Buku membuat Rizal kecil yang kesepian menemukan dunianya. Ruang kamar yang pengap dan sempit, juga kelas di sekolah, tak lagi membatasi imajinasinya.
Ayahku, Rizal Malik, adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Lahir di Padang pada 1955, Rizal bersama keenam kakak dan orang tuanya pindah ke Bandung tahun 1956. Mereka pindah karena ayah Rizal mendapat kesempatan kuliah di Perguruan Tinggi Pendidikan Guru – sekarang Universitas Pendidikan Indonesia.
Sama seperti ibuku yang dititipkan ke bibinya sejak kecil, Rizal juga kebagian tinggal di rumah kerabat. Tahun 1963, Rizal yang berusia delapan tahun diminta saudara jauh ayahnya dari Seberang Padang, Pak Tuo Usman, untuk diasuh di rumahnya di Jalan Anggrek nomor 47, Bandung.
Pak Tuo menikah dengan Ibu Aisyah, biasa dipanggil Ibu Anggrek, yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Karena Pak Tuo dan Ibu Anggrek tak memiliki anak kandung, semua kemenakan dari Ponorogo mereka asuh sejak kecil hingga dewasa. Rizal adalah anak asuh keenam Pak Tuo, dan yang pertama dari keluarga Seberang Padang.
Sayangnya, tidak ada dokumentasi foto dari saat Rizal tinggal di rumah Anggrek itu. Namun, ia masih ingat betul bentuknya.
Ada bangunan utama yang memiliki tiga kamar tidur dan paviliun belakang yang berisi 10 kamar kos untuk mahasiswa. Rizal mendapatkan kamar tidur di bangunan utama. Kamar tidur ini awalnya gudang mebel tak terpakai, namun diubah agar separuhnya bisa ditempati Rizal. Di dalam kamar itu, seingat Rizal, ada delapan lemari, empat ranjang, tiga meja, plus satu ranjang berkasur yang ia pakai tidur. Satu jendela di kamarnya menghadap ke teras yang disulap jadi kamar kos juga, jadi jendela itu tak pernah bisa dibuka.
Tampilan Jl. Anggrek 47 di Google Map. Menurut Rizal, rumah lama di depan tampaknya masih seperti aslinya, sedangkan paviliun kini jadi gedung bertingkat.
“Aku satu-satunya anak kecil di tengah sekitar 20 orang dewasa. Aku merasa dibuang orang tua, jadi kesepian dan nggak punya teman main. Di SD Soka, aku di-bully anak-anak kelas tiga. Saat itu aku mulai bolos sekolah demi menghindari di-bully. Kelas 4, aku dipindah ke SD Ciujung,” tutur Rizal.
Om Kwee dan Cerita Silat
Dari para mahasiswa yang kos di rumah Anggrek, ada kakak beradik dari Purwokerto yang Rizal ingat betul: Johny Kwee dan Kwee Ping Gian. Johny berkulit terang, ganteng, mengendarai motor BMW, dan selepas nonton bioskop bareng pacarnya sering membawakan bakpao untuk Rizal. Adiknya, Kwee Ping Gian, akrab Rizal panggil Om Pinggian, adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Parahyangan. Ia berkulit lebih gelap ketimbang kakaknya. Om Pinggian sering merokok dan membaca di kamarnya, serta berpengaruh besar pada minat baca Rizal.
“Om Pinggian ini orang paling baik. Dia minjemin buku Sia Tiauw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali) karangan Chin Yung yang dia pinjam dari taman bacaan. Tulisannya kecil-kecil, pakai ejaan lama, aku baca di kamar gelap tanpa jendela yang bisa dibuka,” ucap Rizal bercerita dengan semangat.
Dari situ, Rizal membaca juga novel silat sekuel Sia Tiauw Eng Hiong, yakni Sin Tiauw Hiap Lu alias Kembalinya si Pemanah Rajawali dan To Liong To atawa Golok Pembunuh Naga. Selain serial karangan Chin Yung, beragam cerita silat lainnya ia lahap pula. Salah satu penerjemah unggul bagi novel silat zaman itu ialah Oey Kim Tiang alias OKT, yang menyelipkan banyak kata serapan dari Bahasa Hokkien seperti lu, gua, berkelit, dan mengegos. Lewat cerita silat, kata-kata itu masuk ke dalam budaya populer Indonesia.
Banyak hal membuat novel silat membetot hati Rizal. Mulai dari latar belakang sejarahnya, kentalnya nilai patriotisme, kesetiaan pada konsep bakti terhadap orang tua (filial piety), filosofi Cina, hingga bela diri tai chi.
“Dalam salah satu kisah, tokoh utamanya Kwe Ceng besar di Mongolia dan akan diangkat menantu Genghis Khan. Di situ aku fascinated (terpukau) banget sama Asia Tengah, Jalan Sutera, dan sebagainya,” papar Rizal.
