Saya suka batik. Mungkin karena batik sejak lama mengambil bagian dalam hidup saya. Seperti kebanyakan anak-anak di pulau Jawa, saya besar dalam gendongan kain batik yang disangkutkan ke badan Ibu. Saya tidak terlalu ingat masa-masa itu.

Tapi peran batik yang saya ingat betul adalah: ia sempat menjadi sumber penghidupan bagi Ibu dan saya. Sewaktu saya duduk di kelas empat sekolah dasar, Ayah selama setahun meninggalkan kami untuk bersekolah. Dalam jangka waktu setahun itu, praktis nyaris tak ada pemasukan dari dia. Jadilah Ibu saya harus jungkir balik menata keuangan keluarga. Salah satunya, dengan berdagang seprai, pakaian, dan batik.

Ibu mendatangkan batik sutera dari saudara jauhnya di Pekalongan. Ibu juga menjalin kerja sama dengan beberapa produsen batik di Solo. Batik hasil kulakan itu lalu dikirimkan ke rekan bisnis Ibu di luar Jawa. Tapi Ibu juga berjualan ke teman-temannya di Jogja.

Beberapa kali dalam sebulan ia akan menyetir mobil Katana putih kami ke Solo, yang bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan. Kadang-kadang saya menemaninya ke Solo. Acap kali, saya ikut Ibu saat berjualan. Dan dengan niat membantu, saya ikut menawarkan batik-batik itu dengan sok tahu, hahaha. Kebayang nggak sih, anak umur sepuluh tahun dengan antusias menawarkan batik, “Ini bagus lho Tante, warnanya cocok, bahannya juga bagus, shantung, enak dipakai….”

Begitu Ayah pulang dari studinya, Ibu berhenti berdagang. Capek, katanya. Lagipula, kan sudah nggak butuh-butuh amat. Kalau kata orang Sunda, apa yang Ibu saya lakukan adalah “bakat ku butuh”, alias karena perlu aja makanya dilakukan.

Tapi meski Ibu sudah tak berdagang batik, dan saya tak paham betul macam-macam motif batik dan artinya, saya telanjur suka batik. Apalagi ketika SMP, saya sempat ikut Ayah beberapa minggu ke negeri seberang. Entah bagaimana, saat memakai batik, rasanya bangga sekali menunjukkan ke-Indonesia-an saya.

Lalu waktu kuliah, saya punya beberapa baju batik yang sering saya pakai sampai belel. Saat itu batik jauh dari tren dan tak jarang teman saya berkomentar, “Rapi amat, dari mana? Kayak mau ke kondangan…” Komentar yang serupa masih sering saya dengar sekarang, padahal batik sudah sempat jadi tren dan menyebar di mana-mana di Jakarta ya?

Yang jelas saya makin suka batik gara-gara seseorang yang bilang, “Kamu cantik pakai batik.” Saya tahu saya cantik (aih!), dan saya memang sudah suka batik, tapi sungguh, sejak saya mendengar empat kata itu, saya jadi makin cinta batik. Meski anehnya, si pemuji itu justru nggak betah mengenakan batik (padahal menurut saya, dia cukup pantas berbatik ria kok).

Hari ini saya pakai batik karena saya berharap bisa bertemu dia. Tapi ternyata dia terbaring sakit nun di ujung sana. Tak apalah sayang, lain kali kita berkencan, batik akan kupakai lagi. Jadi, cepat sembuh ya…

















Komentar via Facebook | Facebook comments