(Sila baca bagian pertama tulisan ini di sini.)
Soal cantik versi industri ini rada menghantui pikiran saya sejak dulu. Komodofikasi kecantikan memang sudah lama jadi bahasan menarik pula dalam kajian gender. Tapi kemarin, saya terusik lagi gegara ikutan acaranya Olay — merek kosmetik asal Afrika Selatan yang kini jadi bagian dari grup P & G — di Hotel Four Seasons, pas di Hari Kartini.
Acaranya lumayan menarik, yaitu kelas kilat dandan. Sobat saya, V, diundang datang, dan dia mengajak saya dan F. Bertemulah kami di hotel-ujung-Kuningan itu, sekitar pukul 19.30. Seharusnya acara mulai jam 19.00, tapi kami semua telat karena alasan masing-masing. Alasan saya: karena KPK mengumumkan penetapan mantan Ketua BPK jadi tersangka. Sok iye ya alasannya, hehehe.
Kembali ke kelas dandan. Di awal acara, kami disuguhi video ini:
Videonya digarap dengan bagus dan bikin banyak perempuan bisa bilang, kena banget. Lantas topik beralih pada survei yang dilakukan Olay, yang hasilnya: ternyata 6 dari 10 perempuan ragu menampilkan yang tercantik dari mereka, 36% perempuan Indonesia segan tampil beda karena nggak mau diomongin orang, perempuan juga menghindari pakai lipstik merah supaya nggak dicap aneh-aneh.
Kampanye #BestBeautiful (sila cek di twitter) Olay ini semacam mendorong perempuan untuk nggak ragu tampil secantik mungkin dalam kesempatan apapun. Nggak usah pikirin apa kata orang. Yang penting kamu wahai perempuan merasa nyaman dengan penampilanmu. “Tampil cantik seutuhnya bisa membuat wanita lebih sehat dan bahagia lho,” cuit Annisa Pohan, duta merek Olay, yang juga datang pas kelas dandan itu.
Terdengar terlalu indah untuk jadi nyata? Yah, setidaknya itu yang saya pikir. Terlepas dari kemasan memberdayakan perempuan, gambaran “cantik seutuhnya” yang tersaji dalam video iklan Olay itu adalah pemakaian sepatu hak tinggi stiletto saat mengajar, tata rias penuh dan jilbab gaya oleh perempuan berkerudung, lipstik merah menyala di hari pertama kerja, perawatan kulit yang dilakukan perempuan lanjut usia, dan anting yang dipakai atlet lari. Seolah sepatu teplek, jilbab “biasa”, lipstik warna kalem, kulit berkerut, dan atlet tanpa aksesoris tak cocok dengan konsep cantik. Ujung-ujungnya sih pesan yang saya tangkap adalah pakailah produk Olay, yang mendukungmu untuk dandan cantik “seutuhnya”, dan kamu jadi perempuan hebat!
Kamu bisa saja bilang saya terlalu memikirkannya, terlalu sibuk menafsirkan sepotong iklan, atau ini topik yang sudah usang.. Tapi sampai sekarang, saya masih takjub dengan begitu halus sekaligus gencarnya industri kosmetik membuat perempuan selalu merasa tidak utuh dan kurang cantik. Coba lihat iklan dan citra yang berkeliaran di sekitar kita.
Jadi perempuan cantik versi industri kecantikan itu adalah: punya kulit terang dan halus, tanpa keriput, nggak jerawatan, hidung bangir, bibir penuh, rambut panjang, nggak berketombe, memakai tata rias komplit dan awet sepanjang hari, langsing, nggak berambut di ketiak-lengan-dan-tungkai, simetris… Seringkali cantik dibilang “keluar dari hati” dan perempuan yang berbudi baik dianggap lebih cantik, tapi ya karena iklan kosmetik, tentu di akhir iklan pesannya adalah pakai produk ini, kamu bakal lebih cantik.
Saya paham bahwa obsesi dengan kecantikan berawal dari insting dasar manusia. Karena cantik (dalam hal ini, baik wajah maupun badannya simetris, serta berkulit mulus) adalah pertanda kesehatan, umur panjang, dan kemampuan reproduksi yang lebih baik. Kemudian di masa feodal, perempuan yang berkulit terang disukai karena itu tandanya ia ningrat yang tak bekerja membanting tulang di bawah sinar matahari. Pemujaan pada kulit putih makin dalam di masa kolonialisme yang menyisakan rasa inferior pribumi. Tapi semua ini makin menggila di tengah kapitalisme, dengan jualan “rasa kekurangan” yang menggedor semua orang.
Meminjam kata Zed Nelson, seorang fotografer: “Kecantikan adalah industri global yang menghasilkan US$ 160 miliar per tahun. Pengejaran terhadap tubuh yang sempurna sudah menjadi agama baru.”
Saya tumbuh di tengah kepungan citra yang nyaris seragam soal cantik. Dan saya masih berjuang untuk keluar dari kotak cantik yang konvensional. Saya pikir perempuan berkulit legam tidak kalah cantik daripada yang berkulit terang, mereka yang berhidung mancung tak lebih cantik ketimbang yang pesek, perempuan berbaju gaya setara cantiknya dengan yang berpakaian sederhana, yang tubuhnya berlekuk tidak kurang cantik daripada yang langsing. Kami sama-sama cantik, cuma versinya beda.
Betapapun saya melatih pikiran untuk meyakini versi cantik yang berbeda-beda, di hadapan cermin, saya masih sering gentar. Ada saja yang terlihat kurang: kulit pecah-pecah, jerawat, mata yang tak sama besar. Ada hari-hari saya cuek nggak mau pakai tata rias, ada hari-hari saya nggak percaya diri kalau nggak melapisi wajah dengan penyamar noda, bedak dasar, dan segala macam perona muka. Saya tidak anti tata rias, hanya saja saya tak ingin hidup dan kebahagiaan saya tergantung pada versi cantik tertentu.
Saya sadar sesadar-sadarnya acara kelas kecantikan kemarin itu tak lebih dari satu lagi bentuk komodifikasi Hari Kartini. Tapi toh acaranya gratisan dan yang paling penting, saya bisa bertemu sahabat-sahabat, jadi saya pikir tidak ada salahnya ikut hura-hura industri kosmetik itu 😀 Dan saya jadi punya bahan untuk ngeblog, hahaha.
NB: Foto disalin dari ponselnya F.
Wiwin Pratiwanggini
hihihi..seruuuuu 🙂
bunga
Apanya yang seru nih Mbak? 😀