Sungai Duna di malam hari — Jembatan Rantai di depan, Istana di belakang.

Dulu saya kira cuma Jogja kota yang bisa saya cinta. Sampai saya berkelana ke Budapest, Hungaria, untuk sembilan purnama.

Apa yang membuat hati terpikat? Pada apa saya terpesona?

Pada senja musim dingin yang memburu matari minggat di pukul empat. Pada serpihan salju yang mampir sekejap sebelum keesokan harinya lenyap. Pada cantiknya pantulan lembayung di istana di bukit Buda. Pada gemerlap lampu di deretan jembatan yang mengangkangi sungai Danube, yang dipanggil bangsa Magyar sungai Duna.

Pada liku kota, penyimpan kejutan di tiap sudutnya. Pada lebah di atap kantor Bank Pos alias “Postatakarékpénztar“. Pada keramik Zsolnay yang memantulkan sejuta warna. Pada langit-langit megah Kafe Alexandria. Pada sederet cukraszda, penjaja kue manis penuh gula.

Pada bahasa yang menyapa telinga seperti mantra. “Kerem vigyazzanak, az ajtok zarodnak,” hingga kini satu-satunya kalimat yang saya pahami dalam bahasa mereka. “Hati-hati, pintu akan menutup,” kalimat rekaman itu terdengar tiap kali trem dan metro hendak mengular keluar dari perhentian sementaranya.

Pada apartemen yang jembar. Pada harga yang tak membuat saya gulung tikar.

Bahkan pada pasangan-pasangan yang sibuk mengumbar mesra. Dulu saya benci mereka, karena membuat hati merana, rindu kekasih tercinta. Tapi sekarang, saya anggap saja adegan mereka sebagai pembakar rasa syukur saya saat bisa kembali bertemu kamu, sayang. Jadi, kapan kamu akan datang?

Komentar via Facebook | Facebook comments