Hari ini menemukan tulisan lama yang dimuat di website PPI Belanda, tertanggal 10 Februari 2014. Berasa masuk mesin waktu dan melihat diri yang masih unyu. Ini dia tulisannya, dengan sedikit suntingan:
Modus Erasmus Mundus
Niat melanjutkan sekolah ke level master bisa jadi kenyataan karena alasan yang sekilas sepele, seperti… ogah kalah pamor dari pacar tercinta. Setidaknya, itu yang memicu saya berkelana ke Eropa. Keinginan menempuh jenjang S-2 sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun selama tiga tahun, saya tenggelam dalam keasyikan bekerja jadi kuli tinta di rimba raya Jakarta.
Sampai pada bulan Ramadhan di 2010, pacar memberi tahu kabar luar biasa. Dia mendapat beasiswa untuk S-2 Hubungan Internasional di Yekaterinburg, Rusia, untuk tiga tahun lamanya. Oh, tentu petir langsung heboh sambar-menyambar dalam benak saya. Tiga tahun di kota yang lebih dari 8.000 kilometer jauhnya dari Jakarta?
Seharusnya saya senang dia mendapat kesempatan emas di belahan dunia lain, tapi yang ada justru rasa sedih. Bukan cuma karena harus terjebak dalam long distance relationshit, eh, relationship; tapi juga kesal karena saya gengsi, kalah dibalap pacar sendiri. Beberapa bulan setelah ditinggal, saya bermuram durja bak ratu drama. Tetapi lantas saya memutuskan, ini saatnya saya menyusul ke Eropa!
Siap-siap ke Eropa
Pertanyaannya, ke mana dan belajar apa? Jelas bukan ke Rusia karena sumpah saya nggak nafsu melihat hurufnya yang ajaib dan lebih banyak ketimbang alfabet biasa. Bukan program berbahasa non-Inggris karena saya tidak menguasai bahasa Eropa lainnya di luar bahasa Inggris. Bukan pula master di bidang jurnalisme karena saya sudah penat belajar jurnalisme lima tahun di bangku S1 plus tiga tahun kerja sebagai reporter.
Pilihan saya jatuh pada kebijakan publik, yang masih bisa disambungkan dengan kerjaan—sebagai peliput Istana Negara, tiap hari saya terpapar kebijakan pemerintah dan pembuatnya, tapi tak tahu betul seluk-beluk di baliknya. Selain itu, kebijakan publik juga berkaitan erat dengan kerja pers, antara lain adanya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin akses masyarakat, termasuk jurnalis, terhadap informasi badan publik. Seharusnya dengan beleid baru itu, Indonesia bisa lebih transparan, akuntabel, dan minim korupsi. Saya ingin tahu seperti apa kebijakan serupa di negara lain, terutama di Eropa. Pelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman mereka yang lebih lama itu untuk memperbaiki sistem akses informasi Indonesia? Kira-kira begitu “jualan tesis” yang terbersit dalam benak saya.
Ujung-ujungnya kok soal korupsi lagi? Padahal sebenarnya saya bukan tipe jurnalis yang rajin menelusuri dan membongkar dugaan korupsi. Tapi saya yakin jalan saya di sini — pertandanya, berturut-turut saya berkesempatan ikut serta dalam tiga forum antikorupsi sejak tahun lalu: Global Youth Anti-Corruption Forum (GYAC) di Brussels, Belgia; 14th International Anti-Corruption Conference (IACC) di Bangkok, Thailand; kemudian GYAC kedua di Nairobi, Kenya. Sederet teman dan pengalaman saya dapat, tapi yang paling menancap di benak adalah kalimat seorang kawan, Paku Utama, “Membenahi Indonesia dan mengusir korupsi itu bukan beban kita, generasi muda, tapi justru privilege kita.”
Sedari awal saya menyasar Belanda dengan alasan strategis: karena utang sejarah, negeri kumpeni itu menyediakan lebih banyak beasiswa untuk warga Indonesia ketimbang negara lain di daratan Eropa. Mutu pendidikannya pun cukup terjamin. Dari hasil tanya kanan-kiri, program Public Policy di International Institute of Social Studies (ISS) tampaknya cocok untuk memenuhi keinginan saya itu. Tapi saat saya menjelajah dunia maya untuk mencari informasi tentang ISS, saya teringat Erasmus Mundus, yang pertama kali saya dengar saat meliput perihal beasiswa nun di tahun 2008. Saya cek program master yang ditawarkan Erasmus Mundus, ternyata ada bidang studi Kebijakan Publik, dengan judul program Erasmus Mundus Masters Program in Public Policy (Mundus MAPP). Lagipula, ISS juga jadi anggota konsorsium itu.
Setelah membaca baik-baik persyaratan di situs web Mundus MAPP dan menggali informasi di dunia maya, terutama Emundus.wordpress.com, blog alumni program Erasmus Mundus asal Indonesia; saya mengirim dua aplikasi terpisah. Satu ke ISS, satunya lagi ke Mundus MAPP.
Diterima!
Di awal 2011, datanglah kabar bahagia ganda. Januari 2011, ISS menyatakan saya lolos seleksi dan bisa jadi mahasiswa mereka. Hanya saja, sistem di Belanda mengharuskan mahasiswa yang diterima mencari sendiri beasiswanya, dan hingga dua bulan berikutnya belum ada kabar dari NFP apakah permohonan beasiswa saya diterima. Maret 2011, konsorsium Mundus MAPP pun mengabarkan saya diterima dan mendapat beasiswa yang jumlahnya cukup menjamin hidup sejahtera. Otomatis, saya pilih Mundus MAPP sebagai pembuka jalan saya ke Eropa.
Dalam konsorsium Mundus MAPP, ada empat Perguruan Tinggi yang dua di antaranya harus dipilih. Yakni, ISS atau The University of York, Inggris di tahun pertama, lantas Central European University (CEU) Budapest, Hongaria atau Institut Barcelona D’Estudis Internacionals, Spanyol, di tahun berikutnya. Saya memilih ISS dan CEU.
Alasan idealisnya, karena ISS adalah sekolah dengan tradisi kritis dan agak “kiri”, sehingga cocok untuk mengimbangi CEU yang didirikan taipan George Soros dan cenderung mainstream dan konservatif.
Alasannya pragmatisnya, supaya nggak kaget dengan transisi, sekaligus bisa lebih mudah jalan-jalan. Di Belanda banyak orang Indonesia dan pasokan makanan Indonesia. Karena bagi saya makanan = kenyamanan, jadi nggak usah khawatir kena homesick, hahaha. Sedangkan soal lokasi, kalau sekolah di Inggris, visanya nggak bisa dipakai untuk keliling Eropa. Beda kalau kuliah di Belanda, anggota perjanjian Schengen yang visanya berlaku untuk 25 negara. Hungaria saya pilih karena terletak di tengah Eropa Tengah, penuh negara yang ingin saya jelajahi: Bosnia dan Herzegovina, Serbia, Kroasia, Ceko, Slovakia, Austria, Makedonia.. dan Budapest ketimbang Barcelona juga rasanya sedikit lebih dekat ke Yekaterinburg. Catat ya, sedikiiiiiit saja… Barcelona-Yekaterinburg 4.438 kilometer sedangkan di antara Budapest-Yekaterinburg “cuma” terbentang jarak 2.962 kilometer (FYI, Jakarta-Yekaterinburg 8.158 kilometer).
Kembali ke Bangku Kuliah
Hari-hari pertama kuliah, rasanya kejatuhan beban superberat! Haha, maklum otak ssudah terlalu lama nggak betul-betul dipakai, selama jadi wartawan kan lazimnya cuma merangkum perkataan orang atau reportase. Tentu, bukannya kerja jurnalistik nggak pakai otak, tapi membaca ratusan halaman jurnal ilmiah dengan kosakata ajaib lantas berargumen atas dasar naskah akademik itu plus pendapat sendiri sungguh bukan sesuatu yang mudah.
Soal mata kuliah dan dosen, beragam jenisnya. Ada yang menarik, ada yang membosankan, ada yang menantang otak, ada yang bikin stres dengan tugas dan ujiannya, ada yang bikin ngantuk. Umumnya semua dosen mudah didekati dan tidak berjarak seperti dosen Indonesia. Jadwal kuliah superpadat di term awal, makin lama kuliah makin jarang tapi tugas makin menggunung.
