ASI. Topik superhangat sekaligus sensitif bagi para ibu dan keluarganya.

Susu formula terbaik pun tidak bisa mengalahkan kandungan gizi dan kualitas ASI, tapi ketahuilah: tak ada salahnya memberi susu formula jika seorang ibu setelah dengan segala daya berusaha memproduksi ASI namun hasilnya nihil, atau kondisi medis bayi mengharuskannya mengkonsumsi susu formula. *pukpuk para ibu sufor* Yang jelas semua orang tua pasti ingin anaknya mendapatkan hal terbaik, termasuk urusan susu menyusu ini. *ceritanya ga mau ikut-ikut moms’ war*

Nah, saya ingin berbagi sedikit cerita agak panjang soal ASI untuk RK, bayi yang tahu-tahu sudah mau setahun saja usianya.

Persiapan
Saat hamil, saya melahap banyak bacaan tentang ASI. Mbah Gugel bolak-balik saya cecar pertanyaan. Kebetulan kantor saya juga ada proyek kesehatan dan gizi, jadi materi terkait ASI relatif berlimpah. Yang saya catat baik-baik adalah: asupan gizi yang diperlukan ibu menyusui justru lebih banyak ketimbang saat hamil (baca: dapat alasan untuk makin banyak makan makanan bergizi setelah melahirkan), dan hati yang bahagia adalah prasyarat penting bagi lancarnya ASI.

Hal penting berikutnya adalah memilih fasilitas kesehatan saat melahirkan yang pro-ASI, bisa Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan menerapkan rawat gabung (rooming in) bagi ibu dan bayi di semua kelas kamarnya; karena sangat berpengaruh untuk kesuksesan ASI. Setelah riset kecil-kecilan, di Jakarta ini yang memenuhi syarat itu cuma RS Carolus dan RSIA Kemang Medical Care (KMC). RS lain kebanyakan agak sumir soal IMD, dan rawat gabung hanya bisa di kelas VIP. Berhubung kartu asuransi kantor saya bermitra dengan KMC, saya putuskan memilih RSIA di Jalan Ampera itu agar tak usah repot menalangi biaya melahirkan (kalau memilih Carolus, sistemnya harus reimburse alias saya harus keluar uang dulu, baru belakangan diganti oleh pihak asuransi).

Dalam dua bulan terakhir saat hamil, ASI mulai merembes, terutama kalau bangun paginya kesiangan hahaha… Badan saya lebih rajin rupanya. Menuruti nasehat Mbah Gugel, kalau rembes begitu cukup tampung ASI dengan tisu/handuk kecil, lalu payudara cukup dibasuh air biasa tanpa sabun, setelahnya tidak perlu diberi krim, minyak, atau obat apapun.

Melahirkan di KMC
Sesaat setelah RK lahir dan dibersihkan jalan nafasnya, ia diletakkan di dada saya untuk memulai IMD. Saya agak lupa seberapa cepat/lama sampai akhirnya RK menemukan puting saya dan menghisapnya. Maklum, keburu takjub melihat makhluk mungil yang tadinya ada di dalam rahim saya kemudian sudah nemplok aja di atas dada. Saya cuma ingat IMD-nya diinterupsi beberapa kali untuk pemeriksaan RK oleh dokter anak, juga suntikan vitamin K.

Saat pindah ke kamar perawatan — saya pilih kelas 2 saja yang paling ekonomis — terasa betul bahwa rawat gabung memudahkan proses menyusui. Tiap saat RK mewek dan kalau dicek popoknya kering, artinya dia ingin menyusu, Yoga tinggal menggendongnya dari boks lalu meletakkannya di pangkuan saya. Hap… RK langsung sigap menyusu saat disodori sumber ASI-nya.

Selama tiga hari di KMC, tiap hari dokter konselor laktasi datang untuk mengecek proses menyusui, mengkoreksinya jika perlu, dan memberi tambahan ilmu. Saya beruntung karena ASI keluar lancar, tapi buibu dan pakbapak, ketahuilah bahwa bayi baru lahir yang sehat bisa tahan tanpa ASI selama tiga hari. Soalnya, lambungnya baru sekecil kelereng dan gizi yang dibawanya dari dalam rahim masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi jangan mau dikibulin ataupun menyerah sama tenaga kesehatan dan keluarga yang promosiin susu formula ya! Selama bayi masih sehat, suhu tubuhnya tidak naik, ibu sering-sering peluk dia saja dan tempelkan puting ke bibirnya untuk dihisap. Sabar dan tabahlah, ASI pasti akan datang.

Konselor laktasi kami memberikan tips memastikan RK melekat dengan baik di payudara, supaya menyusunya efektif. Saya masih ingat langkahnya: angkat bayi, letakkan jari jempol dan telunjuk saya di telinga RK (ini memastikan mulutnya membuka lebar), dengan tangan satunya, sodorkan payudara. Konselor laktasi juga mengajarkan beberapa posisi menyusui selain posisi standar di mana ibu duduk tegak dan bayi tiduran di pangkuan. Favorit saya adalah posisi ibu tiduran menyamping, dan bayi berbaring menyamping juga menghadap ibu — ini posisi yang bikin rileks dan memungkinkan saya beristirahat sembari menyusui, seringkali sampai tertidur bersama RK. Ketiduran saat menyusui adalah normal karena menyusui memang merangsang hormon yang menyebabkan ibu rileks, jangan khawatir badan ibu akan menimpa bayi karena setelah jadi ibu, gerak refleks seorang perempuan akan berbeda, sangat sensitif terhadap si bayi. Selama ibu tidak mencandu narkoba dan/atau mabuk minuman beralkohol, ia akan langsung bangun saat bayi bergerak dan juga terbangun.

Cuma orang Jepang yang bisa bikin diagram posisi menyusui selengkap ini (dan sekaligus lucu).

Menjaga bahagia
Untuk hal ini, sistem pendukung yang solid adalah kuncinya. Lagi-lagi, alhamdulillah, saya beruntung memiliki sistem pendukung yang mantap. Yoga siap sedia menggantikan popok (ingat, sebulan pertama RK memakai popok kain tali yang memungkinkan kami memantau frekuensi pipis dan pup, tapi proses ganti-cuci-setrikanya sangat melelahkan), kadang mencuci dan menyetrika pula. Ibu saya sebulan pertama setelah RK lahir tinggal di rumah kami, membantu beberes serta mencuci dan menyetrika. Sedangkan ibu mertua mengirimkan lauk pauk dan sayur setiap hari selama saya cuti melahirkan.

Sudah begitu saja, baby blues sempat pula mampir hahaha. Tapi pelukan dan kesabaran Yoga, ditambah kunjungan ke restoran sushi dan kiriman es krim dari Nila, lumayan cukup untuk menghalaunya.

Setelah masuk kantor lagi, saya kembali berlangganan catering Berrykitchen yang masakannya variatif dan cukup enak meski tanpa MSG. Yang saya belum sanggup adalah puasa dari kudapan kurang sehat seperti donat, batagor, dan es krim. Porsi dan frekuensi makan relatif menggila alias banyak dan sering makan, sehingga berat badan mentok di kisaran 60 kg (waktu nikah, berat saya 55 kg, memang nggak kurus tapi ya nggak sebundar sekarang). Kata kakak ipar sih nggak apa-apa, itu hal normal selama dua tahun menyusui.

Selepas suplemen Moloko dari dokter kandungan habis, saya tidak mengkonsumsi suplemen apapun untuk menggenjot produksi ASI. Sayur makan biasa saja, apa yang tersedia saya lahap, apakah itu daun katuk, bayam, singkong, wortel, apapun yang dimasak oleh ibu mertua dan Berrykitchen, saya kunyah dan telan. Saya kadang minum jamu kunir asem yang dijual teman sekantor, yang kabarnya bisa mendongkrak produksi ASI. Tapi ternyata tak ada perubahan signifikan, hasil memompa ASI perah di kantor berkisar di 200-240 ml tiap hari, mau makan apapun juga.

Milk blister, lecet puting, dan luka areola
Oh ini. Drama deh badan saya. Milk blister — bentuknya bintik putih di puting, ini akibat ASI terperangkap di balik kulit yang baru tumbuh setelah puting lecet — munculnya cuma sekali, waktu RK berusia lewat sebulan, tapi sakitnya amit-amit. Untung cuma beberapa hari saja dia mampir, milk blister lenyap setelah rutin dikompres air hangat dan tetap disusukan ke bayi meski bikin meringis manis (hisapan kuat bayi efektif membuka kulit penghalang milk blister). Jadi nggak perlu ke dokter untuk menjalani prosedur yang sepertinya bikin ngilu.

