Di sini, aku berkata, sedang apatis dengan kata pernikahan.
Dan Andra kontan bertanya: kenapa pernikahan tidak diperlukan?
Hmm. Begini, sekarang aku tidak tahu benar, apakah pernikahan itu memang aku perlukan atau tidak. Orang lain mungkin berbeda.
Apa sih alasan menikah? Jawabannya akan beragam: untuk hidup bersama dan menua dengan orang yang paling kita cinta, memiliki keturunan, menyenangkan hati orang tua, melegalkan seks, membuat samaran untuk preferensi seksual sesungguhnya (ya, ini terjadi), mengincar kekayaan pasangan (drama sinetron banget yaaa), dan lain-lain dan sebagainya.
Semuanya sah-sah saja.
Masalahnya adalah, kalau ditilik dari pengalaman hidupku yang belum seperempat abad di dunia: aku bukan orang yang bisa tahan dalam komitmen. Ya, aku akui kawan: aku mudah tergoda dan menikmati godaan. Aku tidak suka diikat. Aku juga melihat, di sekelilingku banyak kegagalan pernikahan, perselingkuhan dan segala macamnya itu lah. Orang-orang yang getir dan sakit dalam ikatan nikah. Seks? Yah… asal dilakukan dengan aman, aku percaya seks tidak harus dilakukan dalam kerangka pernikahan. Dan ngomong-ngomong, anak??? Aih, terima kasih, buat kamu saja ya.
Jadi, untuk sementara ini, aku tidak merasa membutuhkan pernikahan.
Kamu bisa bilang aku cuma takut komitmen. Atau, aku belum merasakan saja, nikmatnya menikah dan punya anak. Atau, betapa sepinya hidup tanpa mitra di hari tua nanti. Ya, mungkin kamu benar. Kan aku bilang tadi: untuk sementara ini. Jadi kalau besok, bulan depan, tahun depan, atau dekade depan aku berubah pikiran, boleh dong.
Sekarang sih, biarkan saja aku menikmati hidupku.
PS: FYI, pernikahan orang tuaku tercinta baik-baik saja, jadi apatisme-ku terhadap pernikahan tidak berakar dari trauma masa kecil, hehehe.
Leave a Reply