Saya dan Komik

Samar-samar dalam ingatan, komik pertama yang saya baca adalah komik-komik Eropa. Smurf, Asterix & Obelix, dan Tintin.

Ibu saya dulu bekerja di Sekretariat Ikatan Dokter Indonesia, di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. Dekat dengan Misurind, penerbit sejumlah terjemahan komik Eropa. Ibu beberapa kali membelikan komik-komik itu.

Saya yang masih balita terkadang dititipkan di kamar keluarga Pak Madna, penjaga IDI. Di sana saya juga suka membaca komik.

Meskipun komik-komik Eropa itu ya tak mudah dicerna anak balita, tentunya. Mungkin saya sekadar suka melihat gambar-gambarnya.

Ingatan lebih dalam tentang komik ialah saat saya kelas satu Sekolah Dasar di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Candy-candy, saya beli — tepatnya orang tua membelikan saya — di pasar swalayan Hero. Jilid pertama, harganya Rp 2.800. (Komik Jepang Elex sekarang harganya Rp 16.500. Ohhhh inflasi!)

Candy-candy ada di jajaran pertama komik Jepang terjemahan yang diterbitkan Elex Media Komputindo. Seingat saya waktu itu ada pula Akira dan Kungfu Boy. Akira mungkin terlalu rumit sehingga kurang laku, tapi Candy-candy dan Kungfu Boy meledak di pasaran.

Maka dibanjirilah toko buku Indonesia (dan rumah saya) oleh komik Jepang, hingga sekarang.

Bagaimana saya tidak kepincut komik bekas penjajah kita itu? Mereka bisa bercerita tentang segalanya, dengan riset yang mantap, gambar oke, dan cerita yang bagus. Saya tahu tentang revolusi Perancis, juga tentang Bolshevik, dari komik Jepang karangan Riyoko Ikeda. Saya menyelami dunia drama dari Topeng Kaca-nya Suzue Miuchi, dan balet dari Swan-nya Kyoko Ariyoshi.

Komik Amerika Serikat berkutat di pahlawan super yang tak saya sukai, sedangkan komik Eropa tak lagi diterbitkan di Indonesia.

Komik Indonesia? Hm, selain fakta saat itu masih suri, sebelumnya saya cuma pernah baca beberapa komik wayang RA Kosasih. Itu juga dipinjamkan kawan lama, juga semasa tinggal di Ujung Pandang.

Saat tinggal di Jogja, saya rutin membeli komik Jepang tiap satu-dua pekan.

Saya baru membuka diri untuk komik lain berkat Kuss Indarto, seniman Jogja yang sempat bersirobok dengan saya di Bernas. Mantan kartunis Bernas itu memperkenalkan saya pada Joe Sacco. Mas Kuss memfotokopikan Gorazde, karya Sacco tentang konflik Bosnia-Serbia (kami menganut copyright berarti right to copy).

Otak saya serasa meledak. Sacco benar-benar dahsyat! Saya bisa merasakan kepedihan penduduk Bosnia yang harus berperang dengan tetangga-tetangganya. Saya menangis.

Lantas saya menjelajahi dunia maya dan, dari gugeling tentang Sacco, saya mengenal Will Eisner, saya baru tahu istilah novel grafis. Baru saat itu pula saya mencari komik-komik dari negeri sendiri.

Saya makin cinta komik. Sampai-sampai, saat saya (akhirnya) membuat skripsi, saya mengambil komik sebagai topiknya.

Sayangnya setelah merantau (ahem) ke Jakarta, saya jadi lebih jarang beli komik. Saya juga jadi nggak begitu tahu tentang komik-komik terbaru. Habisnya, di sini nggak ada Toga Mas yang konsisten dengan diskon 20 persen dan sampul plastiknya 😀

Saya bukan ahli komik. Saya cuma tahu sedikit saja… Tapi saya suka berbagi, jadi, siap-siap saja baca lebih banyak tentang komik di blog ini 🙂

——–

gambar sampul Candy-candy dipindai dari koleksi komik saya.

gambar sampul Gorazde disalin dari:?http://search.barnesandnoble.com/Safe-Area-Gorazde/Joe-Sacco/e/9781560974703

Komentar via Facebook | Facebook comments

← Previous post

Next post →

3 Comments

  1. Rara

    sekarang topeng kaca yang bidadari merah kembali terbit! sudah sampai jilid 11,,,ira juga baru tahu kemaren saat ke Gramedia sdangkan topeng kaca edisi lamanya di terbitkan lagi dengan lebih eksklusif dan tentu saja lebih mahal (21.000 kalo ga salah)

    • wohohoooo betulkaaah?
      udah lama ga ke gramedia nih. nunggu gramed gandaria city grand opening, supaya diskon 😀

  2. iya itu yg versi lux katanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *