“Oh, secret admirer
When you’re around the autumn feels like summer
How come you’re always messing up the weather?
Just like you do to me..”
(Secret Admirer, 2002)
Sudah berselang setidaknya delapan tahun sejak pertama kali saya dan sobat SMA, Vita, menonton Mocca tampil. Waktu itu saya masih kuliah. Mocca manggung di Jogja, tak lama setelah lagu Secret Admirer dan Me and My Boyfriend lagi sering-seringnya diputar di radio.
Itu jatuh cinta pada pandangan, eh, pendengaran pertama. Tadinya saya kira lagu-lagu itu buatan band luar negeri. Habis, bahasa Inggrisnya fasih banget, dan liriknya juga nggak dibuat dengan logika bahasa Indonesia (yang kadang terjadi pada musisi Indonesia sok nginggris tapi logika berbahasanya masih bahasa Indonesia, hahaha).
Tapi yah, meski cinta sama Mocca, kadarnya bagi saya nggak cukup buat jadi penggemar setia. Maksudnya, saya nggak hafal mati semua lagu Mocca, kebanyakan sih malah nggak ingat liriknya, tapi saya selalu suka lagu band asal Bandung itu. Ringan, rapi, menyenangkan hati.
Setelah nonton Mocca di Jogja itu, saya nggak pernah datang ke konser mereka lagi… sampai tiba-tiba Dynna, sepupu saya tercinta, mengabarkan, Mocca mau konser terakhir lalu vakum! Gara-garanya Arina sang vokalis mau ke negeri Abang Sam demi kawin sama pacarnya sekarang yang bule tapi saya nggak tahu namanya. Saya kontan bersumpah HARUS NONTON konser terakhir itu. *lebay*
Meski harus merogoh kocek lumayan dalam, walau mrenges kesel karena nuker tiketnya ribet dan tempat acara dipindah dari Balai Kartini yang nyaman ke Hall Basket Senayan… 15 Juli 2011, akhirnya saya nonton juga konser bertajuk “Annabelle and The Music Box” itu.
Dalam promosinya, digadang-gadang bahwa konser digarap dengan konsep kabaret. Yang main kabaret, BOSMAT dari SMA 7 Bandung. Saya menebak kabaret diambil karena sesuai dengan karakter Mocca sebagai band yang bercerita — album pertama mereka, My Diary, susunan lagunya diset sebagai satu cerita utuh.
Pada lakon kabaret itu, dikisahkan Annabelle adalah gadis murung yang hidupnya berubah saat ia menemukan kotak musik ajaib. Kotak musik itu membawanya ke dunia lain yang lebih ceria, dunia para Swinging Friends — sebutan untuk fansnya Mocca, sebenarnya.
Konsepnya menarik, tapi harus diakui eksekusinya berantakan. Kabaret terlalu “SMA” dan nggak seru, pemainnya lebih terkesan sebagai penari latar daripada aktor-aktris. Mocca juga jadi nggak bisa menyapa penonton karena mereka bertindak sebagai penyambung cerita dengan lagu-lagunya.
Yang membuat kabaret agak keangkat justru duet narator superkocak Ringgo Agus Rahman dan Soleh Solihun. Lebih dari bercerita soal Annabelle (yang saya yakin nggak begitu dipedulikan para penonton), mereka malah banyak bergosip soal Mocca. Mulai dari Arina yang ketemu calon suaminya lewat MySpace, sampai bahwa Arina ternyata sempat pacaran lama dengan Riko, gitaris Mocca.
Duo komedian berlogat Sunda itu juga beberapa kali menyindir panitia, yang awalnya bilang mereka cuma tinggal baca skenario untuk menarasikan kabaret, tapi ternyata skripnya seiprit, waktunya masih panjang. “Skripnya cuma dua paragraf, buat 15 menit. Jadinya kan kita ngegosip,” kata Soleh disambut tawa seisi hall.
Memang, Mocca bermain apik dengan belasan lagunya. Kolaborasi dengan Endah dan Ressa, juga Sore, keren plus mengundang tepuk tangan panjang. Tapi tetep aja ya kabaretnya agak ganggu. Untungnya, kabaret setelah 1,5 jam berakhir dengan Hyperballad yang jadi lebih bagus ketimbang saat dibawakan penyanyi aslinya, Bjork (meski tetap depresif). Saya sudah khawatir kabaret ini berlangsung terus sampai konser selesai, hahaha.
Setelah kabaret, baru deh Mocca bisa menyapa penonton. Konser terasa lebih cair dan dekat. White Shoes and The Couples Company tampil sebagai bintang tamu paling lama di panggung. Arina dan Sari berduet di lagu I Would Never. Berikutnya Sari “mencuri” posisi Arina untuk menyanyikan What If, lalu gantian Arina yang jadi vokalis White Shoes dadakan di lagu Senandung Maaf. Sari dan Arina sama-sama nyontek teks karena nggak hafal lagunya, hahaha. Sayang sistem tata suaranya sempat beberapa kali berdenging, feedback.
Sayang juga, tak ada Bob Tutupoli untuk berduet bareng Arina dalam lagu favorit saya, Swing it Bob. Menjelang akhir konser, Arina menyanyikan lagu yang bikin saya merinding, sedih, dan hampir nangis: Tanah Air (atau Tanah Airku, ya? Ada yang tahu judul aslinya apa?).
“Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu..”
Huwaaaa… pasti saya nangis beneran kalau denger lagu itu pas sekolah nan jauh dari Indonesia nanti..
Lantas konser tiga jam itu pun tiba di penghujung saat Mocca membawakan lagu dari album pertamanya, Life Keeps on Turning. “Losing you is not the end of the world, but it’s true that is definitely hurts…” Ah, touché!
Sedih juga nggak bisa datang di secret show Mocca kemarin (Sabtu) di Itenas, Bandung. Yah, maklum harus nguli di Jakarta. Bagaimanapun, katanya, ini bukan selamat tinggal, tapi cuma sampai jumpa…
vitasari
Nice review…dan baru tau ada secret show-nya, ga napsu2 amat sih cuman bener2 membawa kita ke delapan tahun lalu dan insiden dasi si rico..:p
jacko
jadi sedih bacanya!
Memang kemarin itu, teman-teman kantor juga pada banyak yang nonton.
Selain itu, sejak kemunculannya dengan lagu “secret admirer” kayaknya ada yang beda dengan band ini.
Jujur, gw juga senang bangat, karena berhasil menghadirkan sesuatu yang berbeda…
Membaca tulisan ini, atmosphernya begitu terasa
Sekali lagi,
jadi sedih!
(gak tau kenapa)
Btw, kasihan juga mantan pacar Arina yang juga gitaris mocca itu, ya!
Masih sanggup dia main musik malam itu!
hebat..
–tulisan yang menarik Bunga. Thx!–
(hati-hati di negara tulip, ya!)
bunga
Vitaaaa… dasinya Rico masih ada nggak? 😀
Bang Jacko: daripada perasaan si mantan pacar, aku lebih penasaran sama perasaan istri si mantan pacar, yang katanya hadir juga di situ malam itu.. hehehe.. btw blogmu kapan diisi posting baru? *niat mau nge-link tapi kok tulisan lama semua 😀