Satu tahun bersama. Dari dua, menjadi tiga.

Hari ini setahun yang lalu, kami mengikat janji di Yogyakarta. Untuk berdampingan menjalani bahagia maupun duka. Membagi dua nestapa, menggandakan gembira dan tawa.

Selang dua bulan dari hari pernikahan, kami mendapat kabar rahim saya dihuni oleh cikal bakal seorang manusia. Makhluk mungil yang segera hadir jadi orang ketiga.

Yoga pun jadi suami siaga, menemani saya secara rutin memeriksakan kandungan ke dokter, menyiapkan sarapan, memasak dan membelikan beragam makanan kesukaan saya, memijat saat badan terasa penat menanggung berat si bayi. Saya berulang kali jatuh cinta lagi.

Kemudian lahirlah dia, lelaki kecil yang langsung merebut hati sekaligus mengubah drastis irama hidup kami. Untungnya, Yoga bisa mengambil cuti lumayan panjang dan waktu kerja yang lentur, tak harus berkantor tiap hari. Tanpa dia, tak mungkin saya bertahan melalui malam-malam bergadang di awal kelahiran RK, juga drama baby blues, tumpukan cucian, dan turun naiknya emosi. (Meski orang tua kami pun punya peran besar dalam hal ini 🙂 )

Yoga juga berandil besar dalam merawat RK — justru dia yang lebih luwes memandikan dan menggendong RK ketimbang saya. Dia juga yang (semoga) rela membersihkan pup RK dan mau dibangunkan tengah malam untuk mengganti popok RK. Tercatat sebagai istri dari lelaki seperti dia bukanlah keberuntungan, tapi masalah pilihan yang tepat dalam memilih mitra hidup, yang melalui perbuatannya bisa terus membuat saya jatuh cinta.

365 hari terakhir kami mungkin tak sempurna seperti muluknya cita-cita, tapi telah membawa bahagia.

RK adalah hadiah terindah untuk ulang tahun pernikahan kami. Terima kasih Yoga, untuk cinta berlimpah yang terwujud dalam perbuatan, bukan cuma perkataan basa-basi.

Gambar disalin dari http://www.fotosearch.com/clip-art/father-mother-son.html

Komentar via Facebook | Facebook comments