Seorang teman berbagi video ceramah yang menarik dari novelis Nigeria, Chimamanda Adichie. Inspiratif dan keren banget. Dia berbicara soal betapa percaya hanya pada satu versi cerita adalah berbahaya. Pasalnya, satu versi itu tidak mewakili kebenaran, tapi hanya satu sisi darinya. Meyakini hanya satu versi itu berarti menutup mata kita terhadap realitas, sekaligus membatasi pandangan dan putusan kita terhadap hal tersebut.
Chimamanda semasa kecil suka membaca dongeng dari Inggris dan Amerika Serikat. Maka saat dia mengarang cerita, semua tokohnya berkulit putih, bermata biru, suka berbicara tentang cuaca, dan doyan menenggak bir jahe. Hal-hal yang nggak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari Chimamanda kanak-kanak di Lagos, ibukota Nigeria.
Dia lantas kuliah di Amerika Serikat dan sekamar dengan anak Amerika yang kaget Chimamanda bisa berbahasa Inggris (ya iyalah, bahasa resmi Nigeria kan memang bahasa Inggris), memakai kompor, dan mendengarkan lagu Mariah Carey, bukannya “musik tribal Afrika”. Chimamanda tidak menyalahkan si kawan, karena toh banyak orang melakukan hal yang sama, meyakini begitu saja pada versi cerita yang dominan.
Dan inilah Afrika yang dikenal dunia: lekat dengan citra alam yang indah, dan kehidupan manusia yang menyedihkan seperti kemiskinan, kelaparan, perang, dan HIV/AIDS. Padahal banyak sisi baik dari kehidupan para penduduknya. Kata Chimamanda, Afrika sering pula dianggap satu negara, bukannya satu benua yang terdiri dari puluhan negeri yang beragam. “Dalam penerbangan saya kemarin, ada pengumuman, maskapai itu punya program tanggung jawab sosial di India, Afrika, dan negara-negara lainnya,” ujarnya mencontohkan.
Tapi dia mengaku sangat malu saat sadar ia pun bisa terjebak percaya pada satu versi dominan tentang orang Meksiko: bahwa mereka adalah imigran, legal ataupun ilegal, yang berdatangan ke Amerika Serikat.
Cerita Chimamanda ini kontekstual banget sama kuliah saya, karena belakangan baru belajar tentang hubungan kuasa/pengetahuan ala Foucault dan teori post-development yang bilang negara dunia ketiga itu hasil produksi wacana pembangunan — saat negara-negara “maju” mendefinisikan dirinya justru dengan melabeli negara lain sebagai negara “berkembang” yang terbelakang, tradisional, miskin, dan predikat buruk lainnya.
Tapi yang jelas, saat menonton, saya tertohok juga rasanya. Habisnya, saya relatif buta soal Afrika — cuma bisa menunjuk lokasi Mesir, Maroko, dan Afrika Selatan di peta buta; sebelum datang ke ISS hanya tahu sedikit tentang Ethiopia, Nigeria, Kenya, Malawi, Sudan, Sudan Selatan, dan Mali; sebelum datang ke ISS nggak tahu sama sekali tentang banyak negara di Afrika (misal, baru dengar soal Eritrea, bahwa ada dua negara bernama Kongo, bahwa negara Zaire itu udah nggak ada lagi) — dan ya, citra yang tertanam di benak saya tentang benua itu ya soal taman safari, perang, kemiskinan, kelaparan, dan HIV/AIDS.
Saya pun tertunduk malu karena sering terjebak pada stereotype dan prasangka. Padahal kan saya jurnalis yang seharusnya memegang prinsip cover both sides (or even more sides if possible, hehehe), plus sekarang saya berada di lingkungan akademik yang menjunjung objektivitas (meski mengakui subjektivitas tak mungkin hilang, dan harus menyatakan kemungkinan bias itu dalam karya ilmiah). Semoga kini benak saya bisa lebih terbuka dan mencerna banyak versi lainnya…
Bagaimana dengan kamu?
(Omong-omong, saya jadi ingin baca karyanya Chimamanda, deh..)
anta
Saya juga berharap demikian
Fariz
Nicely said! Anyway, walau gw bukan jurnalis, tp fungsi berita adalah sebisa mungkin mendekati fakta..Tapi karena ada beberapa kepentingan, kadang fakta itu dipelintir sedikit 🙂 Nah karena itu, diperlukan beberapa sisi, untuk dapat melengkapi ‘puzzle’ sehingga akhirnya bisa lengkap terisi semua puzzlenya, nah puzzle yg udah lengkap itu, itulah faktanya 🙂
bunga
Bukan kadang fakta dipelintir, tapi sering dipelintir… *sigh* kepentingan politik dan bisnis, sayangnya, masih banyak (atau mungkin makin banyak) menodai pemberitaan media massa di Indonesia..