Perang dingin berakhir dua dekade lalu, tapi Berlin memelihara peninggalannya.

“Coba tebak, di mana pintu masuk bunker di sini?” ujar Andromachi Marinnou-strohm, pemandu wisata Berlin Unterwelten, di peron stasiun kereta bawah tanah (U-Bahn) Pankstrasse, November lalu di Berlin, Jerman. Saya dan sekitar dua puluh turis yang datang bersama Andromachi dengan asal menebak pintu itu tersembunyi di balik rel kereta, atau mungkin di dinding di sebelah rel.

Setengah berteriak untuk mengalahkan deru kereta, Andromachi berkata, “Salah. Pintunya ada di depan mata kalian.” Jarinya menunjuk ke pintu kecil warna coklat yang jaraknya cuma lima meter dari kami. Itu dia jalan masuk ke dalam tempat perlindungan yang dibangun pemerintah Jerman Barat pada tahun 1977, jika sewaktu-waktu perang dunia ketiga pecah.

Perempuan migran asal Yunani itu tersenyum maklum. Agaknya sedari dulu tak ada pelancong yang bisa benar menjawab pertanyaannya. “Paling mudah menyembunyikan barang memang di depan mata semua orang,” ucapnya.

Ia lantas membawa kami ke balik pintu kedap udara yang ternyata tebalnya sekitar 30 cm, seperti pintu brankas bank. Ruang di dalamnya sempit, hanya sekitar 1,5 m x 3 m. Di dekat pintu masuk, ada mikrofon kecil. “Halo,” kata Andromachi ke kawannya yang hari itu menjadi operator pintu. “Ya,” suara lelaki menjawab terdengar di pelantang.

Dalam skenario pemerintah Jerman Barat, jika ada bom nuklir meledak, maksimal 3.339 orang dapat memakai bunker selama dua pekan. Sekilas angka itu tampak banyak, tetapi jika dibandingkan penduduk Berlin Barat yang tiga juta orang, artinya cuma seperseribu populasi yang bisa diselamatkan.

Maka pintu masuk bunker dibuat berlapis, tanpa kontak langsung antara operator pintu dengan pengungsi. Tujuannya, supaya petugas bisa tegas membuka pintu cuma untuk paling banyak dua puluh orang sekali masuk, tidak terbawa emosi lantas membuat jumlah pengungsi melebihi kapasitas bunker.

Di ujung ruang, ada pintu bergagang besar. Beberapa tombol berjajar di sampingnya. Andromachi meminta salah satu turis menekan yang warna kuning, memutar gagang pintu, lalu membukanya.

Kamar berikutnya lebih besar, tak kurang dari 5 m x 5 m. Di satu pojok ada satu pancuran air dan manekin berseragam biru-kuning. Di sinilah pengungsi harus melepas bajunya, mandi dengan cairan disinfektan di depan semua orang, lalu memakai seragam itu. “Namanya juga keadaan darurat, mungkin Anda tidak akan peduli harus telanjang di depan orang-orang tak dikenal,” kata Andromachi.

Di sudut ruangan, satu lagi pintu kedap udara menanti. Di baliknya, puluhan kamar dengan ribuan dipan bertingkat tiga siap menampung pengungsi. Satu kamar bisa ditempati 48 orang. Jika lampu dimatikan, garis cat fosfor menyala di sepanjang dinding-dindingnya. Selain kamar dan toilet, bunker juga dilengkapi klinik dan dapur. Semuanya bersih dan rapi, masih siap digunakan sewaktu-waktu.

Andromachi menceritakan banyak detail menarik mengenai bunker itu. Misal, kenapa semua kamar mandi dibuat tanpa pintu sedangkan piranti makan terbuat dari plastik dan tumpul (supaya pengungsi tak bisa menyakiti orang lain ataupun diri sendiri), prosedur makan pengungsi (ke dapur sekali sehari untuk mengambil dua porsi makan), mengapa kantong plastik transparan yang disiapkan untuk membungkus jenazah (karena harganya lebih murah ketimbang kantong plastik hitam yang lebih lazim digunakan), juga kenapa ada tumpukan bata hitam superberat di dekat pintu (bata itu dibuat khusus untuk menahan zat radioaktif, dan disiapkan untuk menyegel pintu).

Sayangnya, kami tidak boleh memotret selama tur berlangsung. Andromachi cuma memberikan kesempatan kami mengambil gambar dipan-dipan bertingkat bagi pengungsi.

Bunker di stasiun Pankstrasse itu hanya satu dari sekian ratus bangunan serupa di Berlin. Beberapa di antaranya diurus oleh Berliner Unterwelten, perkumpulan nirlaba pecinta sejarah struktur bawah tanah yang menggagas tur-tur untuk menjelajahinya. Pada tur yang saya ikuti ini, harga yang dibandrol adalah 10 euro, atau 7,5 euro kalau punya Berlin City Tour Card. Tiket harus dibeli di kantor mereka, di dekat stasiun Gesundbrunnen.

(bersambung…)

Komentar via Facebook | Facebook comments