“Kami ingin menciptakan kegiatan yang meningkatkan sikap berpikir kritis dan mendukung inklusi sosial. Seni kami jadikan mediumnya.”
Bulan lalu, saya berkesempatan menuliskan enam kisah sukses komunitas seni untuk buku Dampak Seni yang diterbitkan Koalisi Seni Indonesia. Meski tak meliput dan mewawancarai mayoritas narasumber secara langsung, ini pengalaman menyenangkan karena saya jadi tahu tentang para pegiat seni di penjuru nusantara yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan lingkungan sekelilingnya. Rasanya, di tengah hiruk-pikuk kampanye politik, saya jadi bisa kembali optimistis terhadap masa depan Indonesia. Dalam enam pekan mendatang, saya akan mengunggah keenam cerita tersebut, yang telah disunting oleh Ninus Andarnuswari. Sila simak kisah-kisah ini via tag Dampak Seni.
Selamat membaca. Semoga optimisme soal nusantara bisa menular 🙂
View this post on Instagram
Memantik Pikiran Kritis Lewat Seni: Ganara Art
Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2017 membuat banyak orang terperanjat. Kini kebencian dan sikap diskriminatif terbukti menjangkiti lingkungan sekolah.
Sebanyak 79% anak-anak yang disurvei dalam kajian itu mempertimbangkan agama dalam memilih teman. Selain itu, anak terpapar ajakan kebencian oleh orang dewasa yang melibatkan mereka ke dalam kegiatan politik. Tak heran kalau remaja ikut terpeleset menyebar hoax alias kabar bohong dan intoleransi di dunia maya.
Tentu tak semuanya bernasib seperti seorang pelajar berusia 18 tahun di Sukabumi, yang harus berurusan dengan polisi akibat menyebarkan hoax tentang penyerangan pemuka agama melalui akun media sosialnya. Namun, kondisi seperti ini memicu keprihatinan seiring dengan semakin terjangkaunya telepon seluler dan kuota internet yang diikuti dengan peningkatan penggunaan media sosial.
Pada Januari 2018, hanya dalam waktu setahun, pengguna media sosial di Indonesia tercatat meroket 23% menjadi 130 juta orang. Lonjakan itu berarti kini 49% atau hampir separuh populasi nusantara aktif memakai media sosial. Sayangnya, meluasnya penetrasi media sosial dan pemakaian internet belum diiringi kemampuan berpikir kritis—termasuk di kalangan remaja, yang setidaknya 23 juta orang di antaranya getol bermedia sosial. Ini membuat remaja mudah menjadi korban hoax dan ujaran kebencian yang cenderung merajalela setiap musim pemilihan umum.
Lestia Primayanti dan Tita Djumaryo, pendiri lembaga pendidikan seni Ganara Art, bertekad melakukan sesuatu. Sejak 2017, mereka menggagas kegiatan bertajuk Mari Berbagi Seni. Kini tak kurang dari 1.700 remaja dari 5 SMK dan SMA di Makassar, Tangerang Selatan, dan Bogor telah terlibat dalam inisiatif ini. “Kami ingin menciptakan kegiatan yang meningkatkan sikap berpikir kritis dan mendukung inklusi sosial. Seni kami jadikan mediumnya. Lahirlah ide Mari Berbagi Seni,” ujar Lestia.
Di dalam Mari Berbagi Seni (MBS), seni menjadi kendaraan untuk berdiskusi dan membiasakan peserta terhadap sudut pandang berbeda-beda. Dengan seni, peserta disentuh untuk belajar menghargai perbedaan dan keragaman di dalam masyarakat. Para siswa peserta MBS juga diharapkan tidak hanya tumbuh semangat berpikir kritisnya, tapi juga menjadi agen perubahan di lingkungannya masing-masing.
Menjelajah Keberagaman
Lestia menjelaskan, kegiatan ini terdiri dari tiga modul. Fokus tiap modul berbeda, yakni keberagaman, empati, dan kebebasan berekspresi. Sejauh ini, baru modul pertama yang dilaksanakan. Modul tersebut dilaksanakan sekali seminggu dalam waktu delapan pekan.
Dalam aktivitas pertama, siswa diajak belajar menggambar still life objek sehari-hari, lantas mendiskusikan beragamnya penafsiran peserta lain terhadap karya yang dihasilkan. Berikutnya, kegiatan bertajuk “Satu-satu Jadi Padu” meminta siswa melukis lantas membahas soal cara memadukan elemen dalam gambar, serta bagaimana agar elemen-elemen itu bisa selaras.
Pada pertemuan ketiga, peserta dijelaskan soal konsep keseimbangan dalam mandala, kemudian tiap kelompok menentukan komposisi dan berbagi tugas untuk membuat mandala bersama-sama. “Ragam-ragam Rona”, aktivitas keempat, mengajak siswa cara memadukan warna pada kertas dengan cara marbling. Mereka juga diminta membahas definisi indah dan benar yang ternyata bisa beragam.
