Purnama raksasa muncul di cakrawala pulau Sepa. Cantik, agak intimidatif sebetulnya, tapi luar biasa mempesona. Mataku terbelalak melihatnya. Saya terpekur dan makin kagum pada Tuhan tersayang yang Maha Pencipta.

Benakku memutar ulang rel ingatan saat rembulan menjadi teman bercakap-cakap yang setia, ketika saya jatuh hati lalu remuk dirundung murung beberapa waktu lalu. Semua kenangan periode itu, masa di mana pahit manis berkelindan jadi satu.

“Hei, apa kabar?” purnama gigantik itu menyapaku.

“Baik,” jawabku dalam hati.

“Gerhanamu sudah berakhir?”

“Ya,” kataku sambil tersenyum. “Aku sudah menemukan lagi matahariku.”

“Surya yang sama?”

“Hahaha. Tentu saja bukan. Mentari yang itu habis dimakan buta saat gerhana.”

“Hoooo. Kamu yakin?”

“Iya.”

“Syukurlah. Tapi kita masih bisa berbincang kan?”

“Masih. Selalu ada waktu…”

“Sampaikan salam untuk suryamu yang baru!” rembulan berseru setengah menggoda.

“Hehe. Oke..”

Saya meraih telepon genggam, tak sabar bertukar kabar dengan surya… Delapan menit setelahnya, ketika panggilan itu usai, saya baru sadar. Saya lupa menyampaikan salam dari purnama.

Komentar via Facebook | Facebook comments