Orang Tempo keluar, itu sudah biasa.
Orang Tempo bedhol desa, itu juga sudah sering.
Dan kali ini kejadian serupa terulang lagi.
Para “transmigran”-nya nggak main-main: empat orang yang sangat, sangat, hebat. Mereka bergabung dengan portal online baru, milik si Raja Lumpur.
Satu di antara mereka sempat menjadi “kepala sekolah” calon reporter Tempo selama beberapa saat. Saya tidak tahu, apakah penggantian posisi kepsek itu disebabkan oleh masalah bedhol desa ini. Yang jelas, seingat saya, ia rajin memberikan tugas… pada saat-saat terakhir, hahaha. Tapi dia orang yang menyenangkan dan lucu.
Saya sempat pula berinteraksi dengan transmigran kedua beberapa kali. Ia lulusan UGM, dan juga punya banyak kenangan tentang Jogja (sebenarnya banyak sekali anak UGM di Tempo, jadi kalau mau ngomong tentang Jogja, pasti banyak yang nimbrung). Saya tahu keluarganya di Jogja, sehingga ia biasa pulang tiap akhir pekan (uuuh saya juga ingin bisa pulang ke Jogja sesering itu).
Orang ketiga hanya sekali saya temui. Waktu itu ia mengisi salah satu sesi training Tempo. Topiknya saya masih ingat, investigasi. Dia mengklaim dirinya sebagai pengeluh, complainer. Tapi saya pikir apa yang ia keluhkan masuk akal. Saya ingat betul dia memperingatkan kami untuk mematikan ponsel dalam kelas dan wawancara (dengan narasumber). Dan ia juga paling kesal pada orang-orang yang datang terlambat.
Soal yang keempat, saya tidak bisa berkomentar apapun, karena saya memang sama sekali tidak kenal dia dan tidak pernah berinteraksi dengannya.
Jumat sore lalu, Pimred Tempo mengadakan “konpers” kecil-kecilan di ruang redaksi lantai 3 (yang jadi penuh sesak karena dijejali awak redaksi, foto, dan desain grafis).
Menurut pengakuan “kepala kontingen delegasi” kepada sang Pimred, penyebab kepindahan mereka semata-mata masalah kesejahteraan saja. Ya, kita tahu, bertahan hidup dengan upah Tempo memang agak sulit, apalagi jika sudah berkeluarga.
Meski saya belum lama bergabung di Tempo, saya tidak bisa bilang bahwa saya tidak merasa sedih sama sekali. Tapi, yah, que sera, sera. Sudah terjadi ini…
Mari kita ucapkan saja selamat jalan, dan sampai jumpa, pada orang-orang “setengah dewa” itu. Semoga satu hari ketika berjumpa lagi, kadar “kedewaan” kita tak kalah dari para tetua itu.
Leave a Reply