Beberapa pekan lalu saya sukses mengurangi frekuensi saya memonitor perkembangan lelaki itu (yah… dunia saya ternyata masih berputar di orbitnya. sialan!) di dunia maya. Dari yang tadinya mengecek akun buku mukanya tiap jam, sampai sempat berhari-hari saya absen dari kegiatan laknat itu.
Tapi belakangan, saya kambuh. Saya kembali lagi ke kebiasaan jaman dulu: menguntitnya lewat akunnya di buku muka.
Dia masih saja mempesona… hhhhh.
Saya tak tahu pasti mengapa kebiasaan buruk itu kambuh. Mungkin karena dalam satu percakapan via pesan pendek, saya tak tahan untuk mengatakan “aku rindu kamu”, yang dibalasnya, “aku juga rindu”. Meski ada buntutnya — dia bilang, “tapi aku kan pejuang yang disiplin dalam memerangi perasaan sendiri”.
Mungkin karena saya lemah dan tak kuat diserbu kenangan. Mungkin karena saya belum menemukan gantinya. Mungkin karena saya terlalu mencintai dia. Mungkin karena saya lagi-lagi ingin berakting jadi ratu drama. Mungkin karena saya ingin diperhatikan, dikasihani, dicintai. Mungkin karena diam-diam saya masih menyimpan seberkas harapan, cinta saya itu bakal berbalas.
Mungkin karena apa yang tak bisa saya miliki, selalu membuat saya makin menginginkannya.
Mungkin.
Leave a Reply