Ini sebetulnya cerita galau bulan Oktober dan November 2014. Kebetulan ada sederet acara yang membuat saya mau tak mau mengenang Eropa sembari termehek-mehek dalam hati. Ini bukan lebay. Tapi setelah dua tahun menimba ilmu dan berkelana ke sejumlah negara, wajar dong kalau sepotong hati saya tertinggal di sana. Ihik.

Maaf baru sempat di-blog-kan sekarang. Segala macam kesibukan dan kemalasan menghadang niat saya untuk segera berbagi cerita. Jadi, begini…

Acara pertama, pada bulan Oktober, adalah kumpul narablog dalam rangka promosi Destination Europe, pameran wisata yang mencoba memikat orang Indonesia untuk melancong ke Uni Eropa. Saya didapuk jadi pembicara bersama Colin Crooks, Wakil Duta Besar Delegasi Uni Eropa untuk ASEAN, Indonesia, dan Brunei Darussalam; dan petualang-blogger-selebritas media sosial-mantan jurnalis Marischka Prudence. Saya diminta bicara sebagai alumna Erasmus Mundus (EM – sekarang bernama Erasmus+) yang menikmati dua tahun (belajar dan) jalan-jalan di Eropa, menggantikan Yansen Darmaputra — sesama alumnus EM — yang adalah penggagas blog acuan soal EM, emundus.wordpress.com, tapi kebetulan tidak bisa hadir dalam acara itu.

Berbicara tentang serunya jalan-jalan di Eropa saya awali dengan himbauan (hehe), cara paling enak adalah dengan mendapatkan beasiswa sekolah di sana! Bukan saja dapat ilmu, tapi uang beasiswa yang lebih dari cukup bisa jadi modal berkeliling benua yang negaranya kecil-kecil itu. Mulai dari tempat yang umum dan mainstream seperti Amsterdam, Paris (iya yang beken banget tapi penuh turis, banyak copet, dan bau itu hehehe), sampai yang nggak lazim macam Dubrovnik (setting King’s Landing di Game of Thrones) dan Mostar (salah satu kota indah di Bosnia-Herzegovina yang jadi korban perang di ujung keruntuhan Yugoslavia). Dihitung-hitung, selama dua tahun bersekolah, ada 16 negara di Eropa yang saya kunjungi, meski tidak semuanya anggota dari Uni Eropa: Belanda, Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Hongaria, Austria, Republik Cek, Slowakia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Rusia, Polandia, Yunani, dan Turki. Saya tahu ada lho teman-teman EM yang sempat melancong ke lebih banyak negara lagi. Seru kan.

Foto dari twitter Uni Eropa, @Uni_Eropa.

Acara kedua adalah Seminar Beasiswa dan Kerja di Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI) Kementerian Perindustrian. Lumayan juga melintas Jakarta untuk sampai di kampusnya di Cempaka Putih. Saya berduet dengan narasumber satunya, Mbak Nur Febriani Wardi, penulis buku Haram Keliling Dunia yang kebetulan juga kakak kelas saya di ISS, Belanda.

Saya menjelaskan tentang Erasmus+, yang seperti pendahulunya, EM, memang agak sulit dijelaskan hehehe, terutama karena tiap program punya konsorsium sendiri dengan aturan sendiri. Berbekal presentasi dan hadiah pintu (doorprize… halah) titipan Ibu Destri, saya mencoba memotivasi kawan-kawan mahasiswa di acara STMI itu untuk menguji nyali untuk mendaftar beasiswa EM. Lumayan banyak pertanyaan yang muncul, senang juga melihat antusiasme mereka.

Berikutnya pada bulan November adalah tak lain tak bukan… European Higher Education Fair (EHEF) 2014! Acara penuh kenangan karena pada 2010, saya datang sebagai peminat beasiswa, ikut sesi EM dan menang kaos dari kuisnya, lalu tahun 2011 jadi salah satu peraih beasiswa. Akhirnya tahun 2014, saya bisa “balas budi” dan berbagi soal pengalaman seputar EM. Sabtu siang, 8 November 2014, saya “manggung” bersama dua alumni EM lain. Peminat sesi itu buanyak, sampai pada lesehan, pun pertanyaannya berjibun dan kami jawab sebisa mungkin. Alumni EM mengisi beberapa sesi, ada sesi sharing, ada juga presentasi tentang Erasmus+ (bisa diunduh di https://emundus.wordpress.com/2014/11/06/reblogged-slide-presentasi-erasmus/).

