Indonesia Merdeka, Untuk Siapa?

Hari ini genap 67 tahun Indonesia merdeka dari jajahan Belanda. Tapi merdeka untuk siapa? Merdeka yang seperti apa? Masih ada puluhan juta warga negara belum merdeka dari kemiskinan, sementara elit politiknya relatif bebas merdeka berebut kekuasaan dan mengeruk kekayaan negara. Segelintir orang yang mengklaim mewakili mayoritas merdeka untuk menekan mereka yang berbeda. Perusahaan raksasa bebas berakrobat secara finansial dan meraup untung triliunan rupiah, tetapi burunya belum juga merdeka mencapai kesejahteraan dan berorganisasi. Media massa ribut menuntut kemerdekaan berekspresi tapi jurnalisnya terjajah oleh kepentingan politik ekonomi pemiliknya.

Daftar merdeka versus pencitraan merdeka dan keterjajahan di baliknya mungkin tak bakal habis diulas dalam ribuan halaman makalah. Saya tidak mengajak kamu untuk pesimis, tapi kritis dan sama-sama berusaha mengubah keadaan jadi lebih baik. Sedikit demi sedikit.

Volkskrant, salah satu harian terkemuka Belanda pada 13 Agustus lalu menurunkan tulisan panjang tentang pekerja domestik. Kalau menurut gugeltrenslet, terjemahannya: At the Very Bottom of The Labour Market.

Kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang saudara-saudari kita yang menjadi pekerja ireguler di Belanda. Ireguler? Saya juga baru tahu tentang istilah itu. Kalau dalam tulisan Mbak Yasmine dari Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), pekerja ireguler tampaknya sepadan dengan istilah pekerja tak terdokumentasi, yang sebelumnya kerap digunakan dalam perbincangan tentang hak buruh migran di negeri kumpeni ini.

Mereka adalah warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di Belanda, namun tak punya ijin resmi dari pemerintah. Mereka menolak disebut pekerja ilegal, karena istilah itu tak dikenal dalam hukum di Belanda. Lagipula, mereka bekerja dengan rajin dan sungguh-sungguh. “Kami di sini bekerja dengan jujur, bukan kriminal,” kata salah satu dari mereka yang sempat saya wawancarai untuk tugas kuliah di triwulan kedua di ISS. “Kalau di Indonesia banyak pekerjaan yang bagus, tentu kami nggak pergi jauh-jauh ke sini.”

Latar belakang dan kisah kawan-kawan pekerja ireguler itu beragam. Ada yang ditipu agen, ada yang berangkat dengan kesadaran bakal bekerja tanpa ijin dan siap menanggung resikonya. Ada yang sukses tiarap dari pantauan pihak berwajib, ada yang jejaknya tercium dan harus dipulangkan. Ada pula yang sempat tertangkap tapi bisa membebaskan diri dan kembali bekerja di negeri kincir angin ini. Ada yang belum lama lulus sekolah menengah, ada yang lulusan universitas, ada yang sempat bertahun-tahun menempuh profesi seperti bidan, pekerja tambang, bahkan manajer perusahaan. Semua bertekad untuk mencari penghidupan yang lebih layak ketimbang di negeri sendiri.

Karena tak tercatat secara resmi, tak ada yang tahu persis berapa jumlah mereka. Mayoritas menjadi pekerja domestik di Belanda.

Lalu apa masalah mereka? Jika paspor, dokumen identitas mereka yang paling berharga, habis masa berlakunya, tak ada kemungkinan untuk mendapat paspor baru. Paling banter KBRI untuk Kerajaan Belanda hanya melansir Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang masa berlakunya lebih pendek daripada paspor. Dalihnya, perlu ada kartu pengenal dari pemerintah lokal untuk memperpanjang paspor. Padahal, kartu pengenal itu tentu tak bisa diperoleh pekerja ireguler. Pemohon SPLP juga harus melampirkan akte kelahiran, dokumen yang jarang dibawa oleh mereka.

Celakanya, SPLP bukanlah tanda pengenal identitas yang diakui kepolisian dan rumah sakit di Belanda. Akibatnya pekerja ireguler makin repot jika berurusan dengan kedua lembaga tersebut. Mengirim uang ke keluarga di Indonesia pun tak bisa lewat bank dan lembaga pengiriman uang resmi, yang mensyaratkan kliennya untuk menunjukkan paspor saat transaksi. Jasa pengiriman uang gelap pun muncul, dengan nilai tukar yang acap merugikan pengirim dan tanpa tanda terima yang jelas.

Situasi tersebut berbeda dengan perlakuan KBRI di Jerman dan Amerika Serikat, yang memperbolehkan pekerja ireguler mendapatkan paspor baru. Kedutaan Filipina di Belanda juga memiliki kebijakan serupa.

Di titik itulah IMWU merasa kemerdekaan Indonesia hanyalah semu, karena pemerintah — dalam hal ini KBRI — tak melindungi kemerdekaan pekerja ireguler yang merupakan warga negara Indonesia.

Pekan lalu, ketika buka puasa bersama di kantor KBRI, saya sempat ngobrol sepintas dengan kawan-kawan IMWU dan Duta Besar Indonesia untuk Belanda Retno LP Marsudi. Saya menangkap kesan ia ingin mengatasi masalah itu namun terbentur dinding regulasi. Duta Besar yang baru menjabat beberapa bulan itu mengatakan belum lama ini saat ke Jakarta, ia sudah berkonsultasi dengan pemerintah pusat, tapi hasilnya nihil. Ia berinisiatif mengundang pejabat antara lain dari Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, lantas mempertemukan mereka dengan pekerja ireguler Indonesia. “Supaya bisa tuntas, tanya semuanya sama mereka,” ucapnya.

Pertemuan itu bakal digelar tanggal 8 September mendatang. Sayangnya, saat itu saya sudah berada di Budapest, jadi nggak bisa ikut memantau dan meliputnya. Saya cuma bisa berharap ada solusi yang jelas dari pertemuan tersebut, bukan sekadar ngobrol nggak jelas juntrungannya.

Dirgahayu Indonesia…. 🙂

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

2 Comments

  1. Norma Zopfi

    Mudah2an para pekerja Indonesia diberi kesempatan untuk bekerja secara halal dengan bayaran yang berlaku di Belanda.

  2. Budi Iman Santoso

    Memang perlu adanya keseriusan dari Pemerintah Indonesia dalam hal ini para Menteri terkait untuk membenahi Sistem Dokumen keimigrasian Tenaga Kerja Migran di luar negeri. Dibutuhkan juga lobby yang kuat untuk memperjuangkan tenaga kerja iregular agar lebih bermartabat dengan melengkapi dengan dokumen keimigrasian. Saya juga berharap Pemerintah Indonesia lebih serius menanggapi hal ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *