Penggugat Rawagede berencana menuntut Belanda untuk bertanggung jawab juga terhadap kejahatan perang Belanda di Indonesia lainnya, termasuk pembantaian Westerling.
Suara Jeffry Pondaag, 58 tahun, bergetar mengenang salah satu peristiwa paling penting dalam hidupnya. Pekan lalu, Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (yayasan K.U.K.B.) itu datang ke Rechtbank ‘s-Gravenhage bersama pengacaranya, Liesbeth Zegveld. Di pengadilan sipil Den Haag itu mereka menghadiri sidang putusan kasus pembantaian Rawagede, tiga tahun setelah melayangkan gugatannya.
“Saya duduk, ah, saya pikir gagal, (sidang) ini cuma formalitas. Tapi makin dia (hakim) baca putusannya, ini ke mana nih? Saya lihat asisten Ibu Zegveld nyengir-nyengir. Ibu Zegveld juga kelihatan menahan emosi, mukanya merah. Waktu itu saya nggak percaya, karena kan bahasa hukum,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca saat ditemui Tempo di rumahnya, Heemskerk, Belanda Utara, hari Kamis (22/9) sore.
Heemskerk terletak sekitar 75 kilometer di timur laut Den Haag. Di sofa ruang tengahnya, kami berbincang selama lebih dari sejam. Pria berambut gondrong dan keriting itu mengenakan kemeja putih lengan pendek, celana panjang hitam, dan sandal jepit. Jam warna emas bergambar Garuda Pancasila melingkar di pergelangan tangannya. Kalung salib emas tergantung di lehernya.
Seusai sidang, katanya bercerita, Liesbeth kontan memeluk asistennya dan Jeffry. Saat itulah Jeffry baru benar-benar percaya mereka sukses memenangkan kasus Rawagede, yang menjadi tonggak sejarah baru dalam sengketa perang Indonesia dan Belanda.
Ia menetap di Belanda sejak tahun 1969, mengikuti ibunya yang bercerai lantas memutuskan keluar dari Indonesia. Namun, nasionalismenya tak pernah hilang. “Waktu sekolah, saya heran karena dalam buku sejarah ditulis bahwa Soekarno itu kolaborator, pejuang Indonesia dibilang ekstrimis,” ucapnya sembari menyesap rokok lintingan sendiri. Secara resmi, pemerintah Belanda pun mengakui Indonesia baru merdeka 27 Desember 1949, saat penyerahan kedaulatan ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Ketika itu, lelaki yang masih berstatus warga negara Indonesia tersebut hanya heran. Tapi puluhan tahun kemudian, keheranan itu berubah menjadi kemarahan saat menemukan hal yang sama diajarkan kepada kedua anaknya di sekolah. Akibat buku sejarah versi Belanda itu, “Orang Belanda sendiri nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia di masa lalu.”
Pegawai salah satu pabrik semen itu lantas bertekad mengumpulkan data untuk menggugat Belanda. Dua dokumen penting yang didapatkannya adalah laporan Perserikatan Bangsa-bangsa yang dilansir tahun 1948, dan De Excessennota yang dipublikasikan pemerintah Belanda pada 1969.
Laporan PBB, disusun Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, membahas hasil penyelidikan insiden Rawagede. Sedangkan De Excessennota, yang dibuat atas perintah sidang Parlemen Belanda, menemukan setidaknya 140 pelanggaran yang dilakukan tentara kerajaan Belanda.
Jeffry geram karena keduanya adalah dokumen publik, tapi pemerintah Indonesia seolah tak bergerak menyikapinya. Jadilah ia mengumpulkan sejumlah kawan yang sealiran untuk menuntut hak Indonesia itu. Tahun 2005, dia mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda bersama Ray Sahetapy, Laksamana Wibisono, dan Batara Hutagalung. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Abdul Irsan, didapuk menjadi penasehatnya.
Pada tahun itu pula mereka mengunjungi Balongsari, nama baru Rawagede, untuk menemui keluarga korban pembantaian dan mendokumentasikan wawancara tersebut. Salah satu kontak awal mereka ialah Sukarman, penjaga monumen Rawagede, yang mengenalkan Jeffry dan kawan-kawannya kepada para korban. Suami pertama ibu Sukarman adalah salah satu korban pembantaian. Sukarman kemudian menjadi Ketua Yayasan Rawagede.
Belakangan, Jeffry pisah kongsi dengan Batara Hutagalung, dan mengubah Komite menjadi Yayasan. Nama lengkapnya menjadi Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda, disingkat yayasan K.U.K.B. Begitu kembali ke Belanda, K.U.K.B memutuskan melayangkan gugatan ke pemerintah. Sejumlah teman Jeffry menyarankan meminta Liesbeth Zegveld jadi pengacaranya.
