“Udah lihat reshuffle? Gila ya Jero Wacik masuk ESDM,” seorang kawan mendadak nyerocos via gtalk. Maksud dia, dalam kocok ulang (reshuffle) kabinet yang mutakhir, Jero Wacik yang tadinya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sekarang kebagian kursi “basah” Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang sebelumnya diduduki Darwin Saleh.
Saya baru membacanya seusai kuliah, sekitar 15 menit lalu. Saya mungkin berlebihan, tapi hati saya langsung mencelos dan rasanya makin miris, mau dibawa ke mana lagi negeri ini? *nyanyi ala Armada* (ga apdet yah, kabarnya Ayu Ting-ting lebih ngehits sekarang… ataukah sudah ada fenomena pop yang lebih baru?)
Yang langsung terpikir adalah: ya ampun, apa Darwin kurang dodol dan SBY pengen punya menteri lebih bego?
Kedengeran kasar ya? Tapi serius ini yang langsung melintas di benak saya. Saya ingat keluhan sejumlah kawan peliput Kementerian Energi yang kerjanya mengeluh soal Darwin… yang nyaris nggak pernah menjawab pertanyaan dan mengalihkannya pada Direktur Jenderal paling handal di kementerian itu: Evita Legowo.
Kalaupun Darwin yang jawab, biasanya nggak nyambung. Padahal dia ekonom lulusan UI dan Middle Tennessee State University. Entah belagak bego atau bego beneran. Ujungnya tiap ada pertanyaan soal kinerja energi Indonesia, wartawan memilih menanyakannya pada Evita atau pejabat lainnya di Kementerian Energi. Darwin cuma “laku” kalau topiknya politik, Partai Demokrat, kocok ulang kabinet, dan… klarifikasi skandal asmaranya tahun lalu.
Lalu… Jero Wacik, duh. Ini menteri bukannya hobinya cuma nampang doang ya? Cengar-cengir di mana-mana, tanpa strategi pariwisata yang jelas (coba, identitas wisata Indonesia itu sebenarnya apa sih? sebentar-sebentar diganti, nggak konsisten seperti Malaysia yang gaung Truly Asia-nya mendunia, atau India yang setia mengusung Incredible India sejak 2002). Budaya masih tetap direduksi sebagai kesenian dan tradisi daerah ketimbang pola hidup komplit dengan nilai dan norma yang mengakar di masyarakat (misal, budaya asal bapak senang dan cari muka yang kental terlihat dalam tindak-tanduk pembantu-pembantu sibeye).
Memang sih saya ngakak baca kicauan kawan saya, goestyong, yang bilang “bakal ada Puteri Migas Indonesia, Putri Listrik Nasional, Puteri Tambang Sejagat, Duta Batubara,” dan percakapan imajinernya: “Pak, apa upaya pemerintah renegosiasi kontrak? | Saya sudah kirim Puteri-puteri Indonesia untuk merayu kontraktor tambang dan migas.”
Tapi aduh biyuuuung saya makin prihatin (meminjam istilah favorit presiden kalian) lihat proses perombakan kabinetnya kali ini. (Meski sekarang terpisah ribuan kilometer dari tanah air, saya beruntung bisa memantau kabar pemburuan berita kawan-kawan di Jakarta…)
Jadi saya ngintip info tentang Djan Fariz, sekarang Menteri Perumahan Rakyat, yang politisi PPP, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, pemilik gedung DPP Partai Demokrat, sekaligus bohir Foke-Prijanto pas pemilihan gubernur Jakarta lalu (hayo, siapa yang mau nyalahin Foke yang nggak sukses nyembuhin macet dan banjir? mungkin perlu nyalahin yang ngongkosin duet DKI-1 itu juga). Nyengir miris lihat transkripan wawancara pendek dengan Fadel Muhammad, yang hakul yakin bertahan di kursi Menteri Kelautan dan Perikanan tapi ujungnya didongkel rekan separtainya sendiri, Cicip Sutardjo dari Partai Golkar.
Bekas Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Marciano Norman didapuk jadi Kepala Badan Intelijen Negara, kata bos kabinet, supaya “intelijen lebih cakap dalam mengambil keputusan.” Itu maksudnya Sutanto nggak cakap dalam mengambil keputusan?
Belum lagi, menteri-menteri yang tersandung kasus korupsi malah dipertahankan bosnya. Struktur kabinet pun makin gemuk karena pos wakil menteri ditambah (saya mengamini pendapat yang bilang wakil menteri ekstra diperlukan hanya karena menteri dari partai politik sejatinya nggak becus). Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera riuh-rendah karena kehilangan kursi Menteri Riset dan Teknologi, lantas kini heboh di dalam karena sebagian ingin tetap ada di koalisi, sebagian lagi mengusulkan jadi oposisi saja.
Kementerian Pendidikan ditambah label “dan Kebudayaan” lagi seperti masa lalu. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berubah jadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Perubahan nama yang alasannya nggak jelas namun dampaknya jelas: pasti ada perombakan organisasi yang makan waktu dan pasti bikin kinerja melambat, plus… proyek anyar buat ganti papan nama, kop surat, dan segala remeh-temeh yang ongkosnya nggak remeh-temeh.