Banyak banget yang antusias ikut sesi ini. Di kanan-kiri panggung bahkan ada yang lesehan.

Sesi tersebut direkam dan diunggah di kanal Youtube Erasmus Mundus. Ini cuplikan video pertama dari empat video di sesi itu (tolong maklumi cengar-cengirnya saya di dalamnya):

Kedua kampus saya dulu ketika kuliah di Mundus MAPP, International Institute of Social Studies (ISS) dan Central European University (CEU), hadir juga dalam EHEF 2014. Jadi masing-masing kampus bikin acara sendiri di luar EHEF.

ISS bersama “induk”-nya, Erasmus University of Rotterdam, mengadakan acara kumpul alumni di Lotte Shopping Avenue. Seru juga bisa ketemu kawan seangkatan di ISS dan beberapa mahasiswa doktoral ISS yang dulu sering beraktivitas bareng saat di Den Haag. Dan baru tahu Kwik Kian Gie ternyata lulusan Erasmus University.

Foto dari Facebook ISS Alumni.

Beberapa hari setelah EHEF, CEU mengundang alumni di Indonesia — yang cuma segelintir — untuk makan malam bersama di Hotel Mandarin Oriental. Selain saya, alumnus lain yang datang adalah pengacara hak asasi manusia kondang Uli Parulian Sihombing (duh, jadi merasa terhormat satu almamater hahaha). Ternyata dari CEU yang datang adalah para petinggi: CEU School of Public Policy Dean, Wolfgang Reinicke; CEU Dean of Students, Chrys Margaritidis; dan CEU Vice President of Administration, Margaret Bolter. Dalam kunjungan ke Indonesia, CEU sekalian menjajaki upaya kerja sama dengan sejumlah kampus di nusantara. Memang Hungaria bukan mitra kerja yang umum untuk perguruan tinggi di sini, sehingga mereka harus “babat alas” untuk menggalang kerja sama. Padahal, CEU adalah salah satu kampus terbaik di Eropa Tengah, bahkan dalam Ilmu Sosial masuk dalam 100 universitas terbaik versi Times Higher Education dan QS. Sayangnya saking seru ngobrol dan makan, kami tidak sempat berfoto bersama.

Oya, saya juga ikut membantu “jaga kandang” CEU selama beberapa jam saat EHEF. Hitung-hitung bantu almamater sendiri. CEU tergolong royal memberi beasiswa, hampir semua kawan seangkatan saya mendapat beasiswa penuh atau parsial. Jadi kesempatan kebagian beasiswa CEU sebetulnya jauh lebih besar ketimbang kemungkinan mendapat beasiswa Erasmus+. Banyak pengunjung gerai CEU yang bertanya, kenapa CEU, kenapa Budapest, kenapa Hongaria? Jawabannya mudah. CEU adalah kampus yang sangat progresif dan didirikan pas saat rezim komunisme runtuh di Eropa Tengah dan Eropa Timur; sehingga mahasiswanya bisa meraup pengetahuan dengan sudut pandang berbeda ketimbang perguruan tinggi “mainstream” di Eropa Barat, Amerika Utara, atau Australia. Kualitas pendidikan CEU ok, dan sebagai universitas internasional, bahasa pengantarnya adalah Bahasa Inggris jadi tak usah risau harus belajar Bahasa Hongaria (Magyar) yang lumayan rumit itu. Nyaris semua program studi di CEU adalah master dan doktoral, jadi lingkungan tidak dipenuhi anak undergraduate yang… ya… mungkin lebih suka hura-hura ketimbang berdiskusi dan belajar (colek Retha yang punya pengalaman buruk dengan undergraduates). Selain itu, Budapest cantik luar biasa, dan biaya hidup murah jadi nggak usah terlalu repot berhemat. Belum lagi, Hongaria adalah pintu menuju Eropa Tengah: cukup berkereta dan kamu bisa sampai ke Austria, Republik Cek, Slowakia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina… pokoknya negara-negara yang lebih eksotis buat kita daripada sekadar Belanda, Perancis, Jerman, dan Italia.

Gerai CEU di EHEF 2014.

Dua tahun di Eropa bukan waktu yang panjang, tapi kenangan tentangnya selalu membayang. Memang pengalaman tak melulu menyenangkan (masa-masa berjibaku menggarap tugas kuliah dan tesis selalu teringat seperti masa perang), tapi dua tahun itu rasanya masih kurang…

Komentar via Facebook | Facebook comments