Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, 7 Maret 2008. Matahari belum lagi tinggi, namun sinarnya sudah cukup menyengat. Jarum jam belum bergeser dari pukul delapan pagi. Inoe Haryanto, 56 tahun, sibuk membuka gembok pintu gerainya, Sumber Rezeki. Toko yang berada di Blok C itu menjual sembilan bahan pokok dan beragam barang lainnya.

Sumber Rejeki tersebut berada di pojok (hook) sehingga dibuka dari dua sisi. Gerainya tampak seperti tiga los yang disatukan. Terpampang beragam bahan makanan yang semuanya diperlihatkan dalam partai besar. Pada bagian depan toko yang memanjang, tampak tumpukan kardus berisi susu krimer kalengan. Di sela-selanya terdapat tumpukan kardus minyak goreng kemasan ukuran dua liter. Semua tersusun dengan begitu padat, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang yang dapat dilalui.

Di sisi gerai yang lebih pendek, terdapat lemari pajang kaca berisi berbagai jenis obat. Tumpukan minuman kemasan kotak diletakkan di atasnya itu. Tidak banyak, hanya tiga tumpuk saja. Segala tumpukan dan lemari itu bagaikan sekat yang memberi jarak antara Inoe dengan orang-orang yang datang menghampiri tokonya. Di dalam toko, tampak dua telepon dan komputer dengan layar datar melengkapi bisnis lelaki berkumis tipis itu.

Sekilas, orang tidak akan menyangka bila Inoe adalah satu-satunya pedagang besar minyak goreng curah di Pasar Induk. Karena di dalam maupun di sekitar gerainya, tak tampak satu pun jeriken minyak goreng. Yang banyak terpampang di sana justru beragam bahan makanan lainnya. Keadaan itu membuat Tempo harus bertanya beberapa kali kepada orang-orang perihal lokasi pedagang besar minyak goreng yang tidak lain adalah Inoe.

Seperti hari-hari biasanya, pagi itu Inoe beserta istrinya, Trapsilaningsih, berangkat dari rumah pukul tujuh pagi menuju Pasar Induk. Saat Inoe membuka gerainya, sang istri menunggu tak jauh dari toko sambil mengobrol dengan pedagang lainnya. Setelan blus berwarna kuning dengan rok hitam yang dikenakan Trapsilaningsih membuat perempuan paruh baya itu terlihat cerah. Perhiasan tampak melingkar di tangan dan lehernya.

Sebelum mendatangi Inoe di tokonya, Tempo sempat bertanya pada Trapsilaningsih tentang keberadaan agen minyak goreng terbesar di Kramatjati. Dengan ketus ia menjawab tidak tahu. Namun dari gelagatnya ia tampak menyembunyikan sesuatu. Tak lama setelah itu ia sengaja pergi menjauh dari tempat itu membawa tas suaminya dan miliknya yang ada dalam pangkuannya. Kemudian Tempo bertanya hal yang sama pada Inoe dan tanpa ragu ia mengaku dirinya lah yang kami cari.

Setelah berbincang singkat, sikap Inoe berubah ketika mulai ditanya perihal kenaikan harga minyak goreng. Sembari mengisap rokok filter, ia menjawab sekenanya dengan kalimat-kalimat singkat saja. Percakapan terhenti sewaktu istrinya kembali mendekati toko dan menepuk pinggang Inoe, mengisyaratkan ia harus berhenti bicara.

Beberapa jam kemudian Tempo kembali ke Sumber Rejeki untuk menyambung perbincangan. Saat itu toko mulai disibukkan oleh pembeli. Sebelum ditemui, Inoe pun sedang melayani pembeli. Tempo menghampirinya saat ia sedang duduk di kursi dekat sisi pendek gerainya. Inoe sempat mengelak harus pergi mengantar barang, namun akhirnya ia bersedia memberi jawaban-jawaban pendek sambil sesekali mencuri pandang ke arah istrinya.

Trapsilaningsih sendiri, dibantu dengan pegawainya, tampak sibuk melayani pembeli dan membungkus barang belanjaan mereka. Terkadang ia juga menerima telepon. Ia terlihat tidak mengacuhkan pembicaraan antara Tempo dan suaminya. Justru satu pegawainya yang sedang berada dekat Inoe yang sering kali tersenyum mendengar pembicaraan kami. Trapsilaningsih tetap saja sibuk dengan kegiatannya. Walau demikian, Inoe terlihat waspada akan gerak-gerik istrinya itu. Berikut petikan wawancara Tempo dengan Inoe Jumat pekan lalu:

Anda mendapat minyak goreng dari mana?
Dari pabrik, AAC.

Di mana lokasi pabriknya?
Wah nggak tahu deh. Karena saya memesannya lewat telepon.

Bagaimana jalur distribusinya hingga sampai kepada anda?
Saya memesan langsung ke pabrik, lalu minyaknya langsung diantar ke rumah.

Lalu, anda sendiri menyimpan persediaan minyak di mana?
Di rumah, karena toko di sini kecil.

Pelanggan Anda dari mana saja?
Banyak. Dari pasar ini banyak. Ada juga yang dari Cijantung.

Bagaimana mereka membeli minyak dari Anda?
Biasanya langganan. Ada yang beli sendiri, ada yang minta diantar.

Berapa harga minyak goreng yang dilepas agen kecil itu ke konsumen?
Beragam, tapi biasanya Rp 14.000.

Apakah agen kecil itu memang pelanggan tetap?
Ada yang pelanggan tetap, tapi ada juga yang nggak.

Sejak kapan berdagang di Pasar Induk ini?
Di sini sih baru setahun (tertawa).

Yang benar?
Ya kan baru setahun pasar ini dibangun.

Tapi sebelumnya sudah berapa lama jadi agen minyak goreng?
Ya sebelum Pasar Induk ini dibangun lagi. Tiga, empat tahun. Yah mulai dari satu tangki harganya masih belasan juta, 20 juta (akhir 2007), sampai 50 jutaan sekarang.

Mahal sekali ya. Satu tangki itu jadinya berapa kilo(gram)?
Sekitar 5000.

Biasanya satu tangki habis terjual setelah berapa lama?
Paling seminggu.

Yang Anda jual minyak curah kualitas apa?
Saya jual yang kualitas super, yang paling bagus.

Sekarang harga minyak naik tinggi, jadi makin banyak untungnya?
Nggak. Saya jualan karena kebutuhan pelanggan. Modal aja gede, untungnya sih kecil. Kadang malah kita rugi.

Memang dapat untung berapa?
Saya jual Rp 13.000 atau sekitar Rp 13.200 sampai Rp 13.500, per kilo cuma untung Rp 50.

Toko ini Anda rintis sendiri?
Bukan. Istri saya yang mulai usaha di sini.

Sejak kapan istri Anda berbisnis di sini?
Tahun ?70-an.

Tempat dan Tanggal Lahir : Jawa Timur, 1952
Pendidikan : Perbankan, STIE Perbanas, 1979.
Istri : Trapsilaningsih
Anak : Ika Tiaraputri (SLTP 103)

__________________________

Ini hasil wawancara yang aku buat bareng Nila dan Tania. Prosesnya agak susah karena si Bapak Inoe takut banget pas mau kita tanya-tanya. Padahal kita kan cuma calon reporter yang lagi training, ihihi.

Tugas pertama ini jadinya kebanyakan detail nggak perlu dan bertele-tele, kata redaktur yang mengevaluasi…. ^^;

Komentar via Facebook | Facebook comments