“Bagaimana rasanya jadi jurnalis perempuan di Indonesia?”
“Bagaimana caranya supaya berita baik soal antikorupsi muncul di media?”
“Apa boleh jurnalis berpihak dalam beritanya?”
Rasanya aneh juga, saya yang biasanya bertanya kepada narasumber justru kebagian dihujani pertanyaan. Pasalnya, dalam dua bulan terakhir, saya didapuk berbagi ilmu di tiga acara di Yogyakarta dan Bandung.
Padahal, saya sudah bilang ke para panitia, saya cuma reporter rendahan di pabrik kata, belum pernah menggaet penghargaan bergengsi pula. Bisa jadi saya hanya tahu soal jurnalisme sedikit lebih dulu dan sedikit lebih dalam daripada mereka. Yakin mau minta saya merepet di acara mereka? Eh, mereka mau 😀 Ya rupanya karena belajar itu toh katanya bisa dari siapa saja, termasuk dari jurnalis-nggak-begitu-muda-yang-selalu-merasa-masih-pemula, mereka bersikukuh mengundang saya.
Undangan pertama datang dari Gilang, kawan seangkatan di Ilmu Komunikasi UGM yang sekarang mengajar di almamater kami itu. “Lagi ngapain? Aku kalau ngontak kamu, kamu patut curiga Bung,” kata Gilang via Whatsapp, 13 Februari 2014.
Gilang lantas bertanya apakah saya bersedia jadi pembicara dalam acara Kuliah Bareng Praktisi. Ini kegiatan rutin di jurusan kami, entah sejak kapan, tapi sudah ada di masa saya masih jadi mahasiswa unyu di sana. Kebetulan, kata Gilang, akan ada kunjungan dari sekelompok mahasiswa asal Belanda. Mereka bakal bergabung dengan mahasiswa lokal untuk jadi peserta acara itu.
Topik yang diminta Gilang untuk kuliah adalah praktek terkini (current practices) jurnalisme Indonesia. Ya saya nggak keberatan karena kalau soal itu saja sih bisalah ngemeng ke sana-kemari berdasarkan pengalaman sehari-hari. Apalagi, Gilang menyanggupi permintaan saya untuk menyediakan tiket pesawat Jakarta-Yogya pergi-pulang. Hore, bisa sekalian ngisi baterai emosional di rumah!
Tanggal 7 April, jadilah untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berperan sebagai dosen, meski jadi-jadian. Ternyata capek ya ngomong nyaris dua jam 😀 Presentasinya sih cuma sekitar setengah jam, tapi tanya-jawabnya hampir 1,5 jam. Meski yang semangat bertanya ya orang negeri kumpeni, sedangkan dari negeri sendiri, hanya Gilang yang ikut andil. Entah karena saya ngomong dalam bahasa Inggris-nya kurang jelas, anak-anak UGM-nya yang nggak klik frekuensinya, jam acara setelah makan siang nan bikin ngantuk, atau kombinasi ketiganya. Yang jelas sih senang juga bisa berbagi ilmu, walau hanya berdasar pengalaman dan penilaian pribadi saya.
Undangan berikutnya datang dari Warta Himahi, pers mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Parahyangan. Yang ini nggak ada hubungan personal. Atika dari Warta Himahi menyapa saya lewat Twitter pada 25 Maret. Perbincangan berlanjut via jalur pribadi, surat elektronik.
Acara yang digelar Warta Himahi dikasih label “Menuju Generasi Anti Korupsi” (mental gatal-mengoreksi-ejaan saya terusik di sini: harusnya “Antikorupsi” bukan “Anti Korupsi”). Dalam sehari, banyak juga agendanya, mulai dari lomba karya tulis, lokakarya, sampai acara bincang-bincang.
Atika meminta saya mengisi lokakarya dengan tema jurnalistik antikorupsi. Karena memang banyak bersinggungan dengan isu antikorupsi sejak liputan di Komisi Pemberantasan Korupsi, saya oke-oke saja dengan permintaan Atika. Pertanyaan yang saya ajukan cuma satu: kenapa saya?
“[K]an saya lagi mencari jurnalis dari majalah Tempo, trs saya cari deh di hlmn kedua majalah tsb, ketika saya googling satu per satu, keluar video Mbak Bunga di IACC, which is menurut sya cocok bgt sama tema korupsi kita,” kata Atika lewat surel.
(Wah, which is. Bikin pengen ngebenerin dan bilang: ganti dong “which is” sama “yang”. Tapi ya sudahlah.)
Menjelang hari-H, Atika kembali mengontak saya, minta bantuan untuk jadi juri lomba karya tulis pula. Yah, mumpung bisa bantu orang, maka saya iyakan saja. Moga-moga nanti ketika saya lagi perlu, bakal dibantu juga sama orang lain 🙂
Belakangan saya nemu situs webnya acara itu dan di posternya saya ditulis sebagai jurnalis Majalah Tempo. Padahal saya cuma reporter Tempo News Room (nah yang ini kok istilahnya sok nginggris juga ya, padahal mah Kantor Berita Tempo gitu keren juga ah). Kontan saya kirim surel lagi untuk Atika, minta informasinya diluruskan, sebelum ada jurnalis Majalah Tempo yang protes hehehe.
