Tempo versi Bahasa Indonesia. Niniel WDA pernah menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Bahasa Indonesia dan Deputi Kepala Superdesk Tempo. Diah Purnomowati tercatat sebagai Redaktur Eksekutif Koran Tempo. Ada pula Mardiyah Chamim, jurnalis veteran yang kemudian melahirkan dan beberapa tahun mengepalai Tempo Institute. Mereka adalah pengecualian, bukan norma, di Tempo.
***
“Kalau mau kaya, jangan jadi wartawan Tempo!”
Kalimat itu salah satu yang paling saya ingat dari masa pelatihan awal sebagai calon reporter di Tempo. Sejak awal ditekankan, meski gajinya kecil, jurnalis Tempo harus berintegritas. Haram terima jalean alias suap. Kalau mendapat merchandise dari acara narasumber pun nilainya dibatasi hingga sekian ratus ribu rupiah, lebih dari itu wajib dikembalikan.
Dalam industri media massa, sesungguhnya gaji di Tempo bukanlah yang paling minimalis. Ada juga wartawan yang lebih miris nasibnya, hanya menerima nominal tak jauh dari upah minimum. Tak perlu membandingkan gaji Tempo dengan kawan-kawan jurnalis di Kelompok Kompas Gramedia (“Gaji besar, tapi susah berserikat!” paling begitu ujaran untuk menenangkan hati jurnalis Tempo yang secara default jadi anggota serikat pekerja di kantor), tapi sudah layakkah upah jurnalis Tempo untuk hidup di Jakarta, kota letak kantor pusatnya?
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada 2020, upah layak jurnalis pemula di ibu kota negara ini adalah Rp8,7 juta. Nominal yang sayangnya masih jauh dari gaji sejumlah redaktur Tempo, apalagi reporter dan calon reporternya. Ini ironis juga, karena sebagian pendiri AJI, juga anggota AJI hingga kini, adalah jurnalis Tempo.
Kenapa sih Tempo sepertinya susah banget cari cuan alias untung, supaya gaji pekerjanya bisa lebih layak?
Salah satu risiko jadi media yang mengandalkan investigasi adalah perlu menganggarkan dana bagi pengacara, untuk menghadapi beragam gugatan. Risiko ini bahkan secara eksplisit tercantum dalam laporan kinerja dan keuangan Tempo semasa saya masih jadi jurnalis peliput Bursa Efek Indonesia (BEI). Investigasi juga perlu waktu, ongkos, dan sumber daya manusia lebih banyak ketimbang liputan lainnya.
Di sisi lain, Tempo tampaknya belum juga menemukan formula bisnis yang pas dalam era digital ini, terlebih selepas pandemi banyak iklan rontok karena perusahaan sibuk mempertahankan bisnisnya. Apalagi, publikasi Majalah Tempo yang seharusnya dibayar, malah sering dibajak dan diedarkan secara ilegal lewat WhatsApp ataupun platform internet lainnya.
Majalah Tempo sebagai flagship korporat sih nggak ada lawannya, segala lembaga negara masih rela merogoh kocek ratusan juga per tahun untuk beriklan. Tapi, tempo.co harus bersaing dengan banyak portal berita, sedangkan Koran Tempo yang baru saja mengalihkan semua publikasi dari cetak ke digital masih kembang-kempis bisnisnya.
Koran Tempo menjanjikan informasi harian lebih mendalam ketimbang berita tempo.co. Tapi, Majalah Tempo justru lebih dalam lagi, meski periodenya mingguan. Meski paket langganan Tempo digital menggabungkan kedua produk premium itu, praktis saya hanya membaca majalah. Mohon maaf sedalam-dalamnya bagi para punggawa Koran Tempo, tapi saya menduga bukan cuma saya pelanggan Tempo digital yang memilih tidak membaca Koran Tempo (kecuali, kalau ada tulisan yang menyerempet kebijakan seni di sana – ini pun sangat jarang).
Tempo.co sebetulnya lebih menjanjikan untuk dikembangkan lebih serius. Kabarnya kinerja keuangannya juga lebih baik ketimbang Koran Tempo, yang sejak lahir relatif berdarah-darah neracanya. Dari segi kekuatan politis, tempo.co memang kalah jauh ketimbang Majalah Tempo yang dibaca para pengambil kebijakan. Tapi karena bisa diakses dengan gratis, jumlah pembacanya saya duga lebih tinggi ketimbang Koran Tempo maupun Majalah Tempo (tentu asumsi ini bisa salah). Masalahnya, hingga kini saya belum menemukan keunggulan Tempo.co ketimbang lapak berita daring saingannya, selain berita hiburannya nggak sebombastis dan seseksis portal berita lain. Padahal, potensi tempo.co sangat besar kalau digarap secara profesional dan diselaraskan dengan kanal media sosial yang tampaknya malah lebih ramai engagement audiens (meski komentator aktif di media sosial Tempo mungkin malah nggak baca beritanya).
Satu hal yang saya ingat ketika masih jadi pekerja di Tempo, dan mungkin masih berlanjut hingga kini, adalah semua desk di media Grup Tempo merasa kekurangan orang. Setiap kali ada rotasi awak, nyaris semua redaktur berusaha mempertahankan stafnya supaya nggak dipindahkan ke desk lain. Ada keengganan untuk mendidik pendatang baru di desk, meski itu adalah keharusan jika perusahaan ingin meningkatkan kemampuan jurnalisnya.
Ini masalah yang sebetulnya bisa dipecahkan jika manajemen Tempo berani mengambil langkah radikal untuk menutup koran dan mengalihkan stafnya ke tempo.co atau kanal media sosialnya. Sudah banyak koran ditutup dalam periode lima tahun terakhir, dan kurasa Tempo nggak berdosa jika melakukan hal sama, sepanjang pekerjanya bisa disalurkan ke tempat yang lebih tepat. Tempo juga perlu mencari profesional dalam pengembangan bisnis platform digital, yang penanganannya jelas beda dengan media cetak.
Memangnya segampang itu mengatur kapal besar dengan ribuan awak? Ya nggak lah! Makanya saya nggak jadi staf pengembangan bisnis Tempo, hahaha.
Sekelumit tulisan yang kok jadi panjang ini sekadar masukan bagi Tempo yang sudah jadi bagian nyaris seumur hidup saya: dari bacaan sehari-hari di rumah sejak kecil, tempat bekerja saya selama 6 tahun, kantor suami sejak 2007, dan media nomor satu di Indonesia yang kalau Koalisi Seni bisa masuk beritanya, saya langsung bangga tak terkira.
Selamat ulang tahun yang ke-50, Tempo. Untuk terus bersama merawat Indonesia, semoga bisa merawat dulu jeroannya biar makin sehat dan bahagia.
Leave a Reply