“Saya paling suka kegiatan ini,” kata Nur Afni, siswi kelas XII Administrasi Perkantoran SMK 8 Makassar. “Sebelumnya saya tidak pernah diajari bahwa dengan mencampur warna-warna dasar, kita bisa mendapat warna baru. Dalam sesi itu saya juga jadi lebih paham dan mempraktikkan langsung soal kerja sama, juga menghargai orang lain.”
Dalam pertemuan berikutnya, peserta diminta melukis topi dengan flora dan fauna. Diskusi lantas dipantik dengan pertanyaan tentang keunikan yang dibanggakan siswa dari daerahnya, serta bagaimana daerah lain memandang keunikannya. Pekan ketujuh diisi dengan aktivitas “Bertandang Agar Tak Senjang”. Peserta berkunjung ke sekolah difabel atau panti asuhan untuk menceritakan karyanya, membuat karya bersama, sekaligus mengenal orang-orang yang berbeda dengan dirinya.
Menurut Afni, dulu ia bersama peserta lain dari SMK 8 Makassar datang ke panti asuhan untuk berbagi ilmu tentang marbling kepada anak yatim piatu. “Anak-anak di panti asuhan senang sekali karena ternyata sama seperti kami, mereka baru tahu warna-warna bisa dicampur jadi warna lain. Di atas kertas marbling, mereka menggambar cita-citanya, lalu dipajang di dinding,” kata Afni.
Menurut Lestia, MBS ingin peserta bisa bertemu dengan kelompok yang berbeda dari mereka dan saling bertukar pengalaman. Biasanya, prasangka peserta terhadap orang lain berubah setelah mengobrol dan memulai pertemanan. Ini terjadi pada Afni bukan hanya dengan berkunjung ke panti asuhan, melainkan ketika ia harus beraktivitas dalam satu kelompok dengan siswa kelas lain. Sebelum ikut MBS, ia hanya bergaul dengan kawan satu jurusan di angkatannya. MBS mengharuskannya satu kelompok dengan siswa dari jurusan dan angkatan lain. “Saya kira dulu mereka galak. Setelah kenal, ternyata mereka asyik juga,” ucapnya.
Di akhir modul, siswa membuat pameran karya, melatih kemampuan berkomunikasi, dan belajar mengemukakan pendapatnya. Mereka pun belajar cara mengapresiasi seni dan karya teman-temannya. Di Makassar, karya Afni dan rekan-rekannya dipamerkan di Rumata’ Artspace.
“Saya senang dan bangga karena kami bisa membuat pameran bersama. Murid dari sekolah lain dan bahkan mahasiswa datang melihat karya kami. Saya sempat panik waktu harus cerita tentang karya di depan orang-orang yang tidak dikenal. Tapi kata fasilitator, bicara saja dan anggap semuanya teman,” kata Afni sembari tertawa mengingat kegugupannya saat itu.
View this post on Instagram
Memicu Daya Kritis
Untuk melihat dampak kegiatan MBS terhadap pola pikir pesertanya, Koalisi Seni Indonesia mengadakan riset pada peserta di Makassar. Salah satu indikator utama yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah kebiasaan berpikir kritis.
Hasilnya, para peserta MBS di Makassar menunjukkan peningkatan kebiasaan berpikir kritis. Skor mereka yang tadinya 68 sebelum kegiatan menjadi 74 seusai mengikuti rangkaian aktivitas tersebut. Artinya, pelatihan terstruktur yang mendukung motivasi berpikir kritis dalam kegiatan seni terbukti meningkatkan kebiasaan peserta untuk berpikir lebih kritis dalam kegiatan sehari-harinya.
Selain itu, selama MBS berlangsung, peserta mampu menyampaikan opininya mengenai isu-isu tertentu, di samping membicarakan karya seni yang mereka buat. Dengan demikian, seni juga berperan dalam memicu perbincangan tentang isu-isu sosial secara santai dan dinamis.
“Sekarang mereka lebih bisa berpikir kritis dan berani mengungkapkan pendapatnya sendiri. Mereka juga sering bertanya kapan kegiatan MBS ini diadakan lagi,” kata Muhammad Yayat, salah satu fasilitator di Makassar.
Afni mengaku merasa lebih kritis seusai mengikuti rangkaian MBS. Dulu, ia sering mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Kini ia sering menimbang-nimbang plus minus serta konsekuensi bagi keputusannya di masa depan. Menjelang pemilihan presiden, Afni pun tak mau menyebarkan informasi yang tampak sebagai ujaran kebencian terhadap para calon. “Banyak yang posting di Facebook dan share di WhatsApp soal calon A begini, calon B begitu. Tapi karena saya tidak tahu kebenarannya, saya nggak mau ikut-ikutan menyebarkannya,” ucap Afni.
