Kebiasaan membaca komik masyarakat tentu berbeda-beda, sesuai dengan waktu dan juga nilai yang dianut di lingkungannya.

Di Amerika Serikat yang dunia komiknya didominasi tokoh-tokoh pahlawan super, komik masih seringkali dianggap sebagai bacaan anak-anak dan remaja. Tahun 1970-an, ketika Will Eisner meluncurkan buku komik dengan tema yang lebih dewasa dan istilah novel grafis menjadi populer, komik “naik kelas” di pandangan publik AS. Masyarakat mulai menyadari bahwa komik pun bisa dilihat sebagai karya sastra.

Berbeda dengan di Jepang, di mana komik benar-benar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Hal tersebut terjadi didukung oleh kerasnya kehidupan mereka yang selalu dikejar waktu, efisiensi, dan dalam tekanan untuk menjadi yang terbaik. Biasanya orang Jepang melampiaskan kejenuhan mereka setiap ada matsuri (festival), di mana mereka bisa melepaskan kegembiraan mereka dan “pindah” ke dunia lain.

Nah, komik menjadi alternatif matsuri yang lebih rutin dan singkat. Ia dibaca di hampir tiap waktu luang yang dimiliki, misalnya ketika istirahat makan siang atau dalam perjalanan di subway (kereta bawah tanah) setiap harinya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa waktu untuk membaca satu bab komik hampir sama dengan waktu dari satu stasiun kereta bawah tanah ke stasiun berikutnya (Ahmad, Zpalanzani, & Maulana, 2005 : 55). Karena itulah komik Jepang menyediakan beragam genre yang sesuai bagi tiap range usia.

Di Eropa, komik juga menempati posisi yang sedikit berbeda. Meski bukanlah media yang paling banyak dikonsumsi dalam keseharian masyarakatnya – apalagi bila dibandingkan dengan televisi, namun komik di Eropa dianggap sebagai media yang pantas dikonsumsi anak-anak, remaja, dan juga dewasa.

Tak jarang komik Eropa yang jelas menyasar pembaca dewasa, dengan memasukkan unsur politis dan petualangan, meski kerap dibumbui oleh humor dan roman. Tintin karangan Herge, juga Asterix-Obelix buatan Uderzo dan Goscinny, adalah beberapa contohnya. Maka bukanlah hal yang aneh bila seorang pria dewasa Perancis mengoleksi buku komik di perpustakaannya, berdampingan dengan novel sastra atau buku-buku akademis.

Lalu bagaimana kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri?

Hafiz Ahmad, Alvanov Zpalanzani, dan Beni Maulana dalam buku Komikita mengatakan bahwa sejak awal kehadirannya di Indonesia hingga kini, stigma terhadap komik belum banyak beranjak dari anggapan bahwa komik adalah bacaan anak (2006 : 28). Komik masih dianggap sebagai media yang tidak mendidik, penuh kekerasan, sarat pornografi, dan berpotensi membuat pembacanya kecanduan.

Padahal, sudah beberapa generasi masyarakat Indonesia yang hidup berdampingan dengan komik, kalau tidak justru dibesarkan oleh komik. Komik strip karya Kho Wang Gie, Put On, dimuat dalam harian Sin Po sejak tahun 1930 hingga 1960. Ada pula komik-komik yang mengadaptasi pahlawan super ala komik AS dan kisah pewayangan seperti yang dibuat RA Kosasih (Sri Asih, Mahabharata) dan Johnlo (Garuda Putih, Raden Palasara).

Pada tahun 1960-1970an, komik Indonesia sempat mengalami masa keemasan. Berbagai tema diangkat buku komik, mulai dari cerita rakyat, kisah silat, dunia fantasi, sampai kepahlawanan super dan nasionalisme.

Di akhir periode ini, genre yang populer bergeser menjadi roman remaja, yang terkadang mengekspos erotisme dan pornografi sebagai jalan pintas bagi penerbit kecil dan komikus pemula untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Pasar dibanjiri komik, tetapi loyalitas pembaca dalam skala tidak didapat. Malah terjadi degradasi persepsi masyarakat akan kualitas dan kekayaan intelektual komik Indonesia.

Kisah komik Indonesia di era ini ditutup dengan polemik seperti Operasi Tertib Remaja (OPTERMA) yang dilakukan polisi untuk menyensor dan menyortir komik, terutama yang bergenre roman remaja, yang akan diterbitkan karena dianggap terlalu banyak melanggar norma di masyarakat. Sementara itu, komikus sendiri tidak bisa bersatu dan memperkuat posisi tawarnya dengan penerbit dan masyarakat.

Ketika komik negeri sendiri vakum untuk waktu yang cukup lama, sekitar 20 tahun, komik asing mengambil alih pasar buku komik yang ada. Awal 1980-an komik petualangan Eropa seperti Tintin, Asterix, Lucky Luke, dan Johan & Pirlouit mulai diterbitkan di Indonesia dan cukup digemari. Belakangan di tahun 1990-an, popularitas komik Eropa diambil alih oleh komik Hong Kong dan Jepang.

Komik Hong Kong menggebrak dengan kisah silat yang penuh jurus dalam Tapak Sakti dan Tiger Wong. Sedangkan judul-judul pertama komik Jepang yang diterbitkan di Indonesia adalah Akira, Kungfu Boy, dan Candy-candy untuk remaja, serta Doraemon untuk anak-anak. Komik Jepang kemudian sangat menguasai pasar hingga kini, dan terus lekat dengan remaja dan anak-anak.Popularitas komik Jepang makin meningkat dan judul yang diterbitkan pun makin banyak.

Masalahnya, tidak semua pembacanya mampu dan mau menyisihkan uang untuk membeli komik. Oleh karena itu taman bacaan, yang awalnya mayoritas hanya menyediakan novel, pun melengkapi koleksi sewaannya dengan komik Jepang yang lebih banyak peminatnya. Komik Jepang kemudian bisa lebih mudah diakses oleh pembacanya – mereka yang membeli, meminjam, atau menyewa.

Generasi yang lahir di tahun 1980-an dan setelahnya bisa dibilang cukup familiar dengan komik, terutama komik Jepang. Komik dibaca tidak saja di waktu senggang, tetapi juga untuk mengatasi kebosanan di ruang kelas (ini sesungguhnya sangat mungkin merupakan sebuah bentuk pemberontakan kecil-kecilan).

Bersamaan dengan masuknya animasi Jepang yang sering berkaitan dengan buku komiknya, dipasarkan pula merchandise pendukungnya. Komik Jepang pada gilirannya menciptakan ceruk baru bagi pemasaran yang terpadu.

Di sisi lain, mayoritas masyarakat Indonesia mungkin hanya sempat sebentar mencicipi komik ketika anak-anak dan remaja, dan setelah dewasa hanya sesekali bersinggungan dengan komik strip di media cetak.

———————-

dikutip dari skripsi saya, dengan sedikit sunting ulang 😀
gambar sampul komik dipindai dari koleksi komik saya juga…

Komentar via Facebook | Facebook comments