Hendrik Bera, pelajar 16 tahun dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, tercenung di kursinya di ruang seminar Komunitas Salihara. Pemuda itu baru saja mendengar nama kotanya disebut sebagai kota terkorup di Indonesia.
“Dari survei Indeks Persepsi Korupsi tahun 2008, Kupang adalah kota yang dianggap paling korup di Indonesia,” kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Rezki Wibowo dalam Indonesian Youth Conference (IYC), Komunitas Salihara, Ahad (4/7).
Pada survei dua tahun lalu itu, Kupang hanya mendapat skor 2,97 dalam skala 1 sampai 10. Artinya, mayoritas responden menilai Kupang sebagai kota yang tercemar korupsi.
“Saya sedih memikirkan keadaan kota tercinta saya. Kenapa bisa begitu dan bagaimana supaya Kupang bisa lebih baik?” tanya Hendrik, satu dari 33 anak muda peserta Forum IYC yang didatangkan dari 30 provinsi seantero Indonesia.
Rezki menjelaskan, korupsi memang relatif lebih marak di daerah karena pengawasan dari masyarakat maupun pemerintah pusat tak ketat. Tapi anak muda pasti bisa mengubah situasi buruk itu.
Pertama, pemuda harus menyebarkan kepedulian terhadap gerakan anti korupsi. TI Indonesia mencatat sekitar 65 juta, atau 30 persen dari total populasi Indonesia, adalah anak muda. Tapi tak banyak dari mereka yang peduli pada problem negara ini, termasuk korupsi.
“Kalau ‘virus’ sudah menular, buat jaringan dengan kawan-kawan untuk mengontrol korupsi di lingkungan sekitar. Lalu bikin juga jaringan dengan media, karena mereka penting untuk membentuk opini masyarakat. Nah, itu modal besar untuk menjemput perubahan,” tutur Rezki.
Suara Pemuda Anti Korupsi (SPEAK), wadah bentukan TI Indonesia untuk anak muda yang bersemangat melawan korupsi, ikut memberikan presentasi. Mereka membesarkan asa peserta sesi, yang tentunya juga para remaja, bahwa anak muda bisa mencabuti hama korupsi di negeri ini.
Saat ditemui seusai sesi tentang korupsi itu, Hendrik mengaku awalnya pesimis bisa memperbaiki kotanya. Tapi setelah mendengar penuturan Rezki dan SPEAK, Hendrik berganti haluan. “Sekarang pemerintah di Kupang mungkin korup dan tidak menganggap anak-anak muda. Tapi saya percaya saya bisa mengubahnya,” ujarnya dengan mantap.
Intania Noor Fitriani, mahasiswi Universitas Padjadjaran berusia 20 tahun, mengiyakan perkataan Hendrik. “Saya terinspirasi, ternyata kita juga bisa memberantas korupsi, nggak harus nungu orang dewasa,” ucapnya.
Intania sendiri mengaku pernah terbentur masalah korupsi saat akan masuk kuliah. Sebagai atlet taekwondo yang berprestasi dan masuk melalui jalur mahasiswa berbakat, ia seharusnya bisa masuk perguruan tinggi tanpa biaya. “Tapi malah diping-pong ke Dinas Pendidikan dan disuruh bayar sekian juta,” keluhnya. Akhirnya, ia memutuskan tak membayar pungutan liar itu.
Sesi anti-korupsi hanyalah satu dari 16 sesi dalam Festival IYC hari ini. Ada pula sederet sesi panel dan lokakarya yang melibatkan para ahli di berbagai bidang, termasuk lingkungan, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, nasionalisme, kewirausahaan sosial, teknologi informasi, industri kreatif, serta media.
Berbeda dengan Forum IYC pada 1-3 Juli yang diadakan khusus bagi 33 pserta, Festival bisa didatangi siapapun. Tetapi, peserta Festival harus membeli tiket seharga Rp 50 – 75 ribu. Tiket yang dibandrol dengan harga itu ternyata laris manis. Tak kurang dari 375 anak muda membelinya dan memadati Komunitas Salihara.
IYC sendiri merupakan acara yang digagas Alanda Kariza, mahasiswi Universitas Bina Nusantara yang baru berusia 18 tahun. Alanda menilai ada banyak anak muda brilian dan kreatif di Indonesia yang bisa memberi perspektif segar dan solusi terhadap masalah bangsa ini.
Proposal acara IYC, yang dimaksudnya sebagai wadah bagi pemuda untuk bersuara, mengantarnya terpilih menjadi salah satu Global Changemakers, program aktivisme pemuda yang dirancang oleh British Council.
Leave a Reply