“Begitu keluar bandara, jangan lupa langsung lihat sebelah kiri, siapa tahu disapa jerapah-jerapah di Taman Nasional,” kata Abdallah Al-Laham, pria Palestina yang duduk di sebelah saya dalam perjalanan dari Doha, Qatar, ke Nairobi, Kenya, akhir bulan lalu.

Saya mengangguk dengan semangat mendengar saran lelaki yang sudah tiga tahun tinggal di Nairobi itu. Sebelum berangkat, entah sudah berapa jam saya memelototi layar komputer untuk mencari tahu tentang safari di Afrika plus segala binatang khasnya seperti zebra, singa, cheetah, badak, serta tentu saja si jerapah nan berleher jenjang dan bermata centil.

Terakhir (dan pertama) kali saya melihat jerapah dan kawan-kawannya ialah di masa Sekolah Dasar, di Taman Safari, Cisarua, Jawa Barat. Taman Safari yang luasnya tak lebih dari 1,5 kilometer persegi itu tentu tidak ada apa-apanya dibanding safari asli di Afrika.

Taman Nasional Nairobi, terkecil di antara 21 kawasan serupa di Kenya, luasnya saja sudah 117 kilometer persegi. Yang terluas di Kenya adalah Taman Nasional Tsavo Timur, terbentang di dataran seluas 10.747 kilometer persegi.

Taman Nasional ini terletak sangat dekat dengan Bandara Internasional Jomo Kenyatta, cuma sekitar lima kilometer. Taman yang satu itu juga disebut sebagai tujuan safari urban lantaran lokasinya hanya sepuluh kilometer dari pusat kota.

Sejak beberapa pekan sebelum lepas landas dari Jakarta, saya dan seorang kawan, Retha Dungga, sudah sibuk berkorespondensi dengan teman-teman yang akan bertemu di Nairobi dalam 2nd Global Youth Against Corruption Forum. Diskusi hangat bukan cuma soal Forum, tapi kami juga rencana safari pada hari Ahad, 30 April, sehari setelah acara berakhir.

Diambil dari bahasa Swahili, “safari” berarti perjalanan. Dan perjalanan yang paling mantap di Afrika tentunya adalah bertualang menelusuri sabana. Bukan untuk berburu, tapi sekadar menyapa fauna penghuninya.

Tak lama sesudah Abdallah melontarkan sarannya, pesawat kami mendarat di Jomo Kenyatta.

Di meja imigrasi kami tertahan sebentar untuk mengisi formulir kedatangan. Proses di gerai imigrasi itu hanya sebentar, memakan waktu kurang dari lima menit untuk wawancara singkat.

Yang penting, sebagai warga negara Indonesia, saya dan Retha harus membayar visa on arrival US$ 25 (Rp 214 ribu). Membaca pengumuman yang tertera di dekat imigrasi, iri rasanya saat tahu penduduk Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura tidak perlu membayar visa sepeser pun untuk kunjungan singkat ke Kenya.

Urusan imigrasi dan bagasi beres, saya dan Retha melangkah ke pelataran bandara. Hawa sejuk menghampiri. Dengan suhu udara berkisar di 20-24 derajat Celcius, Nairobi mengingatkan saya pada Puncak. Berada di ketinggian 1.795 meter di atas permukaan laut, kota berpenduduk tiga juta orang itu menyambut kami dengan angin semilir.

Dalam perjalanan dengan minivan dari bandara ke hotel di pusat kota, sesekali kami melihat ke arah kiri sesuai saran Abdallah. Kecewa juga saat jerapah tak terlihat di balik pagar kawat Taman Nasional. Hanya ada padang rumput luas berwarna cokelat. Tapi saat pandangan diarahkan ke atas, kami dihibur langit yang biru cerah dengan awan putih bergulung-gulung.

Perjalanan 15 kilometer ke hotel memakan waktu sekitar setengah jam dari bandara. Rupanya Nairobi juga kerap didera macet, meski tak separah Jakarta. Arsitektur ibukota negara jajahan Inggris itu seperti Jakarta era 1970-an, bangunannya mirip-mirip Hotel Indonesia. Yang membuat iri, banyak ruang publik berupa taman di mana-mana.

Sampai di hotel, selarik pesan pendek dikirimkan pada Abdallah, mengabarkan kami siap untuk jalan-jalan pukul empat sore.

Sebelumnya, di pesawat, pegawai salah satu badan Perserikatan Bangsa-bangsa itu semangat sekali mengobrol dengan kami. Ternyata, dulu saat bertugas di Yordania dan Washington DC, selama tiga tahun dia mempekerjakan seorang Indonesia di rumahnya. “Sumyati seperti keluarga kami sendiri, anak-anak saya sangat dekat dengannya,” katanya dengan mata berbinar.

Dia lantas menawarkan diri mengantar kami melancong sore itu. Karena khawatir, saya sempat berpikir mungkin kami sebaiknya menolak tawaran orang yang baru kami kenal itu. Tapi Retha meyakinkan saya untuk menerima ajakan itu. Semasa ia tinggal di Bali, pegiat organisasi antikorupsi itu rupanya sering juga “memungut” turis dan mengajaknya berkeliling.

Setelah pesan pendek terkirim, Abdallah membalasnya dengan mengatakan ia akan mengirimkan taksi untuk menjemput kami. “Saya tidak suka pergi ke pusat kota,” ujarnya. Bukan cuma karena macet, tapi juga faktor keamanan yang membuatnya trauma. Dia mengaku pernah dirampok di siang hari di pusat kota. Nairobi memang mendapat julukan “Nairobbery” karena maraknya kriminalitas di kota itu.

Taksi langganan Abdallah membawa kami ke Westgate, mal di pinggiran Nairobi. Jauh-jauh ke benua lain, kok malah ke mal? Bukannya sudah ada ratusan mal di Jakarta? Jawabannya, karena hari itu Maasai Market (Pasar Maasai) mampir ke Westgate.

Suku Maasai, penduduk semi-nomaden yang tersebar di Kenya dan Tanzania, memang menggelar bazaar beberapa kali seminggu di lokasi berbeda di Nairobi. Abdallah semangat sekali mengajak kami ke sana karena kerajinan khas Maasai bisa didapat dengan harga sangat murah daripada di toko cinderamata.

Setelah ngotot-ngototan menawar, saya dan Retha memboyong pulang tiga mangkok kayu berukir zebra dan jerapah, selusin topeng, dan sejumlah syal, dengan harga tak lebih dari dua ribu shillings (Rp 200 ribu). Abdallah heran mengapa kami tak membeli kerajinan manik-manik yang bertebaran di Maasai Market. Alasan kami, anting, gelang, dan kalung di sana sangat mirip dengan yang banyak dijual di Bali dan Yogyakarta, jadi sepertinya tak cukup khas untuk dibeli.

“Tapi di Indonesia tidak ada ini kan?” tanyanya sembari mengantar kami ke toko Kazuri di dalam mal. Saya langsung melotot saat masuk ke toko itu, rasanya ingin membawa semuanya pulang! Kazuri, “mungil dan cantik” dalam bahasa Swahili, memberdayakan ratusan perempuan Kenya dengan membuat dan menjual perhiasan dari manik keramik dengan warna-warni sungguh cantik. Dengan kualitas top, harga yang dibandrol lumayan mahal. Saya dengan ikhlas melepas 1.200 shillings (Rp 120 ribu) demi kalung manik berbentuk zebra.

Kami baru bertemu Abdallah lagi di hari terakhir di Nairobi. Saat itu kami memutuskan untuk membatalkan rencana ikut safari. Seorang kawan dari Bulgaria mengatur safari untuk peserta Forum, yang ternyata memakan biaya US$ 75 (Rp 642 ribu). Tiket masuk Taman Nairobi memang lumayan mahal, US$ 40 (Rp 343 ribu) untuk orang asing. Warga negara Kenya hanya perlu membayar 300 shillings (Rp 30 ribu), sedangkan pemegang kartu residen Kenya cukup merogoh kocek 1000 shillings (Rp 100 ribu). Biaya ekstra diperlukan untuk menyewa mobil.

Selain masalah ongkos yang mahal, safari itu mengharuskan pesertanya berangkat dari hotel pukul 5.30 pagi. Padahal malam sebelumnya, konser musik di penutupan Forum baru berakhir jam 2.30 dini hari – meski saya dan Retha pulang lebih awal pada pukul 1.

Rasanya kami perlu istirahat lebih banyak dan santai setelah tiga hari mengikuti acara yang padat. Tapi, kami tetap ingin bertemu dengan satu-dua binatang khas Afrika, setidaknya jerapah. Maka kami kembali menghubungi Abdallah, yang dengan senang hati menawarkan diri mengantar ke Giraffe Center. Tak ada safari, kencan dengan jerapah pun jadi.

Tempat tujuan kami, pusat jerapah yang bernama lengkap The African Fund for Endangered Wildlife Kenya, terletak di Langata, sekitar lima kilometer dari pusat kota. Penggagasnya, Betty dan Jock Lesilie Melville, mendirikannya untuk melestarikan jerapah Rothschild, yang paling langka dari sembilan jenis hewan itu. Disebut juga jerapah Baringo atau Uganda, jerapah jenis ini punya ciri bercak berbentuk persegi empat dengan gradiasi warna latar berwarna krem di bagian pinggir.

Dengan membayar 700 shillings (Rp 70 ribu), kami masuk ke dalam Giraffe Centre. Atraksi utamanya adalah rumah panggung di mana pengunjung bisa memberi makan jerapah. Saat kami bertandang, ada tiga jerapah sedang sibuk melakukan tugas mereka: makan, makan, dan makan. Dua di antaranya adalah jerapah dewasa yang tingginya sekitar lima meter. Satu lagi anak jerapah berusia 1,5 tahun yang tingginya baru dua meter.

Di dekat tangga, seember makanan jerapah, disebut “permen” oleh pawangnya, tersedia bagi pelancong. Tiap permen berbentuk silinder kecil, tingginya sekitar 1 cm dengan diameter 1 cm pula. Saya mengambil segenggam, lalu menghampiri salah satu makhluk berleher panjang itu. Belum apa-apa, si jerapah mendekati kami lalu mengulurkan lidahnya. Panjang! Kata Wikipedia, lidah jerapah dewasa bisa mencapai 50 cm.

Refleks, saya mengulurkan tangan untuk memberinya makan. Tapi tangan saya tarik lagi karena tidak mau menyentuh lidah panjang itu karena tak ingin dilumuri ludahnya. Jadi, saya melemparkan permen jerapah itu ke lidahnya.

Pawangnya menunjukkan cara yang lebih tepat, yakni dengan memegang makanan di antara jempol dan telunjuk, lalu mengacungkannya ke mulut jerapah. Moncong fauna yang bisa berlari hingga 56 kilometer per jam itu bakal menghampiri tangan si pawang lalu hap! Langsung melahap makanannya. Tentu, lidah dan ludahnya bakal menyapu tangan sang pemberi makan. Saya memutuskan tetap melemparkan makanan ke lidah jerapah karena meskipun bulu matanya mengerjap centil, seolah merayu, saya tetap tak mau ludahnya membasahi tangan.

Pengunjung yang lebih berani menjepit permen di mulutnya, menyorongkan wajah ke jerapah, dan langsung disapa ciuman mesra makhluk yang dapat hidup sampai usia 20 tahun itu. Ciuman yang sungguh basah, tentu saja, dan permen lenyap sudah dari mulut si turis, berpindah ke kunyahan si jerapah.

Di dekat kaki para jerapah, tampak beberapa ekor babi hutan hilir mudik. Melihat mereka mengingatkan saya pada tokoh babi hutan, Pumbaa, dalam film animasi The Lion King, dan kalimat andalannya, “Hakuna matata!” alias “Tidak ada masalah!”

Rumah panggung Giraffe Centre itu juga menyajikan informasi tentang jerapah, lengkap dengan alat peraga interaktif yang menarik. Ternyata, pusat jerapah tersebut secara rutin mengajak anak-anak Kenya yang tak mampu untuk bertandang pula ke sana dengan gratis. Sejak berdiri, Giraffe Centre telah mengongkosi lebih dari 17 ribu anak untuk berkunjung.

Puas memberi makan, mengelus, dan berfoto dengan jerapah, dari Giraffe Centre kami mampir sebentar ke Taman Nasional Nairobi. Jika sempat, sebetulnya kami ingin datang ke Safari Walk yang terletak di dalam taman nasional. Safari Walk adalah kebun binatang yang seperti miniatur bagi taman itu. Sayangnya kami tak punya waktu banyak, padahal perlu waktu sekitar dua jam untuk menjelajahinya.

Dalam perjalanan ke bandara, Abdallah mengatakan kami harus menyediakan waktu lebih banyak jika lain kali pergi ke benua hitam itu. Saat berpisah dengannya, kami bertekad bakal kembali ke Afrika, satu saat nanti, untuk benar-benar merasakan safari.

——————

Versi yang sudah disunting redaktur bisa dibaca di sini.
Beberapa foto adalah milik kawan saya, Anita Thapa dari Nepal, yang disalin dengan seijinnya.

Komentar via Facebook | Facebook comments