Pada hari-hari panas menjelang insiden Mei 1998, saya hanya murid SMP yang sekali-sekali menonton berita dan membahasnya dengan orang tua. Berita-berita tentang demonstrasi dan kerusuhan di Jakarta tampak mengerikan tapi juga berjarak, karena di Yogyakarta saat itu untungnya relatif aman.
Saya ingat saat melihat kakak-kakak mahasiswa demonstrasi, sepertinya heroik sekali. Dalam hati saya membatin, kalau saja saya lahir lebih cepat, saya pasti ikut turun ke jalan. Tapi saya cuma piyik yang tahu secuil soal politik negara.
20 Mei 1998 tiba, penduduk Yogyakarta berduyun-duyun ke alun-alun utara untuk ikut pisowanan agung, ketika Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam VIII menyatakan dukungan pada reformasi. Saya tidak ingat apa yang saya lakukan hari itu, yang jelas nggak ikutan ke alun-alun. Besoknya, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Saya menonton beritanya di televisi, lalu berkomentar dalam hati, akhirnya presiden kita ganti juga.
Rak buku Ayah yang berisi buku-buku cenderung “kiri” kemudian tak dikunci lagi. Satu hari di bulan Oktober, Ayah membawa pulang Majalah Tempo, yang sudah empat tahun tak hadir di rumah karena dibredel. Terbelalaklah mata saya membaca kisah tentang pemerkosaan sistematis yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998. Saya tidak menyangka kejahatan kemanusiaan macam itu bisa terjadi di Indonesia (saat itu mana saya tahu tentang pemerkosaan semasa DOM di Aceh).
Hari-hari ini, ujaran kebencian dan mengajak kekerasan bertebaran di mana-mana, seolah-olah orang dengan pemikiran berlawanan adalah musuh. Label sumbu pendek, bumi datar, kaum berdaster, onta, bani serbet, bani taplak, mulut jamban, kafirun, munafikun, bertebaran seakan-akan orang lupa bahwa kata-kata tersebut bukan saja kontraproduktif tapi juga bisa menyakiti, dan dapat dijadikan bukti untuk menjerat pelontarnya dalam kasus pidana.
Perpecahan tampak meruak serempak di mana-mana. Sangat mungkin tulisan Allan Nairn tentang konspirasi benar adanya, tapi yang menyedihkan adalah banyaknya orang yang benar-benar percaya tindakan melakukan kekerasan secara verbal maupun fisik yang dilakukannya adalah benar.
Indonesia jauh lebih besar daripada kampanye, pemilihan kepala daerah, dan Jakarta. Bangsa Indonesia ada karena keberagamannya (dan kecelakaan sejarah). Karena ada saya, kamu, kita yang berbeda etnis, agama, kepercayaan, kelas, ideologi, dan latar belakang.
Saya ingin tragedi Mei 1998 tidak akan terjadi lagi. Untuk mengingat satu faset yang traumatis dari Mei 1998, bacalah dokumen ini. Bulatkan tekad bersama-sama untuk merawat Indonesia dengan merayakan perbedaan. Karena kita bisa bersama meski berbeda.
#rayakanperbedaan #bhinnekatunggalika
Gambar disalin dari sini.
Leave a Reply