Saya dan beberapa rekan sedang berjalan-jalan di Brussels, Belgia, akhir bulan Mei lalu, saat kami mendadak bersirobok dengan Tintin. Ia tak sendiri, tapi terburu-buru menuruni tangga darurat dari lantai empat gedung bangunan bercat biru bersama anjingnya, Snowy, dan Kapten Haddock.

Mata saya terpana sekejap, sampai saya menyadari Tintin dan kawan-kawannya itu sekadar mural, gambar beku di dinding gedung. Adegan itu diambil dari komik serial Tintin berjudul L’Affaire Tournesol, yang diterbitkan di Indonesia sebagai Penculikan Kalkulus.

Gambar tersebut hanya satu dari puluhan mural tokoh komik yang tersebar di sekujur Brussels. Inilah kota yang dipenuhi aroma cerita bergambar.

Brussels, ibukota Belgia, bukan kota besar. Luasnya cuma 161,4 kilometer persegi, tak sampai seperempat Jakarta. Penduduknya 1,1 juta orang, jauh dari 8,5 juta orang yang memadati Jakarta.

Tapi Brussels dengan bangga mengklaim sebagai kota dengan kepadatan komikus dan tokoh komik tertinggi sedunia. Klaim itu muncul di mana-mana, nyaris di semua buku panduan maupun situs web tentang Brussels yang saya baca.

Klaim kota paling-padat-komikus itu boleh jadi cuma bisa-bisanya Brussels melabeli dan menjual diri. Namun tak bisa disangkal, di Brussels, aroma komik terasa begitu kental. Lima museum komik, puluhan mural tokoh komik, juga patung sejumlah jagoan komik, tersebar di seantero kota. Mungkin cuma kota-kota di Jepang yang bisa menyainginya.

Dan faktanya, inilah kota asal Herge, pencipta seri komik Tintin, dan Morris, kreator tokoh koboi Lucky Luke. Dua nama terkenal lainnya adalah André Franquin, “Bapak” Fantasio, Spirou, Marsupilami, dan Gaston Lagaffe; serta Peyo yang terpikir memunculkan makhluk biru nan mini berlabel Smurf dalam komiknya.

Di Brussels pula salah satu komik favorit saya, kisah Asterix dan Obelix ciptaan duet Perancis René Goscinny dan Albert Uderzo, pertama kali dilansir dalam majalah komik Pilote, tahun 1959.

Komik asal Eropa memang sempat mengisi tahun-tahun saya di sekolah dasar. Tak lama, karena komik Jepang keburu melibas pasar dan menenggelamkan saya dalam lautan manga.
Tapi di Brussels, saya seperti terlempar kembali ke masa-masa awal kanak-kanak. Apalagi di perhentian pertama saya pada hari Sabtu (29/5), Pusat Komik Strip Belgia (saya lebih suka menyebutnya museum komik) di Rue des Sables. Nama resmi museum ini adalah Centre Belge de la Bande Dessinée dalam bahasa Perancis, atau Belgisch Stripcentrum dalam bahasa Belanda.

Di tangga menjelang belokan menuju museum komik itu, patung tokoh komik komedi Gaston Lagaffe, berdiri menyambut pengunjung. Gaston ini terkenal sebagai biang gagal: apapun yang dilakukannya pastilah tak sukses.

Berlawanan dengan Gaston, museum komik itu bukan produk gagal: didirikan tahun 1989, hingga kini museum ini telah menarik lebih dari tiga juta pecinta komik. Bekas gudang berhias sulur cantik dan banjir cahaya alami yang didesain dedengkot Art Noveau, Victor Horta, bisa dibilang sebagai Mekkah untuk pecinta komik Eropa.

Begitu memasuki lobi gedung berlantai tiga itu, pengunjung disambut oleh cengiran patung Asterix, Smurf, dan Tintin. Replika roket merah-putih yang digunakan Tintin dalam cerita Objectif Lune (di Indonesia diterbitkan sebagai Ekspedisi Bulan) diletakkan di kaki tangga, bagai mengundang semua orang — penggemar komik atau bukan — berfoto bersama.

Saya dan seorang teman, Zola Batkhuyag dari Mongolia, langsung sibuk saling memotret di lobi. Tapi Zola bukan penggemar komik, dia tak rela harus membayar 7,5 euro (sekitar Rp 85 ribu) untuk masuk lebih lanjut ke museum itu. “Kamu saja yang masuk, saya tidak ikut ya,” ujarnya sembari tersenyum. “Saya sih lebih baik memakai uang itu untuk membeli oleh-oleh.”
Yah, memang tak semua orang sama dengan saya, tergila-gila pada cerita bergambar.

Setelah berpisah dengannya, saya langsung menjelajah tiga lantai di bangunan seluas 4 ribu meter persegi itu. Tak kurang dari dua jam saya habiskan di sana.

Pameran tetap di pusat komik ini menjelaskan cara klasik membuat komik: pembuatan naskah, sketsa, penintaan, penulisan huruf (lettering), dan percetakan. Museum itu pun mendedikasikan sebagian besar lantai dua untuk memamerkan sejarah dan karya para komikus terkenal dari Brussels.

Tintin tentu mendapat porsi paling besar, lengkap dengan bingkai bergambar Kapten Haddock yang bagian wajahnya dilubangi: pengunjung bisa menempatkan mukanya di sana untuk difoto. Lucky Luke, Asterix & Obelix, Smurf, serta sederet tokoh komik dan komikusnya tak luput dipajang.

