Suasana menjelang pemilihan presiden kali ini rasanya jadi yang paling seru ketimbang pemilihan langsung sebelumnya. Mungkin ini pengaruh makin banyaknya orang Indonesia yang menggunakan internet dan aktif di media sosial. Pengguna internet di tahun 2000 diperkirakan cuma 2 juta orang, yang melesat jadi 30 juta pada 2010, melonjak lagi jadi 73 juta orang per Januari 2014.

Kalau di tahun 2009 cuma ada 14,9 juta orang pengguna Facebook yang asalnya dari Indonesia, jumlah itu meroket jadi 62 juta orang tahun ini. Iya 62 juta, sekitar sepertiga dari jumlah pemilih yang 185 juta orang. Tahun 2009 jumlah pemilih sekitar 171 juta orang, artinya yang fesbukan nggak sampai sepertiga dari populasi yang milih saat itu.

Gara-gara pemilu, orang sibuk berdebat di facebook, twitter, path, whatsapp, juga adu komentar di blog dan situs web lainnya, baik situs media massa maupun situs web abal-abal. Yang bikin tambah seru adalah berkeliarannya guyon dan kampanye visual dan audio-visual yang kreatif. Seperti gambar para kandidat yang di-photoshop ala boyband dan saya comot dari facebook di atas 😀

Gara-gara pemilu juga, tradisi surat-menyurat seolah hidup kembali, meski secara virtual dan dimaksudkan dibaca banyak orang, bukan betul-betul orang yang disebutnya sebagai tujuan surat. Pemicunya utama sepertinya sih surat Tasniem Fauzia Rais. Entah berapa banyak balasannya. Mulai dari anak negeri di Perth, Lausanne, sampai Indonesia sendiri.

Ada yang protes, penetrasi internet dan media sosial yang gila-gilaan itu nggak diimbangi dengan peningkatan kecerdasan dan kedewasaan sesama warga negara Indonesia. Enteng banget membagi (share) pranala situs web dan gambar tanpa ngecek kesahihan isinya. Jadilah pemilihan umum kali ini juga diwarnai hal saru alias tak senonoh.

Memang cuma perlu sedetik untuk ngeklik tombol “share” dan “retweet”, juga mengetuk (tap) pilihan “repath”. Tapi efeknya bisa fatal kalau yang dibagi itu fitnah. Sayang situs web yang relatif positif seperti fakdacapres.com justru jarang dibagi di media sosial.

Selain logika, etika pun seringkali terlupakan. Caci maki seperti jadi ganti tanda baca, berserakan di dunia maya dan nyata. Berbeda pilihan juga seolah jadi pembenaran untuk menjadikan mereka yang berbeda sebagai musuh pribadi. Kisah kawan menghapus nama kawannya dari facebook, unshare di Path, kontak di BBM, juga keluar dari grup Whatsapp, tidak cuma satu-dua kali saya dengar.

Bagaimanapun, toh yang namanya manusia dan bangsa itu terus belajar sepanjang hidupnya, moga-moga saja kita semua bisa terus lebih bijak dalam memilih mana yang fakta dan mana yang fiksi. Amiiiiiiin 🙂

Kesan pemilihan umum bagi saya hari ini bertambah satu hal: haru.

Untuk pertama kalinya, saya ikut dalam acara kampanye politik. Sedari dulu saya memang tak netral dan telah berpihak pada Jokowi-JK, tapi baru hari ini saya turun ke jalan stadion. Siang hingga sore tadi saya dan Yoga bergabung dengan puluhan ribu orang di Gelora Bung Karno, Jakarta — termasuk Nila dan kakaknya. Saya lihat banyak pula jurnalis kali itu ke GBK bukan untuk liputan, tapi berperan sebagai partisipan. Bersuka ria menikmati Konser #Salam2Jari, bersama menitipkan rasa percaya dan asa kepada Jokowi-JK. Alih-alih dibayar, kami justru rela mengeluarkan ongkos dan menyisihkan waktu untuk berkumpul di GBK.

Di penghujung konser yang didukung ratusan artis, atlet, dan tokoh keren itu, Jokowi mengatakan:

“Saya dan Pak JK berdiri di sini bukan karena nafsu untuk berkuasa apalagi dengan menghalalkan segala cara. Kami berdemokrasi untuk mendengar. Kami datang untuk ikut menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah. Kami hadir untuk ikut memberi rasa damai, bukan jadi pemicu konflik.

Saudara-saudari, kita berkumpul untuk membulatkan tekad, menyatukan hati dan bekerja keras sebagai tanggung jawab untuk melakukan perubahan demi kebaikan Indonesia dengan cara-cara bermartabat. Kita berkumpul di sini sebagai bagian dari demokrasi yang memastikan partisipasi seluruh rakyat untuk menentukan masa depan bangsa, penghormatan pada hak asasi manusia, berjuang untuk keadilan dan memelihara keberagaman serta perdamaian.

Kita semua adalah penyala harapan untuk Indonesia. Kekuatan kita adalah pada kerelaan. Anda rela bersatu padu, berdiri tegak, bekerja keras menyuarakan pesan tegas bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk perubahan.”

Kata-kata bagus yang bakal kita kawal dan tagih jika — semoga — Jokowi-JK dipercaya Indonesia untuk memimpin bangsa ini.

Mengutip lagu gubahan Marzuki “Kill the DJ”:

“Setelah pilihan dan kemenangan
Kami akan mundur menarik dukungan
Membentuk barisan parlemen jalanan
Mengawasi amanah kekuasaan”

Besok kita memasuki masa tenang, dan empat hari lagi kita akan memilih. Selamat memutuskan nasib bangsa tercinta ini.

Salam dua jari, salam Revolusi Mental!

Komentar via Facebook | Facebook comments