Lecet puting beberapa kali saya alami saat masih cuti. Sebabnya, saya dan RK sama-sama masih belajar urusan persusuan ini, jadi pelekatannya kadang masih kurang pas. RK juga kerap menarik puting saya saat menyusui. Semua teori bilang meski lecet, ibu harus tetap menyusui anak walaupun rasa sakitnya aduhai. Kalau sudah begini, jalan keluar yang saya temukan adalah mengubah posisi menyusui: saya terlentang dengan ganjalan bantal di kepala dan punggung, sementara RK tengkurap di dada saya. Gravitasi membuat RK sulit menarik kepalanya (lehernya waktu itu belum terlalu kuat), jadi dia tidak bisa semena-mena menarik puting ibunya yang merana.

Tapi yang paling menyedihkan adalah luka di areola. Ini baru terjadi ketika saya kembali masuk kantor. Lamanya? Sekitar empat bulan saja saudara-saudara. Awalnya areola lecet, yang kemudian jadi luka dangkal dan tak kunjung mengering. Saya menduga ini ada hubungannya dengan pelekatan RK yang tidak sempurna akibat dia mulai pakai dot untuk minum ASI perah (pipet, gelas kecil, dan soft cup feeder dia tolak semua), ditambah saya stres capek bolak-balik berkereta tiap hari.

Pada hari kerja, saya mengobati luka dengan Betadine dan menutupnya dengan kain kasa. Setelah tiap kali memompa di kantor, saya menjalani langkah yang sama. Saat pulang, ketika mandi saya membersihkan areola dengan sabun agar aman untuk disusui RK langsung. Hari Jumat biasanya luka sudah mulai mengering, tapi basah lagi karena “dihajar” RK sepanjang akhir pekan. Sempat ke dokter kulit, tapi kok tak membaik juga.

Belakangan saya mengganti Betadine dengan bedak Prickly Heat, tapi luka tetap membandel. Akhirnya, saya pikir jangan-jangan ini bukan luka biasa tapi eksim, penyakit kambuhan saya yang menyebalkan itu. Jadilah bedak diganti dengan krim Locoid. Setelah beberapa minggu, perpaduan obat yang tepat dan stres yang berkurang (lebih tepatnya saya sudah pasrah dan ikhlas soal berkereta dan bekerja), lukanya akhirnya sembuh juga. Alhamdulillah. Walau sekarang bekas lukanya masih tampak, yang penting lukanya sudah sembuh.

Piranti perah
Menurut konselor laktasi di KMC, memerah ASI untuk stok saat kembali bekerja sebaiknya dilakukan pada sebulan terakhir cuti melahirkan. Karena khawatir stok akan kurang, saya memulainya sekitar sebulan lebih awal, setelah RK berusia satu bulan.

Saat hamil tua, saya baca pada awal memerah, sebaiknya memakai pompa manual karena kekuatan hisap dan ritmenya lebih mudah diatur. Seorang kawan berbaik hati menghadiahkan pompa ASI manual Medela Harmony, yang jadi senjata saya di awal masa “ibu perah”. Waktu itu saya tidak terlalu rajin, hanya memerah 1-2 kali sehari, biasanya saat dini hari. Total perolehan di akhir masa cuti, sekitar 30 botol @ 30-80 ml. Tabungan ini ludes dalam dua minggu pertama saya kembali ke kantor T__T

Paniklah ya, apalagi ngengkol pompa ASI manual ternyata pegal juga. Akhirnya beralih jua ke pompa elektronik, dengan pembiayaan dari ibu tercinta. Pilihan jatuh ke Spectra Advance 9+, yang cukup terjangkau meskipun sudah sistem tertutup (closed system) alias ASI nggak akan masuk ke dalam mesin dan pompanya ganda, kanan-kiri langsung dipompa pada saat bersamaan. Pompa ini juga sudah menyertakan manual converter, jadi kalau kangen ngengkol, bisa dipakai hahaha.

Penampakan si Spectra Advance 9+

Di awal masuk kantor, saya rajin banget mompa, bisa empat kali sehari. Lebih tepatnya sih karena panik takut stok susu habis. Frekuensinya berkurang jadi tiga kali, kemudian dua kali saja cukup, karena ternyata mau mompa sesering apapun, perolehannya nggak jauh-jauh dari 200-240 ml sehari.

Baju menyusui
Untuk yang ini, perlu posting khusus karena saya punya banyak koleksi hahaha… Tunggu tanggal mainnya ya. Dan terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini! 🙂

Gambar disalin dari sana dan sini.

Komentar via Facebook | Facebook comments