Secara berkala, museum ini mengadakan pameran dengan tema-tema tertentu. Saat saya bertandang, sedang ada pameran tentang tokoh komik Moomin dan kreatornya, almarhumah Tove Jansson dari Finlandia. Ada pula pameran komik karya sederet seniman muda Belgia.

Usai naik-turun museum, tak afdol tentunya jika tak berbelanja. Di lantai dasar, sebuah toko menyambut pecinta komik… terutama yang bisa berbahasa Perancis dan Belanda. Ribuan judul komik dijual di sana, namun sebagian besar ya menggunakan dua bahasa itu.

Komik berbahasa Inggris cuma diberi tempat satu rak. Plus satu rak lagi untuk serial Tintin. Saya hanya bisa nyengir kuda. Tapi tak putus asa. Dengan memegang prinsip “pokoknya harus belanja”, saya keluar toko setelah membayar komik berjudul “Ghostbusters of the 9th Art” yang bercerita tentang petualangan dua bocah di museum komik itu.

Oh ya, di museum itu ada pula beragam merchandise komik, mulai dari kartu pos, gantungan kunci, patung mungil, hingga boneka tokoh komik. Tapi dengan alasan kantong super rata, saya memutuskan untuk tidak membeli apapun kecuali komik.

Di seberang gedung tersebut ada satu museum komik lagi yang didedikasikan untuk Marc Sleen, komikus serial Néro. Kalau sudah membeli tiket masuk Pusat Komik, ongkos masuk museum Sleen cuma 1 euro. Tapi sore itu museum Sleen sudah keburu tutup, jadi saya harus mengurungkan niat mengunjunginya.

Esok harinya, untuk memuaskan nafsu ngomik, saya berkeliling Brussels untuk melihat mural. Waktu saya tak banyak, cuma setengah hari sebelum harus berkemas kembali ke Jakarta. Sejak 1993, Brussels telah menghiasi kota dengan lebih dari 30 mural komik, namun saya harus memilih dan hanya bisa melihat delapan di antaranya.

Saya memutuskan memulai dari sekitar gereja St. Catherine. Begitu keluar dari stasiun kereta bawah tanah, saya melihat toko yang unik di jalan Quai aux Briques. Alih-alih nama toko, saya melihat ada 15 panel bergambar di atas pintu masuknya. Komik, atau meminjam Will Eisner, komikus sekaligus “bapak” novel grafis Amerika Serikat: seni berturutan (sequential art).

Panel-panel itu menunjukkan seseorang perlahan menenggak anggur dari gelasnya. Di panel tengah, ke-8, tertera logo toko yang tampak seperti dua huruf N di tengah lingkaran. Sayang, toko itu tutup sehingga saya tidak bisa mencari tahu apa sebenarnya yang dijualnya, dan mengapa pemiliknya memilih memasang komik di atas pintunya.

Saya lantas berbelok ke kiri ke arah simpang Varkensmarkt, di mana enam jalan kecil berpotongan. Di salah satu sudutnya saya menemukan gambar Cubitus, anjing gendut nan konyol ciptaan Dupa. Di mural ini, ia mengambil alih peran Manneken Pis, patung bocah pipis kebanggaan warga Brussels. Manneken Pis yang asli digambarkan berdiri kesal di luar pagar kolam air mancurnya.

Tak jauh dari situ ada juga mural Billy the Cat, tokoh komik karya Stéphane Colman dan Stephen Desberg. Billy adalah anak kecil yang wafat dan bereinkarnasi menjadi kucing, sebagai hukuman bagi kelakuan buruknya di masa lalu. Di mural ini, Billy si kucing tampak asyik berjalan-jalan di kota.

Bergeser sedikit ke Rue de Fabriques, ada Nic dari “Les Reves de Nic” (Mimpi-mimpi Nick) buatan Hermann Huppen dan Cori Le Moussaillon ciptaan Bob De Moor.

Saya berjalan kaki lagi sepuluh menit ke arah selatan, ke Rue de la Buanderie. Di pojok jalan ada Lucky Luke mengejar gerombolan perampok bank, Dalton bersaudara. Dua ratus meter dari situ, di tepi sebuah lapangan basket, giliran Asterix, Obelix, dan penduduk desa asyik menyerbu kamp prajurit Romawi.

Sedikit ke timur, di Rue du Marché, tokoh Victor Sackville ciptaan Francis Carin nongol di salah satu dinding gedung. Sackville adalah karakter dalam komik L’Opera de la Mort (Kematian di Opera), agen rahasia yang bertugas di Brussels pada Perang Dunia pertama. Tepat di seberangnya ada mural Broussaille, karakter komik buatan Frank Pé.

Waktu yang terbatas membuat saya tak bisa berkunjung ke stasiun kereta Gare du Midi dan Stockel. Padahal, di dua stasiun itu ada banyak mural Tintin. Saya tidak sempat juga bertandang ke Musée Hergé, museum yang didedikasikan untuk Herge dan segenap ciptaannya (baca: Tintin).

Ah, berarti ada alasan kembali ke Brussels: untuk menghirup lebih banyak aroma komik ke dalam paru-paru saya.

Komentar via Facebook | Facebook comments