Uniknya, ternyata bukan hanya peserta MBS yang makin mumpuni berpikir kritis. Fasilitator seperti Muhammad Yayat pun mengaku kini jadi bisa berpikir lebih kritis. “Dulu saat keluarga berkumpul, saya hanya mengiyakan pendapat paman, tante, dan orang tua. Tapi sekarang, saya tidak serta-merta mengikuti perkataan mereka. Saya berani mengeluarkan pendapat sendiri,” tuturnya.
MBS menempatkan fasilitator daerah sebagai salah satu aktor penting dalam pelaksanaan program. Menurut Lestia, pihaknya sengaja memilih fasilitator lokal dan melatih mereka dengan serius. Sebab, MBS ingin menggulirkan perubahan dengan memberdayakan masyarakat lokal, sehingga perlu fasilitator yang paham konteks sosial setempat.
Fasilitator juga diharuskan masih muda, berusia di bawah 30 tahun agar lebih luwes dalam diskusi dengan remaja. “Kami ingin mereka bisa menciptakan diskusi dengan hubungan yang setara,” ucap Lestia. Setelah lolos seleksi awal, para calon fasilitator dilatih selama dua hari untuk memastikan mereka memahami modul serta mampu memantik diskusi dan aksi peserta dalam berkesenian.
Muhammad Yayat mengatakan pelatihan tersebut bukan hanya menyiapkan kemampuan fasilitasi kegiatan, tapi juga membedakan MBS dengan kegiatan sukarela yang sebelumnya ia lakukan. “Sebelumnya saya sudah sering jadi relawan untuk kerja sosial. Biasanya kegiatan langsung diserahkan ke relawan, dan kami langsung beraksi di lokasi tertentu. Gaya MBS berbeda. Saya merasa dipersiapkan dan dibekali sekali melalui pelatihan, sehingga saya lebih siap menghadapi adik-adik,” ujarnya.
View this post on Instagram
Tekad Menyebar Manfaat
Pelaksanaan MBS tentu bukan tanpa tantangan. Lestia dan timnya harus berurusan dengan birokrasi lokal dan sekolah untuk mendapat izin pelaksanaan. Peserta pun ada yang tampak kurang antusias saat mengikuti kegiatan tersebut.
Namun, MBS dapat dibilang cukup sukses memicu kemampuan berpikir kritis di kalangan remaja. Inisiatornya pun telah beberapa kali diundang media dan forum untuk berbagi kisah MBS. Antara lain, Tita Djumaryo diwawancarai Metro TV untuk tema “Mari Berjuang untuk Seni”. Pada 2017, Ganara Art diundang oleh Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk hadir dalam acara Musyawarah Guru Seni dan Budaya. Di acara tersebut, Ganara mengisi lokakarya “Berpikir Kritis Melalui Pengajaran Seni” untuk para guru dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Ganara Art bertekad akan terus mengembangkan program ini dalam jangka panjang. Modul kedua dan ketiga akan segera dilaksanakan. MBS pun ingin menjangkau lebih banyak sekolah dan kota. “Kami ingin mencari sekolah yang bukan unggulan, terletak di pinggir kota, dan berada di daerah yang rentan masalah intoleransi dan keberagaman,” tutur Lestia.
Sejauh ini, Dinas Pendidikan Kota Makassar telah merekomendasikan sejumlah sekolah di pinggiran Makassar untuk dijadikan lokasi program tambahan. Dinas tersebut juga menyanggupi membukakan pintu ke sekolah-sekolah itu.
Sektor swasta tak ketinggalan diikutsertakan. Kini modul kedua telah mendapatkan dukungan dari UOB. Bank tersebut akan mendukung kegiatan di Makassar, Jabodetabek, Ambon, dan Yogyakarta. Tetap saja, menurut Lestia, ada beberapa dukungan yang masih diperlukan MBS untuk berekspansi.
Pertama, diperlukan staf penghubung yang dapat menjembatani MBS dengan sekolah-sekolah dan pemangku kepentingan dalam sektor pendidikan di banyak daerah. Staf ini diharapkan bisa membangun jejaring yang kuat sehingga menarik lebih banyak lagi anak-anak muda untuk menjadi fasilitator.
Kedua, MBS memerlukan ruangan khusus untuk pelatihan dan pertemuan, ruang pameran dan pemutaran film dokumentasi kegiatan, serta ruang penyimpanan barang dan materi kegiatan—salah satunya untuk menampung donasi barang sesuai karakter program.
Kredit foto utama: Instagram Mari Berbagi Seni
Leave a Reply