Acara tanggal 10 Mei 2014 itu lumayan seru walau yang datang sedikit, kayaknya sih banyakan anak-anak Warta Himahi ketimbang peserta lain. Seperti biasa banyak banget yang nanya. Ternyata sebanyak itu ya yang ingin diketahui orang soal berkelindannya jurnalisme dan gerakan antikorupsi. Gimana kalau yang datang lebih banyak, coba. Tapi ya semoga saja jawaban saya bisa memberi pencerahan.
Sebagai bonus, saya pun bisa ketemu Sasa, sepupu dari keluarga ayah. Dia memang tercatat sebagai mahasiswa HI Unpar. Wajah kami mirip nggak? 🙂
Dan saya pun sedikit tersandung, eh, tersanjung, waktu tahu nama-nama pemateri lain di perhelatan Warta Himahi itu. Ada FX Rudy Gunawan, mantan wartawan yang jadi sastrawan dan mendirikan GagasMedia, sebagai pembicara lokakarya penulisan kreatif. Pada sesi bincang-bincang, Sely Martini dari Indonesia Corruption Watch, Dadang Trisasongko dari Transparency International Indonesia, dan Rocky Gerung, pengajar Filsafat Universitas Indonesia.
Kali ketiga saya berbagi ilmu baru lewat beberapa hari lalu. Awalnya Rifki, adik kelas SMA — dan juga di Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada — sekaligus subjek penelitian skripsi saya dulu, mengirim pesan lewat Facebook, 16 April 2014. Pesan terakhirnya sebelum itu, Maret 2010, lama banget ya.
Rifki sekarang bekerja di pusat karir Fakultas Teknik UGM. Tempat kerja Rifki itu bakal menggelar pelatihan jurnalistik untuk pegawainya, dan perlu pembicara juga. Sama seperti jawaban saya untuk Gilang, saya bilang kepada Rifki: boleh, kalau disediakan tiket pergi pulang, hehehe.
Setelah sederet percakapan di telepon dan surat elektronik, ternyata saya nggak mengisi cuma satu sesi, tapi… dua hari! Waduh, panjang bener ya acaranya. Mana saya pula yang diminta menyusun kurikulum sendiri. Berhubung kapasitas diri terbatas, durasi pelatihan di hari pertama saya set empat jam saja, diseling istirahat tiap jam dan makan siang. Sedangkan hari kedua lebih pendek, tiga jam.
Kelas pelatihan menulis itu relatif kecil, pesertanya sembilan orang, sehingga percakapan bisa berlangsung lebih intens dan akrab. Latar belakangnya beragam, ada yang sudah berpengalaman dengan dunia jurnalistik, ada pula yang belum pernah ikut kelas menulis sama sekali. Saya mencoba menempatkan diri sebagai fasilitator dan berusaha sebanyak mungkin melibatkan para peserta. Ini baru kedua kalinya saya jadi fasilitator, setelah lokakarya masa kuliah di Den Haag hampir tiga tahun lalu, hehehe.
Di akhir sesi hari pertama, saya memberi mereka tugas menulis berita pendek soal karir. Tugas mereka itu dibahas bersama pada hari kedua, hari ketika saya sentrap-sentrup parah akibat flu. Pemungutan suara kecil-kecilan dilakukan di akhir kelas, untuk memilih tulisan terbaik. Pemenangnya mendapat hadiah buku tentang jurnalisme masa kini yang semoga berguna untuk mereka.
Dipikir-pikir, seru juga berbagi ilmu begini. Saya cuma bisa berdoa semoga saya nggak menyesatkan, tapi memberi ilmu yang bermanfaat 😀 Ada yang berminat saya kibulin, eh, saya bantu menambah ilmu?
NB. Untuk yang mau, presentasi saya di tiga acara itu bisa diakses di tiga pranala berikut. Meski slide-nya sih sedikit, omongannya yang banyak dan nggak ada di berkas presentasi 😀
- Journalism in Indonesia, Now and Then https://www.dropbox.com/s/j2nrj0dacr5k2iu/01%20-%20UGM.pdf
- Jurnalisme Antikorupsi https://dl.dropboxusercontent.com/u/51319819/02%20-%20HI%20Unpar.pdf
- Jurnalisme Media Dalam Jaringan http://prezi.com/wzsayuk3dlc0/lokakarya-ecc-ugm-1/ dan http://prezi.com/w2lfmguy1be2/lokakarya-ecc-ugm-2/
NB2. Pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan saya jawab di entri blog berikutnya ya… (meski entah kapan)
Leave a Reply