Saya juga turut berduka untuk kerja rodi penuh kalang kabut para jurnalis dalam beberapa pekan terakhir ini. Begadang di Istana dan Cikeas. Berjibaku dengan penugasan segala ragam dari kantor (kejar si ini, cegat menteri itu, reportasekan yang basah, perhatikan iPad SBY yang berstiker Garuda… apapun). Bergelut dengan nyamuk dan kantuk. Terpaksa membatalkan agenda lain yang lebih menyenangkan. Buru-buru pergi ke Istana atau Cikeas meskipun sudah sampai rumah dan siap-siap beristirahat di malam hari. Tuntutan pekerjaan, kamu bilang? Yah, antara dedikasi dan ilusi mungkin tipis ya bedanya 😀
Apapun, satu lakon dari si juru kocok sekarang sudah usai. Saya setuju dengan pendapat Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi dalam siaran persnya soal drama ini:
Dalam industri film adalah biasa apabila sebuah film lawas diremake atau disajikan kembali dengan teknologi baru dan pemain baru. Setting dan lokasi bisa berbeda dan kadangkala ada penambahan peran baru agar lebih menarik ditonton, namun garis besar cerita dan ending tidak jauh berbeda. Dibutuhkan keberanian lebih apabila sang sutradara ingin merubah skenario apalagi akhir cerita.
Hal yang tidak jauh berbeda dapat kita saksikan dalam reshuffle kabinet pemerintahan SBY kali ini. Alih-alih dimaksudkan untuk memacu mesin pemerintahan agar berjalan kencang dan meningkatkan penampilan dengan melakukan pergantian sejumlah pemain pada peran menteri dan menambah belasan pemain pada peran wakil menteri, tetapi kalau SBY sebagai sang sutradara tidak merubah gaya kepimpinan dan orientasi pemerintahannya, jalan cerita dan ending tidak akan jauh berbeda. Rakyat jelas jangan harap terlalu banyak. Ini bukan reshuffle tetapi hanyalah remake. Kita bak menonton film lawas yang diremake tanpa suatu nuansa baru.
Apalagi dengan penambahan sejumlah wakil menteri yang akan membuat dualisme dan efektivitas kerja kementerian bisa terganggu. Bagaimana koordinasi wakil menteri ini dengan sekjen kementerian dan para dirjen. Belum lagi pemborosan uang negara, karena tentu fasilitas dan biaya lainnya akan keluar untuk menunjang kerja para wakil menteri.
Penempatan sejumlah wakil menteri dari intelektual dan teknokrat menunjukkan bahwa SBY tahu betul sejumlah Menteri dari partai politik tidak cakap bekerja, tetapi SBY tidak berani untuk mencopot dan menggantinya. Gertak sambal yang dilakukan oleh sebuah partai koalisi saja sudah membuat ciut SBY. Yang berani dilakukannya kemudian adalah menempatkan wakil menteri sebagai pengimbang dari menteri yang tidak becus dan menjalankan strategi manajemen konflik. Tapi bagaimana kalau menteri dan wakil menteri berlomba-lomba memberikan laporan karena keduanya mempunyai akses langsung kepada Presiden. Belum lagi kemungkinan loyalitas ganda bisa terjadi pada para bawahan di kementerian.
Sementara itu, sejumlah menteri khususnya dari partai politik yang mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerja yang buruk tidak dilakukan pergantian. SBY tetap mempertahankan mereka, terutama yang merupakan petinggi partai politik. SBY tetap ingin menggunakan mereka sebagai bentuk pencarian dukungan politik.
Reshuffle kabinet kali ini jelas hanya permainan SBY untuk persiapan menjelang suksesi 2014. Meski SBY tahu dia tidak mungkin maju lagi sebagai kandidat, tetapi dia ingin agar kaki-kaki kekuasaannya tetap bercokol. Padahal kita tahu partai demokrat yang merupakan perpanjangan tangannya bermasalah dengan terlibat sejumlah kasus hukum. Suatu hal yang SBY lupa bahwa masyarakat telah lebih cerdas dan tidak mudah dikelabui.
Agaknya, saatnya makin dekat untuk merombak susunan pelayan (bukan pejabat) Indonesia, termasuk si RI-1.
Gambar disalin dari http://setara-institute.org/en/content/across-board-public-disappointed-sby-survey
nandy
mengutip dari lagu Nurlela: “Rasain kamu, Sekarang gigit jari, Makanya jadi pacar jangan plin plan”
http://www.youtube.com/watch?v=kX9BxdgSTow
buat para pemilih Pak BeYe, gigit jari ni ye, Oom Presiden gak bisa lepas dari sandera politik
anang
yang diindikasikan maling malah dipertahankan, si andi sama cak imin.
duh duh… sindikat rampok bersatu
bunga
Nandy: yowoloh Nurlela! hahaha… lama banget ga denger lagu itu 😀
Anang: jangan mau kalah sama rampok, non-rampok harusnya bersatu juga.. 😉