Metromini P15 dengan cuma dua penumpang. Turun di mana Pak? Bunderan HI.
Turun di mana Mbak? Benhil. Jadilah kaleng oranye itu membandel, menyeleweng
dari jalur aslinya. Bukannya ke belakang Sarinah, ia langsung membelok ke
Thamrin. Kecepatan penuh dan konsisten memakai gigi empat. Melengos dari
jalur lambat ke jalur cepat. Lalu tiba-tiba Benhil. Hop! Saya melompat.
Menyeberangi rumput hijau menuju sisi lajur lambat.
Berikutnya: Kopaja 19 berisi banyak orang. Bau karat bercampur keringat.
Untungnya saya dapat tempat mendudukkan pantat. Setengah pantat, tepatnya,
karena bangku sempit itu tak cukup buatku, huh. Bis rombeng hijau-putih ini
juga ternyata emoh lewat jalur yang sebenarnya. Sampai di Pasaraya, si supir
membelokkan tunggangannya kembali ke Sudirman, tak mau terus ke Ragunan.
Laste: Metromini 69. Menyetopnya di perempatan, pelanggaran hukum harian.
Membayar hanya dua ribu karena, Cuma sampai Velbak Pak! Memandangi anak
belasan tahun yang membagikan amplop lalu menyanyi sumbang. Mengembalikan
amplop tanpa isi uang. Mendengarkan pengamen lain menyanyikan lagu yang
bikin senang. Dengan ikhlas memberinya lima ratus rupiah yang tadi kuhemat
dari si kenek malang. Turun di jembatan dan nekat menyeberangi jalan yang
selalu ramai bukan kepalang.
Muka berdebu, badan berpeluh, tapi bibir tersenyum. Anugerah. Sudah tak
kesal lagi karena berita yang kemarin dikejar tak naik di situs web pabrik
tempe, pun turun kelas dari berita kedua ke kilas lalu tak naik cetak karena
tergeser iklan. Dan sudah tak peduli lagi kalau berita hari ini pun berakhir
di keranjang sampah.
Nafas masih panjang, polusi betah bercokol di paru-paru, bis kota tetap
ngebut dan melanggar aturan. Dunia toh tak kiamat. Sepakat?
Leave a Reply