Hari Kartini selalu mengingatkan saya akan suatu waktu, ketika saya merasa terpesona pada peran perempuan dalam suku Minangkabau. Sayangnya, ketakjuban itu tak berlangsung lama.
Saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar saat tahu suku Minangkabau mengatur keluarganya dengan cara sangat berbeda dari suku lain di Indonesia. Di buku pelajaran dijelaskan, keluarga Minang dihitung dari garis keturunan ibu, dan warisan pun diturunkan kepada para perempuan. Jika seorang lelaki Minang menikah, ia pindah ke rumah keluarga istrinya, bukan sebaliknya. Kesannya posisi perempuan istimewa betul, bukan hanya “pengikut” lelaki seperti di kebanyakan suku lain.
Waktu itu, terselip rasa bangga karena saya punya darah Minang. Walaupun, saya tak terhitung orang Minang karena darah itu mengalir dari ayah, bukan dari ibu saya – dia orang Sunda. Dalam istilah Minang, bibi atawa saudara perempuan ayah, yang dilabeli “induak bako”, akan menyebut saya “anak pisang”. Nama saya pun tidak akan tercantum dalam ranji alias silsilah keluarga, tapi saya ikhlaskan saja karena yang penting, buat anak SD, rasanya sudah bangga jadi bagian sesuatu yang berbeda.
Kebanggaan itu menciut saat saya pulang sekolah dan berdiskusi dengan ayah.
Terus bagaimana? Klik untuk baca lanjutannya ya… >>
Gambar disalin dari sini.
Leave a Reply