Sampai Jumpa, Jogja

Tugu Jogja

Tugu Jogja -- waktu SD, guru les Bahasa Jawa mengajak saya mendekatinya, membaca aksara yang tertera.

Sudah hampir 20 tahun saya menyebut diri berasal dari Jogja. Klaim sepihak hanya karena rumah ada di sana. Pertanyaan basa-basi dalam perkenalan, “Asalnya dari mana?” selalu saya jawab “Dari Jogja.” Meski tak ada darah Jawa.

Pembicaraan tentang asal selalu membuat saya menghela nafas karena jawabannya tak sependek yang orang kira. Pertanyaan tentang asal itu sendiri saya pikir agak ambigu karena bisa merujuk pada tempat atau suku bangsa. Versi padat respon saya adalah, “Campuran Minang-Sunda, lahir di Jakarta, besar di Jogja.”

Kadang saya merasa tercerabut dari budaya — tak bisa bahasa Minang kecuali “Tambo ciek!” andalan makan di warung Padang, berbahasa Sunda sekenanya karena tanpa pendidikan formal, dan sedikit lebih lancar berbahasa Jawa meski tetap dengan aksen yang kata orang Jawa asli: wagu alias ganjil. Seringkali saya merasa malu karena tak paham betul budaya dan filosofi Minang, Sunda, ataupun Jawa.

Biasanya apologi saya adalah pengetahuan tak masalah kalau tahu cuma sedikit di permukaan, anggap saja gado-gado yang bahannya macam-macam, masing-masing sedikit, tapi toh tetap enak dan sehat. Setidaknya, bisa bikin perut kenyang dan tak mati kelaparan.

Bagaimanapun, saya cinta Jogja dan senang bisa tumbuh di dalamnya. Saya tinggal di Jogja sejak kelas tiga Sekolah Dasar. Ayah dan ibu memutuskan pindah ke kota yang sejak dulu membuat mereka jatuh cinta. Kota pendidikan dengan ritme santai nan ramah dan harga barang murah meriah.

Malioboro

Malioboro, biarpun makin hiruk pikuk, tetap saja menyenangkan 🙂

Cukup jauh dengan keluarga besar kami yang berbasis di Bandung, tapi tak terlalu jauh kalau perlu kembali ke sana. Jarak pas dari Bandung adalah parameter yang penting, kata mereka: kalau terlalu dekat dan sering bertemu keluarga biasanya memicu banyak masalah, sedangkan kalau agak jauh justru efektif memupuk rindu. Akur 🙂

Apapun alasan orang tua, saya bahagia tinggal di Jogja. Ah, kepergian dan perpisahan selalu membuat saya tenggelam dalam nostalgia..

Tiba-tiba saya ingat Slamet, bocah lelaki yang dulu sering mengejek dan menjahili saya yang murid pindahan ketika baru masuk kelas tiga. Biasanya respon template saya adalah mengejar dan menjitak/memukul/mencubitnya. Cuma satu saat saya menangis karena tali botol minuman kesayangan putus gara-gara dia tarik. Saya tidak ingat apakah dia minta maaf.

Sekolah Dasar adalah masa bahagia karena sebagai kanak-kanak, saya bertemu guru-guru yang baik dan banyak kawan yang menyenangkan (minus si Slamet tentunya). Tentu saja salah satu momen yang terus teringat adalah cinta monyet, hahaha. Saya ingat naksir teman sekelas, curhat sama sahabat, dan responnya adalah, “Tapi kalian kan beda agama!” Yowoloh, kayak umur segitu sudah mau langsung kawin saja.. XD

Jenjang pendidikan berikutnya diawali dengan kekecewaan tak bisa masuk sekolah idaman. Meski di level itulah pengetahuan tentang agama sendiri ditempa, setelah sebelumnya nyaris enam tahun berkutat di sekolah Katolik. Omong-omong tentang masa itu, saya jadi ingat repotnya pertama kali memakai jilbab, bagian dari seragam tiga tahun di sekolah-hanya-bermurid-perempuan. Ibu saya — waktu itu belum berjilbab — pun tak bisa memakaikan tudung itu dengan benar, sehingga hasilnya superkacau.

Lalu datanglah SMA, masa yang memang betul seperti kata orang, masa paling indah. Pubertas dengan gejolak emosi yang dimaklumi semua orang. Mau bandel, labil, bengong, ceria, apapun, sah-sah saja. Bolos kelas demi alasan nggak penting seperti ke warung internet, toko buku, atau sekadar mutusin pacar juga bisa 😀

Sobat SMA

Afifa, Vita, saya, Sinta, Uyik, Lili, beberapa hari menjelang pernikahan Uyik. Berkas foto aslinya entah di mana. Kapan ya bisa kumpul dan foto begini lagi?

Di Padmanaba, jejak menguar ke seluruh Jogja. Dengan sahabat-sahabat, saya menjelajah ke mana-mana. Berbagi banyak cerita. *nahan tangis rindu masa-masa itu* Sampai sekarang, kami masih terus bersua meski cuma di dunia maya.

Lantas datanglah tahun-tahun kuliah. Bertumbuh dewasa menyadari dunia tak selalu indah. Mulai mengasah benak, mengumpulkan makin banyak bekal untuk jadi kuli digital. Bertemu banyak orang dari penjuru negeri, mengenali dan memahami cara pandang yang berbeda-beda. Plus, pelajaran berharga dari dua “agenda emosional” yang gagal akibat jarak meski jejak bersama kami tebar di mana-mana di penjuru Jogja.

Tiga tahun belakangan sejak berkubang berita di Jakarta, saya jarang pulang. Tapi berada di Jawa membuat Jogja tetap terasa dekat. Tiap beberapa bulan saya sempatkan kembali.

Sarapan di teras rumah

Sarapan di teras rumah, baru dua tahun lagi bisa terulang.

Kemarin adalah hari terakhir saya di Jogja, setidaknya untuk dua tahun lamanya. Sampai jumpa, Jogja.

=========================

Foto Tugu disalin dari http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/08/05/konsep-penataan-malioboro-pedestrian-dengan-ciri-khas-kota-yogyakarta/
Foto Malioboro dari http://agan-abu.blogspot.com/

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

2 Comments

  1. airlangga

    Bikin homesick baca postingan ini 🙂

    • Hehe. Memang sudah berapa lama sih nggak pulang? Kapan rencana balik ke Jogja?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *