Hari ini genap 55 tahun usianya. Lelaki yang mewariskan raut muka, selera makan kudapan manis, doyan belanja, sifat keras kepala, mental deadline, tapi juga rasa percaya diri dan integritas, untuk saya.

Saya tidak pernah lupa satu pagi di Kendari, Sulawesi Tenggara, semasa saya masih kecil. Jaman Taman Kanak-kanak, awal 1990-an. Pertama kali ada mobil dinas di rumah kontrakan. Daihatsu Taft warna hitam dengan setrip oranye.

Pagi-pagi, ayah dan ibu sudah ribut. Ibu ingin memakai mobil itu ke pasar. Ayah melarang, dengan alasan itu mobil dinas, “Artinya harus dipakai untuk kerja. Selain itu, berarti korupsi.”

Peristiwa yang selalu membekas dalam ingatan.

Latar belakang ayah yang aktivis mahasiswa dan pekerja lembaga swadaya masyarakat (atau organisasi non-pemerintah, silakan pilih istilah yang mana) membuat isu politik masuk dalam keluarga kecil kami yang demokratis.

Membuat saya dengan sok cihuynya “melawan” guru Pendidikan Moral Pancasila masa Sekolah Menengah Pertama, yang saat itu mengajarkan tentang tiga partai di Indonesia — saya bertanya kenapa harus ada dua partai figuran kalau pemerintah sebetulnya hanya memerlukan satu partai, si kuning. (Masa itu, bertanya bukanlah hal yang diharapkan dari murid yang baik.) Si guru tidak menjawab. Saya memang tidak berharap dia menjawab.

Ayah sebetulnya jarang menghabiskan waktu bersama saya dan ibu. Dia lebih sering bekerja dan belajar di luar kota. (Upaya ibu untuk bertahan di hari-hari tanpa dia adalah luar biasa..) Bahkan saat saya lahir, ia sedang sibuk kuliah di benua seberang. Saya baru bertemu dia setelah berumur sepuluh bulan.

Belakangan, setelah saya lulus kuliah, malah saya nyaris dua tahun bertemu dia tiap hari. Sebabnya, saya menumpang ngekos bareng ayah di Jakarta. Sampai satu hari, ia memutuskan untuk berhenti “ngamen” di rimba raya ibu kota dan kembali ke rumah kami yang super nyaman di Jogja.

Sepi juga hari-hari di Jakarta tanpa dia.

Tapi namanya masih muncul sekali-dua kali-seringkali dalam percakapan dengan beberapa narasumber, terutama di kalangan pegiat LSM hukum, yang kebanyakan adalah kawan ayah. Awalnya risih dan jengah, karena saya ingin dikenal bukan karena relasi dengan orang lain. Tapi lantas saya anggap itu artinya saya harus bersyukur, ayah bukan koruptor yang bikin saya malu, malah orang yang sangat bersih dan membuat bangga.

Saya dan ibu, cinta ayah. Meski dia kerap rewel dan bawel, yang makin menjadi saat lapar atau menjelang tenggat. Hahaha.

Selamat ulang tahun, ayah. Tetaplah berkarya dan buat keluargamu bangga 🙂

Komentar via Facebook | Facebook comments