Pejabat, penjahat, dan orang superhebat bisa dibilang otomatis dicatat dalam sejarah. Tapi bagaimana dengan orang biasa?

Pada 2021, saya melihat Reisky Handika – alumnus Regu Koalisi Seni, pejuang KAMI pada masanya, akrab dipanggil Eki – mendokumentasikan cuplikan sejarah nama ayahnya untuk tugas akhir program masternya. Saat itu saya jadi teringat niat yang sudah bercokol cukup lama tapi belum dieksekusi: mendokumentasikan cerita keluarga.

Awal 2022, saya membulatkan tekad supaya niat itu nggak berhenti jadi wacana. Pada tahap pertama, saya ingin mencatatkan cerita orang tua. Ibu saya bernama Reni Anggraeni, sedangkan ayah saya Rizal Malik

Saya diskusikan rencana itu dengan mereka. Tawaran saya: tiap dua minggu mengobrol dengan mereka, bergantian; mereka bisa cerita tentang apa saja dalam sejarah pribadinya; dan saya akan menuliskannya. Tiap tulisan akan mereka periksa dan sunting. Karena itu sejarah milik mereka, tentu mereka juga yang berhak memutuskan hasil akhirnya. Jika cerita terkumpul cukup banyak, bisa jadi tulisan akan dikompilasi dan disunting ulang, lantas diterbitkan sebagai buku digital ataupun fisik.

Mereka setuju, maka sesi ngobrol virtual pun digelar pada 2 dan 9 Januari 2022. Ternyata Zoom nggak cuma berguna buat rapat kantor dan sekolah daring, tapi juga buat bonding keluarga 💻

Meski tinggal bersama Ibu dan Ayah selama lebih dari 20 tahun, saya sadar tidak banyak tahu cerita hidup mereka. Sesekali mereka bercerita tentang fragmen dalam hidupnya, namun seberapa pun sejarah lisan itu penting, saya rasa kini saatnya sejarah mereka dituliskan. Diawetkan agar bisa dibaca R, juga siapa saja.

Siapa tahu, ada pelajaran menarik dari cerita mereka. Siapa tahu, kamu juga tertarik mengawetkan cerita keluargamu.

Selamat membaca cerita Reni, juga cerita Rizal.

Komentar via Facebook | Facebook comments