Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa.
Hanya setelah punya anak, saya paham rasanya menjadi ibu. Dulu cuma bisa mengira-ngira sembari sok tahu. Haha.
Menjadi ibu artinya bertekad penuh untuk membahagiakan anak, menjaga kesehatannya, dan melindunginya dari bahaya. Itu artinya siap sedia saat si bayi meminta jatah ASI jam berapa pun saat di rumah. Kecemasan saat stok ASI perah kejar tayang. Meluangkan waktu untuk empat kali memompa ASI di kantor. Kerelaan diri setiap hari kerja berjibaku di kereta pergi-pulang membawa tas berat berisi oleh-oleh ASI perah, es pendingin, dan perintilan pompa. Juga kesedihan dan kekhawatiran ketika anak sakit, meskipun “cuma” batuk pilek. Serta rasa deg-degan karena tak lama lagi RK akan memasuki masa makanan pendamping ASI.
Tentu ada rasa bahagia saat melihat anak tersenyum, tertawa, bermain, dan tertidur dengan wajah damai. Saya tidak bisa bilang saya lebih bahagia ketimbang ketika RK belum lahir — tidak punya anak dan tidak menikah pun kita bisa berbahagia, hanya saja dalam tiap tahap kehidupan, kita memperoleh jenis bahagia yang berbeda dan terus mengubah definisi kita tentang kebahagiaan.
Punya anak juga berarti ada tugas besar di pundak orang tua. Sekarang mungkin cuma urusan ASI, pipis, pup, imunisasi, cuci baju, mensterilkan perangkat ASI, dan pemantauan tumbuh kembang. Tak lama lagi bertambah dengan perencanaan makanan dan pendidikan budi pekerti. Lalu tidak terasa waktu berlalu dan benak kami akan dipenuhi perihal sekolah, pilihan dan konsekuensi biayanya. Kemudian ada tantangan mengatasi pubertas, urusan kuliah, pekerjaan, dan pernikahan. Eh… mungkin saya berpikir terlalu jauh ke depan.
Bagaimanapun, di titik ini rasanya bakti saya kepada ibu sendiri sangatlah kurang. Terlalu banyak momen saat saya cemberut, ngeyel, marah, meninggikan suara, menyusahkan, dan menyakiti hati ibu. Maafkan semua kesalahan yang sudah dan akan kulakukan ya Bu. Padahal ibu sudah melakukan begitu banyak hal untuk saya, mulai dari berjuang melahirkan sendiri karena ditinggal ayah kuliah, merawat saya ketika sakit, mengantar-jemput saya ke sekolah lalu harus bolak-balik karena saya lupa membawa sabuk/topi/entah apa lagi, sampai mendadak jadi pedagang batik dan penjahit seprai saat ayah kuliah (lagi). Setelah saya melahirkan pun ibu masih membantu — saat di Jakarta — mencuci dan menyetrika baju, membersihkan rumah, serta merawat RK saat saya bekerja dan ingin nonton film di bioskop.
Apapun yang saya lakukan tak akan cukup untuk membalas pemberian ibu. Saya cuma bisa berjanji meneruskan curahan cinta dan tenaga kepada anak dan, jika nanti ada, cucu tercinta. Termasuk menjaga cucu saat anak dan pasangannya ingin nonton film atau haus hiburan lainnya.
Iya, lagi-lagi sepertinya saya berpikir terlalu jauh ke depan. Yang ingin saya sampaikan sebetulnya cuma:
Terima kasih, Ibu sayang. Aku cinta Ibu.
NB: Foto dengan Ibu dijepret tahun 1985.
NB 2: Aku juga cinta Ayah! Hehe.
Leave a Reply