“Om Pinggian sekarang entah di mana, tapi dialah yang mulai mengenalkan literatur Cina terjemahan, cerita silat, juga minat terhadap geografi dan sejarah tempat-tempat yang belum pernah aku datangi. Jasa Om Pinggian adalah membuat anak kesepian menemukan dunianya sendiri. Dan pada saat itulah ruang kamar yang pengap dan sempit, juga ruang kelas, tidak bisa membatasi imajinasiku.”
Tanpa sadar, saat Rizal mulai mengoleksi buku, banyak sekali buku bertema Cina masuk ke rak. Minatnya ada pada studi soal jalan sutra, Turkestan dan Yunnan, tempat nenek moyang banyak orang Indonesia berasal. Selain, tentu saja, berpuluh judul cerita silat versi cetak ulang.
Hakim Di dan Perpustakaan Cornell
Selain serial Sia Tiauw Eng Hiong dan sekuelnya, salah satu koleksi novel silat Rizal yang istimewa untuknya adalah serial Hakim Di karya Robert van Gulik.
Di Renjie (lahir tahun 630 dan wafat pada 700) ialah tokoh nyata, hakim di Cina semasa Dinasti Tang, yang juga jadi pejabat militer Dinasti Zhou. Pada abad ke-18, cerita Di Renjie dituliskan dalam novel detektif Di Gong An, yang salinannya ditemukan van Gulik kala jadi diplomat di Tokyo pada dekade 1940-an. Van Gulik lantas menerjemahkannya ke Bahasa Inggris dan menerbitkannya tahun 1949. Saking serunya novel itu, van Gulik terinspirasi menulis serial fiksi dengan tokoh utama Hakim Di sebagai detektif andal. Van Gulik memasukkan segala pengetahuannya tentang sejarah Cina dan biografi tokoh-tokoh Cina ke dalam 16 novel Hakim Di karangannya.
“Kalau dia menggambarkan rumah, digambarkan rumahnya seperti apa. Kota ada petanya, misal di mana letak menara drum, menara bel, dan sebagainya. Kalau menceritakan pejabat pemerintah, deskripsinya detail dan akurat berdasarkan realitas. Menarik sekali,” tutur Rizal.
Yang membuat Hakim Di lebih spesial lagi buat Rizal adalah tulisan pengantar yang ditulis Tunggul Siagian pada edisi terjemahan Bahasa Indonesia. Kata pengantar ini menceritakan cara Tunggul menemukan Hakim Di di perpustakaan Universitas Cornell, kampus tempat Rizal sempat belajar pada dekade 1980-an.
Alkisah Tunggul saat sedang kuliah di Cornell sedang menahan kantuk di perpustakaan, tepatnya ruang Watson Collection yang menyimpan buku-buku soal Asia. Ia tiba-tiba melihat buku berjudul Sexual Life in Ancient China karya Robert van Gulik. Ada banyak ilustrasi yang kata Tunggul hot, tapi deskripsinya ditulis dalam bahasa Latin. “Siapa pula yang mengerti, kecuali tamatan Lyceum atau Akademi Jesuit? Dengan kecewa saya kembalikan buku itu ke tempatnya,” tulisnya.
Lewatlah Umar Kayam yang menertawakan kelakuan Tunggul. “Itu bukan buku cabul, tapi buku ilmiah – terlalu susah buat kowe inlander. Sono, banyak buku van Gulik yang lebih cocok untuk taraf otak primitifmu. Begitulah saya menjumpai roman detektif Hakim Dee yang sudah berulang kali saya baca tanpa bosan,” kata Tunggul.
Cerita Hakim Di yang terperinci, kata Rizal, pernah membuatnya terpikir menulis novel juga saat masih tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara. “Tentang dinamika hubungan ekspatriat dengan orang Indonesia, misal 11 insinyur Inggris yang membuat squash court (lapangan squash) tahun 1989 di Kendari. Mungkin mereka enggak tahu mau ngapain di Kendari, makanya bikin squash court. Selama bertahun-tahun, di Indonesia hanya ada dua lapangan squash, yaitu di Kendari dan di Hotel Borobudur, Jakarta,” tuturnya.
Rencana membuat novel ini hingga sekarang belum juga terlaksana. Sembari menunggu hilalnya, silakan baca 10 judul cerita silat favorit Rizal ini:
- Memanah Burung Rajawali (Sia Tiauw Eng Hiong) – Chin Yung
- Kembalinya si Pemanah Rajawali (Sin Tiauw Hiap Lu – Chin Yung)
- Kisah Membunuh Naga (To Liong To) – Chin Yung
- Pendekar Negeri Tayli (Thian Liong Pat Poh) – Chin Yung
- Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lie Hiap) – Liang Ie Shen
- Kisah Pedang Bersatu Padu (Lian Kiam Hong In) – Liang Ie Shen
- Pedang Inti Es (Peng Pok Han Kong Kiam) – Liang Ie Shen
- Bidadari dari Sungai Es (Peng Coan Thian Lie) – Liang Ie Shen
- Perjodohan Busur Kumala (In Hay Giok Kong Yan) – Liang Ie Shen
- Dendam Asmara (Goat Ek Seng Sia) – Khu Lung
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari serial Cerita Reni dan Cerita Rizal.
Leave a Reply