Modus Erasmus Mundus

Awal Maret lalu, saya dapat kabar gembira yang bikin susah tidur semalaman. Tak diduga sebelumnya, saya kejatuhan anugerah beasiswa Erasmus Mundus Masters Program in Public Policy alias Mundus MAPP. Nilainya lumayan jumbo, € 48 ribu untuk dua tahun studi. Dipotong € 16 ribu untuk biaya kuliah, masih ada € 32 ribu untuk ongkos hidup. Dengan kurs Rp 12.400 per Euro, silakan hitung sendiri jumlahnya *mata duitan* 😀

Padahal tadinya saya pikir peluangnya kecil karena kursinya sedikit tapi pesaingnya superbanyak. Belum lagi aplikasi saya kirim mepet tenggat, 1 Januari 2011. Saya malah lebih optimistis bisa dapat beasiswa Netherlands Fellowship Programme untuk Master Kebijakan Publik di International Institute of Social Studies (ISS) Den Haag, Belanda. Pada pekan ketiga Januari, ISS sudah menyatakan saya diterima dan mengirim surat penerimaan ke e-mail saya. Namun sistem di Belanda mengharuskan mahasiswa yang diterima mencari sendiri beasiswanya, dan hingga Maret belum ada kabar dari NFP apakah permohonan beasiswa saya diterima.

Dalam konsorsium Mundus MAPP, ada empat Perguruan Tinggi yang dua di antaranya harus dipilih. Yakni, ISS atau The University of York, Inggris di tahun pertama, lantas Central European University (CEU) Budapest, Hungaria atau Institut Barcelona D’Estudis Internacionals, Spanyol, di tahun berikutnya. Saya memilih ISS dan CEU.

Alasannya sederhana, supaya bisa lebih mudah jalan-jalan. Kalau sekolah di Inggris, visanya nggak bisa dipakai untuk keliling Eropa. Beda kalau kuliah di Belanda, anggota perjanjian Schengen yang visanya berlaku untuk 25 negara! Belanda juga rasanya negara yang pas untuk transisi di Eropa: banyak makanan Indonesia, tidak terlalu dingin, dan posisinya terbilang strategis… (lagi-lagi) untuk jalan-jalan di Eropa Barat.

Hungaria saya pilih karena terletak di tengah Eropa Tengah, penuh negara yang ingin saya jelajahi: Bosnia dan Herzegovina, Serbia, Kroasia, Ceko, Slovakia, Austria, Makedonia.. aaaah rasanya saya pengen lompat-lompat saking semangatnya berkelana! Sedangkan CEU meski tergolong universitas muda, kualitasnya sudah diakui dunia.

Oh ya Budapest ketimbang Barcelona juga rasanya sedikit lebih dekat ke Yekaterinburg. Catat ya, sedikiiiiiit saja… Barcelona-Yekaterinburg 4.438 kilometer sedangkan di antara Budapest-Yekaterinburg masih terbentang jarak 2.962 kilometer (Jakarta-Yekaterinburg 8.158 kilometer jauhnya cuuuuuy..)

Tak lama setelah dapat kabar bahagia itu, nggak tahan untuk cerita sama teman-teman. Kebanyakan langsung nanya, lho kok kuliahnya di dua negara? Erasmus Mundus itu apa? Beda ya sama StuNed, NFP, Chevening? Waduh, ternyata Erasmus Mundus masih belum beken, ya.

Saya sendiri tahu tentang Erasmus Mundus sekitar tiga tahun lalu, di masa awal jadi kuli digital. Ketika itu saya masih calon reporter Tempo News Room, diperbantukan di Majalah Tempo. Salah satu senior menulis tentang beasiswa, dibantu oleh dua calon reporter. Saya kebagian wawancara orang Chevening dan Australian Development Scholarships. Sedangkan kawan saya, Rina, mewawancarai Ibu Destriani Nugroho, Project Officer Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, untuk mencari bahan tentang Erasmus Mundus.

Beasiswa Erasmus Mundus: The Stories Behind

Beasiswa Erasmus Mundus: The Stories Behind

Awalnya adalah Erasmus, program pertukaran pelajar negara-negara Uni Eropa. Nama program itu diambil dari Desiderius Erasmus, ilmuwan asal Rotterdam, Belanda, yang berkelana berkeliling Eropa pada abad 15-16. Uni Eropa memperluas jangkauan Erasmus ke seluruh dunia (“Mundus” dalam bahasa Latin) sejak 2003, memberi kesempatan bagi mahasiswa dari negara manapun merasakan belajar di negara-negara Eropa. Tiap program, dengan fokus berbeda-beda, dikelola oleh konsorsium yang terdiri dari minimal tiga perguruan tinggi. Ciri khas program Erasmus Mundus adalah mahasiswanya kuliah di setidaknya dua institusi di dua negara berbeda.

Waktu itu saya nggak menaruh perhatian terlalu dalam. Memang sih ada keinginan untuk kuliah lagi, tapi kan baru saja lulus S1, yang artinya selama 17 tahun non stop saya belajar dalam kelas dari bangku Sekolah Dasar. Jadilah saya tenggelam dalam keasyikan (dan ketidakasyikan) bekerja sebagai wartawan selama nyaris tiga tahun… sampai tiba-tiba saya dibalap Yoga yang tahu-tahu berangkat S2 ke kota di kaki Gunung Ural, nun di Rusia. Ini bukan cuma soal sedih ditinggal pacar demi sekolah, tapi saya gengsi kalau kalah pamor! Hahaha.

Setelah Yoga pergi Oktober lalu, saya seperti kesurupan (oke… makin panjang saya mengetik, kecenderungan melebay makin kuat tampaknya XD) mencari beasiswa ke Eropa. Bukan ke Rusia karena sumpah saya nggak nafsu melihat hurufnya yang ajaib dan lebih banyak ketimbang alfabet biasa. Bukan program berbahasa non-Inggris karena saya tidak menguasai bahasa Eropa lainnya di luar bahasa Inggris. Bukan pula master di bidang jurnalisme karena: yang bener ajaaaa saya kan sudah belajar jurnalisme lima tahun di bangku S1 plus tiga tahun kerja sebagai jurnalis..

Pilihan saya jatuh pada Kebijakan Publik. Masih berkaitan dengan kerja pers, sebetulnya. Peg-nya, belum lama ini Indonesia baru punya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin akses masyarakat, termasuk jurnalis, terhadap informasi badan publik. Seharusnya dengan beleid baru itu, Indonesia bisa lebih transparan, akuntabel, dan minim korupsi. Saya ingin tahu seperti apa kebijakan serupa di negara lain, terutama di Eropa. Pelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman mereka yang lebih lama itu untuk memperbaiki sistem akses informasi Indonesia? Kira-kira begitu “jualan tesis” yang terbersit dalam benak saya.

Ujung-ujungnya kok soal korupsi lagi? Padahal sebenarnya saya bukan tipe jurnalis yang rajin menelusuri dan membongkar dugaan korupsi. Tapi saya yakin jalan saya di sini — pertandanya, berturut-turut saya berkesempatan ikut serta dalam tiga forum antikorupsi sejak tahun lalu: Global Youth Against Corruption Forum (GYAC) di Brussels, Belgia; 14th International Anti-Corruption Conference di Bangkok, Thailand; kemudian 2nd GYAC di Nairobi, Kenya. Sederet teman dan pengalaman saya dapat, tapi yang paling menancap di benak adalah kalimat seorang kawan, Paku Utama, “Membenahi Indonesia dan mengusir korupsi itu bukan beban kita, generasi muda, tapi privilege yang kita miliki.”

Program Governance and Democracy ISS tampaknya cocok untuk memenuhi keinginan saya itu. Tapi saat saya menjelajah dunia maya untuk mencari informasi tentang ISS, saya teringat Erasmus Mundus. Saya cek program master yang ditawarkan Erasmus Mundus, ternyata ada bidang studi Kebijakan Publik. Lagipula, ISS juga jadi anggota konsorsium itu.

Saya sempat mampir pula ke Emundus, blog alumni program Erasmus Mundus asal Indonesia, untuk mencari tambahan informasi. Banyak juga informasi yang saya dapat di sana. Membaca blog itu lumayan menghibur pula, terutama saat adminnya merespon sejumlah pertanyaan dodol dari pembaca dengan nada sinis, hahaha. *berasa ada teman penggemar sinisme dan sarkasme* Kalau lihat pertanyaan di entri-entri blog itu, memang bikin kita ingin geleng-geleng kepala dan noyor si penanya.