Satu hal yang saya pelajari di ISS adalah berpikir kritis. Selama ini saya relatif mengiyakan saja wacana yang beredar di masyarakat, tanpa menelisik ada apa di baliknya. Soal antikorupsi, misalnya, tentu semua bilang itu gerakan yang wajar. Tapi apakah betul-betul demi kesejahteraan masyarakat, atau sekadar melancarkan pasar dan neoliberalisme? Juga soal inflasi, yang kerap dipandang sebagai “musuh” pertumbuhan ekonomi. Apa iya inflasi itu buruk, bukankah itu bukti masyarakat punya daya beli yang baik? Lalu perihal krisis ekonomi: apa betul lebih baik memotong subsidi, bukannya itu melemahkan daya beli populasi dan makin memperlemah ekonomi?
Di sini, perspektif saya terasa makin luas dengan cara berpikir yang kadang melelahkan itu. Dari situ, semoga di masa depan saya bisa membaginya pada orang lain, entah melalui kerja jurnalistik atau di bidang lainnya.
Pelajaran di Luar Kelas
Yang menarik di ISS adalah lingkungan multikulturnya. Di angkatan saya, ada 180-an mahasiswa master dari puluhan negara. Staf pengajar juga berasal dari beragam negara. Berinteraksi dengan kawan-kawan dari latar budaya berbeda harus pintar-pintar mengenali mana yang serius mana yang bercanda, mana yang buat mereka wajar mana yang untuk sebagian orang menyinggung. Serunya, bisa bertukar pengetahuan soal negara masing-masing, saling belajar bahasa (umumnya sih belajar kata makian, hahaha), juga mencoba makanan dari belahan dunia yang berbeda. International Day di kampus juga jadi ajang pamer budaya dan mendadak berasa jadi primadona, gegara ramai-ramai dandan cantik berkebaya lantas menari bareng kawan-kawan Indonesia.
Satu hal lagi yang menyenangkan adalah bisa bersepeda ke mana-mana. Bukan saja ada jalur khusus di tiap jalan di Belanda, tapi iklim yang dingin membuat pengendara sepeda nggak berkeringat meski mengayuh cukup jauh. Tapi kalau pas musim dingin sih ya mending jalan kaki atau naik transportasi publik yang teratur, jauh dari hiruk pikuk jalan raya dan kemacetan ala Jakarta. Di sisi lain, saya juga jadi belajar memasak demi ngirit biaya hidup. Dulu sih di Jakarta mendingan beli daripada repot masak. Ongkos hidup di Den Haag yang supermahal untungnya tak sampai memakan semua uang beasiswa dari Uni Eropa. Dari hasil ngirit, masih ada cukup dana untuk berkelana ke sejumlah negara dan menimba lebih banyak lagi cerita. Sejauh ini, saya sempat bertandang ke Jerman, Belgia, Perancis, Spanyol, Italia, dan, akhirnya… Rusia.
Pindah ke Hongaria
Setahun di Belanda, pengambilan data selama tiga pekan di Indonesia, dan satu tesis sudah berlalu dari kalender akademis saya. Namun perjuangan belum usai, karena tahun kedua menanti di Hongaria. Sejak September 2012, saya bergeser ke negeri bangsa Magyar untuk melanjutkan hidup mahasiswa.
Di tahun kedua di benua biru, ternyata rasanya lebih mudah beradaptasi. Kampus CEU juga multikultural, namun komposisinya didominasi teman-teman dari Eropa Tengah dan Timur. Dalam satu semester, jumlah mata kuliah jauh lebih banyak ketimbang ISS, tapi beban intelektualnya lebih ringan.
Yang bikin senang, Budapest ini kota yang besar, indah dan juga murah. Hanya saja, untuk bersepeda, jalan-jalan dan iklimnya tak seramah Belanda. Dan jumlah orang yang bisa berbahasa Inggris tak sebanyak di Belanda, sehingga kadang jurus bahasa Tarzan harus beraksi.
Enam bulan dan satu tesis lagi, masa menuntut ilmu di Eropa akan berakhir. Misi mengejar pacar tercapai. Yang tak kalah penting, jauh dari negeri sendiri ternyata justru mengobarkan semangat nasionalisme. Tambahan segudang ilmu dan pengalaman ini semoga bisa jadi bekal untuk menyumbang upaya membuat Indonesia menjadi lebih baik untuk kita semua
Jadi.. kapan kamu bergabung dengan laskar beasiswa? 🙂
Leave a Reply