Nyaris empat bulan sudah berlalu dan saya baru menyempatkan diri menulis tentang kota ajaib bernama Brasilia. Seperti biasa: lebih baik terlambat daripada tidak pernah! Hahaha. *alesyan*
Brasilia adalah ibu kota Brasil. Kedengarannya nggak kreatif ya? Semacam kalau Indonesia bikin kota bernama Indonesiana. Tapi dipikir-pikir Meksiko juga ibu kotanya dikasih nama Kota Meksiko, jadi ya ketidakkreatifan (ini bentukan kata ngaco yang tidak layak dicontoh) tersebut bolehlah kita maafkan.
Brasilia bukan kota biasa yang tumbuh alamiah. Kota yang masuk daftar UNESCO World Heritage ini bahkan nggak eksis sebelum abad ke-20, meski pembentukan ibu kota baru untuk menggantikan Rio de Janeiro dimandatkan dalam konstitusi Brasil tahun 1891. Brasilia ialah kota yang direncanakan pemerintah Brasil untuk menunjukkan kedigdayaannya, sekaligus mengisi bagian negara yang waktu itu relatif kosong tanpa penghuni. Proyek mercu suar Presiden Justino Kubitschek ini memancing debat lumayan panas — kalau kamu coba tanya Mbah Gugel, akan ada yang bilang Brasilia bukan cuma jelek tapi gagal, namun orang lain bilang kota itu bukan cuma monumental untuk arsitektur modern tapi juga sukses.
Sejarah bilang Brasilia direncanakan dan dikembangkan sejak 1956 oleh tiga tokoh: Lúcio Costa sebagai perencana utama, Oscar Niemeyer jadi arsiteknya, dan Roberto Burle Marx didapuk menjadi perancang lansekap kota. 22 April 1960, Brasilia diresmikan sebagai ibu kota baru Brasil.
Costa merancang kota berbentuk burung dengan sayap terentang, yang sekilas juga seperti pesawat terbang. Maksudnya sih pengen lepas landas kali ya. Di sekelilingnya ada danau buatan, Paranoa, yang memasok air untuk Brasilia. Kota dibagi dalam sektor yang dinamai sesuai fungsinya: sektor hotel, sektor bank, sektor kedutaan, sektor kebudayaan. Jalan-jalan lebar dengan jumlah lampu merah yang minim dirancang untuk mencegah macet. Brasilia ramah mobil, tapi sayangnya, nggak ramah pada pejalan kaki, jadi ke mana-mana harus naik bis atau taksi.
Bulevar lebar bernama Eixo Monumental alias poros monumental membelah kota jadi dua. Di ujungnya ada Praça dos Três Poderes atawa alun-alun tiga kekuatan yang terdiri dari kompleks gedung parlemen, istana presiden, dan mahkamah agung. Sayangnya akibat jadwal yang lumayan padat, saya nggak sempat ke sana. Masih untung bisa mengambil foto parlemen dari puncak menara televisi — cuma sekoprolan dari Ulysses Guimarães Convention Center, tempat 15th International Anti-Corruption Conference yang saya ikuti berlangsung. Untung juga menara televisi itu nggak menarik bayaran untuk pengunjung yang ingin naik ke puncak — saya yang kere ini sudah ketar-ketir karena harga rupa-rupa barang dan jasa di seantero Brasil bisa dibilang lebih mahal ketimbang harga di Eropa Barat.
Tapi tentunya saya nggak mungkin melewatkan mampir ke katedral di tengah kota, pas di tengah poros monumental. Catedral Metropolitana Nossa Senhora Aparecida karya maestro arsitek Niemeyer (yang ternyata ateis) ini baru komplit dibangun pada 31 Mei 1970. Struktur hiperboloid (makanan apa ini? klik pranala ini untuk cari tahu di Wikipedia) katedral ditunjang oleh 16 kolom beton, serta dihiasi kaca patri putih, hijau, dan biru.
Bersama Retha, saya bertaksi ria dari gedung konferensi ke katedral. Turun taksi, kami disambut patung empat penginjil dan juga segelintir pedagang asongan. Katedral sedang direnovasi, jadi penampakannya rada berantakan. Masuk ke halaman, ada bangunan oval seperti UFO yang bikin kami bertanya-tanya apakah itu gerangan. Lalu masuklah kami ke gereja melalui terowongan gelap. Di ujungnya ada ruang baptis, yang ternyata berada di bawah struktur oval misterius itu.
Tak jauh dari sana adalah ruang utama gereja yang bermandi cahaya. Cantik sekali meski bersahaja. Saya mendongak dan tiga patung malaikat jumbo tergantung di tengah katedral, seolah melayang dari surga menyapa manusia. Opa Niemeyer ini bisa saja membuat pengunjung terharu, bahkan yang bukan Katolik seperti saya. Mungkin ini juga efek bosan melihat katedral gotik abu-abu yang meski cantik, tapi terlalu banyak saya lihat di Eropa. Bagaimanapun, saya rasa katedral ini sukses jadi antidot fitur serbakaku Brasilia.
Usai menjelajah dan memotret katedral, saya dan Retha keluar. Di dekat bulevar, berjejer gedung-gedung kementerian yang bentuknya seragam. Dalam hati saya bertanya-tanya berapa kali saya bakal nyasar kalau bekerja di sana, hahaha.
Kami menyeberang ke Museu Nacional da República, gedung berbentuk separuh bola — ini sepertinya salah satu bentuk favorit Niemeyer, karena konsep serupa dipakai untuk gedung parlemen. Menurut saya sih judulnya lebih cocok galeri nasional daripada museum nasional, karena di dalamnya adalah pameran seni kontemporer. Sayangnya nggak ada keterangan dalam bahasa Inggris, jadi kami cuma bisa mengira-ngira saja…
Di depannya sedang ada demonstrasi masyarakat Guarani-Kaiowa, yang memprotes rencana pemerintah menggusur mereka. Saya dan Retha bak turis sejati memotret mereka. Eh, malah mereka yang kemudian minta dipotret bersama kami. 😀
Sepekan di Brasilia, ia tetap terasa sebagai kota yang aneh, tapi mungkin itu karena saya terlalu terbiasa hidup di kota tanpa rencana, Jakarta. Foto-foto lainnya di Brasilia bisa dilihat di album ini:
Leave a Reply