Art nouveau adalah jenis visual favoritku sejak dulu, dan malam ini saya belajar sesuatu yang baru. Menyebut tulisan ini sebagai upaya dekolonisasi art nouveau mungkin berlebihan, anggap saja ini efek kebanyakan #dirumahaja gara-gara COVID-19.

Pekan lalu, pesanan buku tentang poster art nouveau sampai ke rumahku. Buku ini bersampul keras tapi harganya cuma Rp80.000! Meski cetakan lama (2014), kertas dan gambarnya masih bagus. Kualitas narasi buku ini menurutku payah, karena nggak koheren dan terkesan salin-tempel dari banyak literatur. Tapi nggak masalah, toh saya beli karena mau lihat gambar posternya.

Kebanyakan poster dalam buku ini sudah sering kulihat. Antara lain, karya-karya Alphonse Mucha, Henri Privat-Livemont, dan Jules Chéret. Nyaris semuanya menggambarkan perempuan kulit putih.

Menjelang akhir buku, satu poster membetot mata saya. Perempuan berkulit agak gelap mengenakan mahkota dan gelang lengan yang sering terlihat jadi bagian kostum tari Jawa atau wayang golek, memegang cangkir menguarkan uap. Pembuat poster ini Henri Meunier.

Bandingkan dengan:

(Foto dipinjam dari sini dan sana.)

Saya mencoba cari informasi lebih banyak di internet, dengan kata kunci “Henri Meunier” “Rajah” “poster” “art nouveau”. Gambar yang sama kembali muncul, kebanyakan di website lelang, penjual barang reproduksi, dan perpustakaan. Keterangannya selalu minimalis, tanpa menyebut proses kreatif Meunier dalam membuat poster ini, ataupun model gambar tersebut.

Website V&A Museum di Inggris, misalnya, menyebut:

This is a poster advertising coffee by the Belgian artist Henri Georges Meunier (1873-1922). Belgian artists, inspired by French work, began designing commercial posters in the mid-1890s. Many advertised coffee and cocoa, products of Belgium’s imperial trade. Meunier, an illustrator and printmaker, started designing posters in 1895.

Sedangkan Colin Moore dalam buku Propaganda Prints mencantumkan:

Many Belgian Art Nouveau posters, of which this is one of the best known, advertised coffee or cocoa, products of the country’s colonial activities. Meunier’s style lent itself to this exotic subject, achieving a rhythmic intensity through purity of line and a few well-chosen colours.

Ini berbeda dengan berjibunnya keterangan tentang beragam poster art nouveau yang lebih beken. Misal, soal aktris drama Sarah Bernhardt yang posternya melejitkan nama Mucha. Atau, caption poster iklan bir bikinan Mucha yang jelasmenyebutkan hop – salah satu perasa bir – dijadikan mahkota perempuan di gambar.

Satu entri di Pinterest jadi petunjuk menarik: sebuah kaleng teh dengan ilustrasi Meunier. Tertulis keterangan Art Nouveau theeblik ‘Rajah Thee’ Parakan Salak. Ontwerp Henri Meunier. Ternyata yang diminum si Mbak di poster adalah teh, dan asalnya dari perkebunan di Parakansalak, Sukabumi. Sayangnya, tautan pendamping foto ini mengarahkan ke situs yang tak memberi informasi tambahan apapun.

Mencari informasi soal perusahaan teh dan kopi Rajah juga bukan soal mudah. Beberapa situs lelang menyebut korporasi ini melansir banyak poster art nouveau pada tahun 1900-an. Tapi, saya belum menemukan latar belakang, tahun pendirian, maupun kejatuhan perusahaan yang berbasis di Brussels, Belgia, tersebut. Soal kejatuhan ini hanya asumsi saya, sebab kalau Rajah masih eksis dan beken bak Douwe Egberts, tentu informasinya mudah didapat.

Situs penjual barang antik St-John di Gent, Belgia, memberi kabar menarik lewat salah satu barang jualannya. Yakni, buklet kecil Les Thés et Cafés Rajah setebal 16 halaman yang memuat ilustrasi gaya art nouveau karya Henri Privat-Livemont. Pada halaman kedua, Mbak berkostum tari Jawa kembali muncul.

Saya nggak bisa bahasa Perancis, namun bisa menangkap teks di samping si Mbak mempromosikan aroma, rasa, dan khasiat teh, juga memberi petunjuk membuat teh yang nikmat. Ujungnya, produk Rajah menjamin kesuksesan ritual teh sore pembaca.

Di halaman terakhir, penulis buklet bilang nama “Rajah” diambil mengadopsi gelar pangeran Jawa. Nama Parakansalak juga muncul lagi, ditulis terpisah sebagai Parakan Salak.

Saya mencari tahu lebih banyak soal kebun teh Parakansalak dan menemukan banyak hal menarik di laman ini. Ternyata, Parakansalak adalah cikal bakal perkembangan produksi teh modern di nusantara, dan sukses membuat kaya pengusaha Belanda semasa kolonial.

