Hati rasanya teriris saat pertama kali mendengar berita tewasnya ratusan anggota jamaah calon haji saat melempar jumrah di Arab Saudi. Saya bersedih dan berdoa untuk para korban dan keluarganya, tentu, bahkan sebelum tagar #PrayforMina ramai di media sosial.
Tapi setiap kali membaca dan mendengar kabar termutakhir soal tragedi itu, yang terasa bukan lagi sedih, namun amarah. Kesal yang sampai KZL kalau kata anak gaul, terhadap pemerintah Arab Saudi karena berulang kali lalai menjaga nyawa orang-orang yang jauh-jauh ke sana untuk menunaikan ibadah haji.
Untuk hal ini, buang jauh-jauh kecenderungan fatalistik umat beragama yang bilang ini “sudah suratan takdir”. Ingat, kalau percaya Al-Quran, tercantum jelas bahwa Allah tidak akan mengubah nasib umatnya kecuali mereka mengubah nasibnya sendiri. Selain itu, ada qada mubram dan qada mu’allaq, yaitu takdir yang tak mungkin berubah dan takdir yang masih bisa diubah (kalau belum pernah dengar, silakan ngobrol sebentar dengan Mbah Gugel).
Mengingat kecelakaan yang mengakibatkan kematian ratusan, bahkan ribuan, orang terjadi nyaris tiap musim haji, selayaknya kita menuntut pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas kelalaiannya. Bukannya menyalahkan jamaah atau melemparkan isu ke perihal takdir. Selama ini Arab Saudi sudah menikmati duit berlimpah dari jamaah haji, lantas malah sibuk menghancurkan situs peninggalan masa Nabi Muhammad SAW sembari memermak Mekkah jadi semacam Las Vegas yang penuh kerlip dan kesenangan duniawi. Perbaikan terhadap infrastruktur memang ada, tapi tambal sulam dan hasilnya kecelakaan lagi macam crane jatuh dan kebakaran hotel yang lagi-lagi menewaskan banyak orang.
Tahun 2004 saat saya dan orang tua berkesempatan ke Tanah Suci, mungkin kami tak mati semata karena kebijaksanaan Syekh pengelola maktab (kompleks tenda di Mina). Saat itu mendadak pagar maktab dikunci, tidak ada penghuninya yang boleh keluar, lalu kami diabsen untuk mengetahui siapa yang masih berada di luar. Arus informasi yang mandeg membuat kami terheran-heran atas kejadian itu. Selang beberapa jam barulah kami tahu, ratusan anggota jamaah calon haji tewas saat melempar jumrah. Itu pun tahu setelah sanak saudara di Indonesia bertubi-tubi menghubungi kami.
2004 adalah tahun terakhir ketiga tempat melempar jumrah berbentuk tugu. Tahun berikutnya, tempat itu dibangun serupa tiga dinding agar posisi melempar yang diambil jamaah bisa lebih lapang. Tapi ternyata itu tidak mencegah kematian ratusan orang lainnya pada tahun 2006.
Segitu kayanya Arab Saudi, masa iya tidak bisa membayar konsultan untuk memikirkan dan menerapkan cara mengatur keamanan dua juta orang saat musim haji? Kurang jelas apa bahwa mereka tidak mampu menangani musim haji?
Sudah tepat seruan Iran yang mengecam Arab Saudi, menuntut mereka bertanggung jawab, dan mengubah sistem manajemen yang dimonopoli Arab Saudi. Selama ini pemerintah Arab Saudi tak diawasi maupun bertanggung jawab pada pihak lain. Tidak ada checks and balances. Negara berpenduduk muslim lain seharusnya punya kewenangan ikut mengelola pelaksanaan haji. Toh keluarga Saud jadi penguasa bukannya dari zaman Nabi, tapi dipasang oleh pemerintah kolonial Inggris Raya.
Terlepas dari fakta bahwa Iran adalah musuh politik Arab Saudi, tuntutan itu sangat masuk akal dan seharusnya dijalankan. Indonesia sebagai negara pengirim calon haji (dan buruh migran) terbanyak ke Arab Saudi sebetulnya punya posisi tawar besar untuk menuntut hal serupa. Masalahnya cuma: berani nggak? Bukan cuma apakah berani melawan Arab Saudi, tapi juga melawan para pengantri haji yang pasti protes keras jika Indonesia tetiba memboikot haji demi perbaikan sistem acakadut itu.
*ditulis di dalam gerbong KRL Commuter Line
Leave a Reply