Ketika itu, nama Zegveld sudah lumayan beken karena menggugat pemerintah Belanda sebagai pengacara dua keluarga Bosnia korban pembantaian Srebrenica. Namun, Zegveld yang bekerja di kantor hukum Bohler belum mendapat gelar profesor dalam bidang hukum hak asasi manusia internasional dari Universitas Leiden.
Tahun 2006, K.U.K.B menemui Zegveld di kantornya di Amsterdam. “Waktu baca dokumennya, dia bilang ini menarik sekali, tapi harus diselidiki lebih dalam,” kata Jeffry sambil mengunyah kue kelapa.
Melalui Bohler, K.U.K.B. sempat meminta waktu audiensi dengan Perdana Menteri saat itu, Jan Peter Balkenende, untuk membicarakan kasus Rawagede, namun ditolak. K.U.K.B juga pernah mengirim surat kepada sejumlah Presiden Indonesia, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono, tapi tak ada respon yang didapat.
Pada Agustus 2008, Zegveld lantas mengirim salah satu stafnya, Gerrit Jan Pulles, ke Rawagede untuk mendatangi dan mewawancarai keluarga korban, sekaligus meminta mereka memberi surat kuasa pada kantor hukum Bohler untuk menggugat Belanda.
Bulan berikutnya, K.U.K.B bersama sembilan warga Rawagede resmi melayangkan surat gugatan ke pengadilan sipil Den Haag, tertanggal 8 September 2008. Jaksa pemerintah Belanda melansir tanggapannya pada 21 November 2008, menyatakan gugatan itu terlambat dan sudah kadaluwarsa.
Sidang di Den Haag baru digelar nyaris dua tahun kemudian, yakni pada 20 Juni 2011, ketika Zegveld dan jaksa negara, GJH Houtzagers, membacakan pledoinya masing-masing. Meski tak diwajibkan, kata Jeffry, K.U.K.B. bersusah-payah mendatangkan para penggugat dari Indonesia.
Lewat lobi melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Luar Negeri, K.U.K.B. bisa mendapatkan diskon besar dari Garuda Indonesia untuk tiket pesawat mereka. Tapi hingga sehari menjelang keberangkatan, uang senilai 5.500 euro untuk tiket itu belum juga terkumpul. Untunglah ada dua kawan Jeffry, keduanya orang Belanda, yang berbaik hati menyumbangkan uangnya di saat-saat terakhir. “Saya langsung buru-buru ke (bandara) Schiphol untuk membayarkan uangnya sebelum kantor Garuda tutup,” tuturnya.
Meski sebelumnya tak memberikan bantuan bagi K.U.K.B, Kedutaan Besar RI di Belanda memudahkan beban yayasan itu dengan menyediakan akomodasi gratis bagi keluarga korban Rawagede. Pada 16-28 Juni 2011, mereka menginap di Wisma Indonesia di Wassenar. Selain menghadiri sidang pledoi, mereka diajak K.U.K.B. berkeliling tempat-tempat bersejarah di Belanda.
Mengurus perkara Rawagede bukanlah hal mudah ataupun murah. Tak banyak orang percaya mereka bisa menang. Media pun nyaris tak pernah memuat rilis pers yayasan itu. Dalam soal finansial, K.U.K.B. bergantung pada uang dari donatur di Belanda dan Indonesia, serta pemasukan dari pengurusnya sendiri. Tapi Jeffry enggan mengungkapkan berapa banyak dana yang sudah dikucurkan K.U.K.B. demi keadilan. “Itu nggak penting,” ucapnya.
Setelah putusan mengejutkan 14 September itu, perjuangan untuk Rawagede masih panjang. Pasalnya, vonis pengadilan tingkat pertama itu belum final dan mengikat. Pemerintah Belanda masih belum menyatakan bakal banding ke pengadilan tinggi atau tidak. Masih terbuka pula peluang kasus terus melaju hingga ke Mahkamah Agung.
Kalaupun Belanda tak banding, harus ada proses penghitungan kompensasi yang dilakukan oleh sebuah biro khusus pemerintah. Jeffry memperkirakan biro itu akan mendata penggugat pada 1947 bekerja sebagai apa dengan pemasukan berapa. Peluang pemasukan yang hilang itu dikalikan dengan bunga atau inflasi selama puluhan tahun.
Ia berharap pemerintah Belanda tak hanya memberi kompensasi pada sembilan keluarga korban Rawagede, tetapi pada seluruh keluarga 431 orang yang tewas dibunuh, terutama yang lahir sebelum 1947. “Kompensasi bukan karena kasihan, tapi memang itu hak mereka,” ujarnya.
Selain Rawagede, K.U.K.B. yang juga punya kantor di Sulawesi itu kini sedang menyiapkan “kado” lain untuk Belanda. Yakni, gugatan soal pembantaian Westerling, yang jumlah korbannya jauh lebih besar ketimbang Rawagede. Dengan putusan Rawagede itu, mereka lebih percaya diri bisa memenangkan pula kasus Westerling.
Leave a Reply