Sejumlah pekerja perkebunan bergabung dalam Gamelan Sari Oneng, yang jadi “duta budaya” Hindia Belanda ke beragam pameran di dunia, termasuk di Amsterdam (1883), Paris (1889), sampai Chicago (1893). Claude Debussy menonton kelompok gamelan itu di Paris, dan terinspirasi membuat komposisi Pagodes. Ironisnya, para “duta budaya” itu saat kembali ke Parakansalak, tetap bekerja kasar dengan jam kerja panjang, dibayar murah, dan tinggal di gubuk kumuh. Mereka lantas mogok saat tampil di Dutch National Exhibition of Women’s Labour pada 1898, pemogokan pekerja Jawa pertama yang dicatat media.

Perempuan penulis dari Amerika Serikat, Eliza Ruhamah Scidmore (tahun segitu dan menyeberang separuh bumi untuk melihat langsung penderitaan bangsa terjajah, sungguh progresif!), sempat berkunjung ke Parakansalak dan terkejut menyaksikan perlakuan terhadap pekerjanya. Tulisannya tentang Parakansalak, dipadu pemogokan di Belanda, memicu kritik publik di negeri kumpeni soal eksploitasi buruh budaya itu. Pengelola gamelan akhirnya mengupah kru gamelan lebih tinggi saat kembali ke Jawa.

Rentetan informasi ini membuat perasaan saya campur aduk.

Pertama, fakta bahwa orang kulit putih bisa sangat acuh dan ahistoris. Dari mana saya harus memulai?

Mungkin dari keterangan di website museum maupun buku yang dikutip di atas.
“Many advertised coffee and cocoa, products of Belgium’s imperial trade.”
“Many Belgian Art Nouveau posters, of which this is one of the best known, advertised coffee or cocoa, products of the country’s colonial activities.”
Padahal, poster bikinan Meunier ini tidak mengiklankan kopi maupun cokelat, tapi teh. Asal tehnya pun bukan dari lokasi jajahan Belgia, namun tetangganya, Belanda.

Juga, betapa sulit mencari bahasan tentang sedikitnya representasi (atau apropriasi) orang berkulit berwarna di karya-karya art nouveau. Memang saya cuma mencari di google, tapi, hei, bisa dibilang kan bahwa apa yang tak ada di google artinya tak cukup penting untuk diketahui publik. Yang nyerempet adalah literatur terkait art nouveau Jerman (jugendstil) dan rasisme, atau cara Belgia mengapropriasi elemen budaya jajahannya, Kongo, untuk desain art nouveau yang merayakan penjajahan tersebut dalam pameran tahun 1897. Saya mengerti art nouveau berakar di Eropa kisaran 1900-an dan pada masa itu orang Eropa tak begitu peduli soal rasisme, tapi pada 2020 saya kira akan lebih banyak ilmuwan menyoroti masalah ini. Ya, rupanya saya keliru.

Selain itu, penulis buklet Rajah bilang nama perusahaan diambil mengadopsi gelar pangeran Jawa. Padahal, tahun 1900-an tidak ada sebutan Raja atau Rajah untuk penguasa di Jawa, adanya Sultan atau Sunan. Pangeran ya disebut pangeran, kalau di Yogyakarta gelarnya berkisar di Raden Mas, Gusti Bendara Pangeran Haryo atau variasinya. Raja pun bukan kata dalam bahasa Jawa, tapi kata dalam bahasa Melayu (dan kemudian bahasa Indonesia) yang diserap dari bahasa Sansekerta. Tapi ya, yang bikin branding Rajah mana tahu ada blogger iseng tahun 2020 mengkritik ketidaktepatan klaim mereka.

Kedua, kondisi buruk buruh kebun teh Parakansalak yang kontras dengan bekennya Gamelan Sari Oneng. Ironisnya, keadaan pekerja kebun teh sekarang juga nggak bagus-bagus amat. Beberapa bulan lalu saya membantu penulisan cerita perubahan sebuah lembaga nirlaba, yang salah satu lokasi kerjanya di perkebunan teh. Begitu banyak perempuan buruh kebun teh yang punya posisi lemah di kebun maupun di rumah. Qerja qeras bagai quda bukan cuma bahan meme buat mereka, tapi kenyataan sehari-hari. Jam kerja panjang, upah murah, suami marah-marah, itu juga biasa.

Bagaimanapun, terselip sedikit rasa bersyukur bahwa hari ini dapat pengetahuan baru. Soalnya, jarang ada bacaan soal art nouveau dan kaitannya dengan Indonesia. Biasanya, hanya soal pengaruh art nouveau pada ukiran kayu Jepara, juga dekorasi cantik di rumah Tjong A Fie di Medan.

Lalu, entah mengapa ingin sekali menuliskannya. Padahal… kerjaan masih numpuk hahaha, besok aja deh yaaa pas hari Senin mulai digarap lagi.

Demikian sekilat info, yang nggak kilat-kilat amat karena panjang ya Jeuuuung blognya!

Gambar utama dari US Library of Congress, via Wikipedia.

Komentar via Facebook | Facebook comments