Habis, masa nanya begini misalnya, “Saya lulusan X yang sudah bekerja dan ingin bersekolah lagi untuk meningkatkan ilmu.. Kira-kira apa yang cocok untuk saya ya?” Kontan dijawab lumayan pedas, “Tantangan pertama Anda adalah mencari program yang cocok dengan kebutuhan.. untuk beasiswa, no free lunch, harus usaha mandiri..” Atau pertanyaan dengan bahasa Inggris acakadut, “I interested in IMESS program.do I need to translate my transcript n certificate of study????” — disemprot dengan balasan “baca baik2 websitenya !!” Hihihi.

Setelah berkelana di dunia maya, mengirim aplikasi rangkap ke ISS dan Mundus MAPP, datanglah kabar bahagia itu. Persiapan sudah nyaris kelar, visa beres, meski soal legalisasi akte kelahiran masih mengganjal (nanti diceritain terpisah deh, ini entri udah kepanjangan sangat!) Sembilan hari lagi, saya berangkat. Semoga misi menimba ilmu, memperbaiki Indonesia, menjelajah Eropa, dan nyosor pacar, sukses… Biar nggak kalah sama 15 alumni Erasmus Mundus yang menuliskan kisah serunya di buku Beasiswa Erasmus Mundus: The Stories Behind 😀

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

9 Comments

  1. hi bunga, thanks reviewnya untuk blog emundus..
    well, seperti ulasan kamu, pertanyaan itu kan menentukan kualitas si penanya 😉
    bayangkan kalau pertanyaan seperti itu ditanyakan ke pihak konsorsium.. mau jadi apa?? LOL..

    anyway, selamat untuk beasiswa EMnya, dan selamat berjuang !!

    • eh admin emundus datang berkunjung.. *terharu* *salaman*
      makasih lho untuk info dan “hiburan” di blognya, bener2 berguna..
      dan terima kasih juga untuk ucapan selamatnya, semoga lancar jaya di sana 😀

  2. Selamat, Bunga … sukses mencapai apa yang kamu ingin dan cita2kan!

    • Makasih ya Pak Sant 😀

      • Saya ingin melamar untuk mtaesr exchange program dan ingin menanyakan mengenai beberapa hal:Saat briefing kemarin kalau tidak salah dengan, applicant perlu mengubungi pihak universitas yang akan dituju. kira kira apa yang harus dilakukan saat menghubungi pihak universitas tersebut? rekomendasi yang dibutuhkan, apakah harus dari universitas asal dan yang akan dituju? terimakasih.

        • Sebelum menghubungi pihak universitas yang menjadi ketua konsorsium, pastikan cek dulu semua persyaratan yang tertera di situs webnya. Biasanya lengkap, kok. Nah kalau ada yang kurang lengkap atau kurang jelas, barulah kontak universitas itu untuk bertanya lalu mendaftar.

          Surat rekomendasi yang disyaratkan biasanya dari dosen pembimbing saat S1 dulu dan atasan di tempat bekerja sekarang.

  3. Saya ingin melanjuutkan studi saya ke jenjang master dan tertarik terhadap program MAPP Joint Programe Scholarship. yang ingin saya tanyakan, research proposal yang dipersyaratkan itu apakah yang akan menjadi thesis kita kelak. Mohon informasinya berdasarkan pengalaman Mba Bunga. (atau ada email pribadi jika diperkenankan untuk bertukar informasi lebih lanjut).
    Terima kasih,

    • Hai Egi, maaf baru sempat nengok blog. Research proposal tidak harus dijadikan tesis di akhir studi Mundus MAPP. Saya rasa itu hanya sebagai alat bagi penyeleksi untuk melihat sejauh apa potensi akademik si pelamar. Kalau ada yang perlu ditanyakan lagi, silakan di sini saja supaya kawan-kawan yang lain bisa baca juga 🙂 Semoga berhasil ya.

  4. Tentu boleh. Cek emailmu ya, nanti kita japri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *