Rasanya udah lama banget saya nggak nulis tentang korupsi dan antikorupsi. Pekan lalu Retha minta sumbangan (hehe) artikel buat bukletnya SpeakFEST, dengan fokus aksi (basa-basi? hihi) apa yang sebetulnya sudah dilakukan pemerintah untuk melawan korupsi.
Dengan senang hati, saya kirim sedikit corat-coret untuknya. Saya pajang juga di sini — ada komentar? 🙂
Oh ya, untuk kamu yang ada di Jakarta, mampir deh ke SpeakFEST hari Sabtu, 10 Desember 2011 di lapangan Blok S — deket banget dari kos jaman di Jakarta dulu. Acaranya seru dan dijamin bikin kamu makin jago ngelawan korupsi.
——————————————
Masih maraknya korupsi di Indonesia sering bikin kita geregetan sama pemerintah, yang seharusnya melakukan tugasnya: bergerak cepat dan tepat untuk mengatasi penyakit kronis itu. Tapi apa iya sih pemerintah dengan kalem nggak berbuat apa-apa untuk melawan korupsi?
Di level global, ada Konvensi Antikorupsi yang dilansir Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 2003. Pemerintah Indonesia memutuskan meratifikasi alias mengakui konvensi itu. Artinya, Indonesia wajib menerapkan isi konvensi tersebut.
Tahun 2004, pemerintah bikin peraturan khusus untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Dari peraturan itu, dibuatlah rencana aksi nasional 2004-2009 untuk mendorong inisiatif di lingkungan pemerintah pusat dan daerah dalam melawan korupsi, yang dibagi ke dalam empat hal.
Pertama, pencegahan korupsi, misal dengan memperbaiki aturan dan prosedur, mengubah pola pikir, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan melibatkan masyarakat — ya termasuk saya, kamu, kita semua — untuk mengenali dan mencegah korupsi. Kedua, penindakan korupsi, yaitu pengusutan dan penghukuman buat para koruptor. Ketiga, ada perhatian ekstra buat pencegahan dan penindakan korupsi dalam rehabilitasi Aceh dan Sumatera Utara, yang waktu itu baru dihajar gempa dan tsunami. Keempat, pedoman pemantauan dan evaluasi rencana aksi ini.
Sayangnya, ternyata rencana aksi itu dianggap kurang ampuh. Jadilah kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid dua berjibaku bikin cetak biru baru dengan label Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Target-target yang lebih rinci disusun di bidang pencegahan, penindakan, harmonisasi aturan, pengembalian aset yang diselewengkan, kerja sama internasional, dan koordinasi pelaporan pelaksanaannya.
17 lembaga, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, sampai Sekretariat Negara wajib melaksanakan strategi itu dan mencapai targetnya. Mereka juga wajib lapor kemajuan pencapaiannya secara rutin kepada duet “kepala sekolah” pemerintah, yaitu Sekretaris Kabinet plus Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.
Program kayaknya sudah lebih dari cukup ya, tapi hasilnya bagaimana? Bisakah kita bilang bahwa Indonesia sekarang jauh lebih baik dan bersih dari korupsi ketimbang tujuh tahun lalu, saat rencana aksi dan strategi nasional antikorupsi belum eksis?
Survey membuktikan, perbaikan ada tapi masih terlalu lambat. Indeks Persepsi Korupsi yang dipakai Transparency International untuk mengukur anggapan masyarakat soal korupsi menunjukkan Indonesia cuma beringsut maju dengan cara ngesot, bukannya jalan atau lari. Tahun 2006 skor Indonesia 2,4 (0 sebagai titik terkorup dan 10 ujung paling bersih), menclok di peringkat ketiga terbawah dari 163 negara. Di tahun 2010, negeri kita tercinta ini mendapat nilai 2,8, di ranking 110 dari 178 negara. Dibanding negara-negara Asia Tenggara, Indonesia kalah jauh dari Singapura (9,3 di ranking 1), Brunei (5,5 di 38), Malaysia (4,4 di 56), dan Thailand (3,5 di 78).
Sedangkan Indeks Penegakan Hukum 2011 yang dirilis World Justice Project bikin senyum makin miris karena menunjukkan betapa korupsi di Indonesia masih mewabah di beragam bidang. Di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia berada di peringkat nyaris bontot, ke-12 dari 13 negara. Sedangkan secara global, Indonesia dinyatakan sebagai negeri terkorup ke-20 dari 66 negara.
Menurut Indeks Penegakan Hukum itu, akses masyarakat Indonesia terhadap informasi publik, salah satu pilar transparansi yang penting untuk mencegah korupsi, juga masih terhambat. Pengadilan memang independen dari kontrol pemerintah, tapi masih dipengaruhi oleh kepentingan penguasa lokal dan korupsi. Sistem peradilan sipil pun terbelakang karena mahalnya layanan hukum terjangkau, buruknya mekanisme penegakan, dan lamanya penyelesaian kasus hukum.
Contoh kasus riil yang mencuat pun berjibun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 245 kasus yang ditindak lembaga itu selama 2004-2010. Pelakunya mayoritas pegawai negeri, mulai dari eselon III, walikota, bupati, gubernur, duta besar, sampai menteri. Masih hangat di ingatan, ramainya berita dugaan suap wisma atlet SEA Games yang digawangi M Nazaruddin, kaburnya tersangka kasus korupsi Nunun Nurbaetie, sampai soal korupsi di lima kampus negeri.
Pendeknya, masih banyak yang harus dibenahi. Dan kita sebagai pemimpin masa kini dan masa depan punya andil gede untuk memperbaiki Indonesia. Dimulai saat ini juga: bukan cuma dari mendisiplinkan diri sendiri untuk nggak korupsi, tapi juga melatih diri dan kawan untuk lebih kritis dalam mengawasi potensi korupsi di sekitar kita. Maka Indonesia yang bersih bukan cuma pemanis bibir, tapi kenyataan.
Leave a Reply