Seperti biasa, waktu lari seenak udelnya. Tahu-tahu sudah seminggu berlalu sejak saya menginjakkan kaki pertama kalinya di Budapest, kota cantik yang seperti hasil persilangan Berlin dan Paris.
Saya belum sempat menikmati kota ini sepenuh hati. Pekan orientasi di kampus dan terutama, urusan cari apartemen, menyita perhatian saya, lahir dan batin (halah). Dua hari saya dan Iva, kawan dari Bulgaria yang bakal jadi teman se-apartemen, berkeliling kota melihat enam tempat yang kontaknya didapat dari internet — saking banyaknya situs dan iklan apartemen yang saya lihat, saya sampai nggak ingat apartemennya yang mana aja.
Tempat pertama yang saya lihat bikin naksir banget, karena luas, bersih, dan baru direnovasi. Lokasinya cuma satu kilometer dari kampus, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pemiliknya pun masih muda, baik, dan bisa lancar berbahasa Inggris. Tapi karena baru apartemen pertama, kami pikir perlu beberapa perbandingan sebelum memilih. Namanya jodoh, meski melipir ke lima apartemen lain, hati tetap keukeuh sama yang pertama. Proses tanda tangan kontrak beres dengan cepat, kami setuju dengan sewa per bulan 114.000 forint atau 400 euro. Kami juga harus membayar ongkos listrik, air, gas, internet, televisi, dan pengelolaan apartemen yang jumlahnya bervariasi tergantung pemakaian, tapi maksimal sekitar 45.000 forint (150 euro), banyak juga ya. Saya yang kebagian kamar lebih besar bakal bayar dua per tiga ongkos-ongkos itu, jadi paling banter 100 euro. Tapi total jenderal 300 euro masih tetap lebih murah ketimbang kamar asrama kami dulu di Den Haag yang memakan 420 euro per bulan.
Berikutnya adalah proses pindahan dari apartemen tempat kami menginap seminggu pertama. Jaraknya sih cuma 1,5 km, tapi dengan koper seberat 24 kg dan ransel berisi buku yang beratnya sekitar 15 kg, perjalanan di sore hari Jumat rasanya jauuuuuuh sekali. Sabtu pagi, proses serupa diulangi lagi, kali ini dengan koper 30 kg dan tas selempang berisi netbook.
Habis pindahan, kami langsung naik trem menuju Ikea. Eh, ternyata salah jurusan, dan baru ketahuan setelah mentok di halte terakhir. Walhasil kami harus balik lagi ke tengah kota lantas naik metro. Sampai di Ikea, beli seprai, sedikit perkakas dapur, tempat sampah, dan yang paling berat: meja yang meski mungil tapi bobotnya 12 kg. Proses membawa belanjaan ini lagi-lagi bikin otot saya — yang jarang banget dipakai — bekerja superkeras.
Hari ini giliran belanja ke pasar swalayan untuk beli makanan, deterjen, sabun, dan printal-printil kawan-kawannya yang kecil-kecil tapi lama-lama jadi bukit alias.. beraaaat. Alhasil badan sekarang rasanya pegal-pegal nggak karuan.
Pindahan dan menata rumah itu ternyata ribet ya. Jadi makin kagum sama ibu saya yang sukses mengelola pindah rumah lebih dari 20 kali 😀
Karena belum sempat jalan-jalan dan foto-foto, mohon maaf jika posting kali ini rada hambar akibat tanpa gambar. Harap sabar 🙂
Leave a Reply