Berdialog bukan berarti jadi sepakat, tapi berinteraksi untuk memahami pandangan yang berseberangan.
Ini masih terkait dengan kehebohan akhir pekan lalu. Beberapa Direct Message (DM) masuk ke akun Instagram saya, baik yang menggugat maupun mendukung pendapat saya.
DM saya perlakukan lebih baik ketimbang sekadar komentar publik di Instagram. Soalnya, pengirimnya meluangkan waktu dan tenaga lebih banyak daripada saat berkomentar biasa. Ini saya tafsirkan sebagai niat ekstra untuk berdialog, upaya mengklarifikasi hal-hal tanpa petantang-petenteng agar dilihat dan dilegitimasi publik. DM juga bisa lebih koheren karena dialog berlangsung runtut, tidak tenggelam ditelan sekian puluh atau ratusan komentar lain.
Ada satu dialog yang membuat hati saya hangat. Awalnya si pengirim mencerca saya, namun setelah berinteraksi lebih jauh tampaknya dia bisa lebih memahami cara pandang saya. Kami mungkin tetap tak sepakat dan memegang nilai masing-masing. Namun, aroma permusuhan menghilang karena dialog ini.
Mbak pengirim DM ini sudah setuju dialog kami ditayangkan di sini, tanpa menyebut nama akunnya.
Selamat membaca. Harap maklum kalau di beberapa bagian dialog saya terkesan baper. Soalnya, saya memang baperan. Tapi ngaku baper, nggak seperti… ehem… seperti beberapa orang lain. *kedip
Saya tunggu dialog lainnya. Saya ingin tahu apa pendapat Anda. Bacanya sampai habis, ya 🙂
Sayangnya, tak semua orang berniat berdialog. Biasanya saya cuek saja. Tapi, kalau lagi santai, saya tanggapi. Jadinya memang bukan dialog. Dia ngomong apa, saya ngomong apa. Nggak ketemu. Nggak ada indah-indahnya. Konyol saja jadinya. Berikut contohnya, yang kontras sekali ketimbang dialog via DM pada gambar-gambar di atas.
Komentar macam begitu ditaruh di publik. Adab Islaminya ke mana? Mungkin sudah dilempar ke laut. Karena komentar publik, sebetulnya saya tak perlu menghapus nama akun Instagramnya. Tapi, saya punya madzhab screenshot yang berbeda dengan Ridwan Kamil. #eaaaa
Ajeng Puspita
Selepas membaca ini, saya spontan tersenyum. Memang benar judulnya. Dialog itu indah.
bunga
Terima kasih sudah mampir dan ikut senyum. Adem kan dunia jadinya 🙂
Gita
Mbak..aku pernah komen mau mnta tolong informasi dan share pengalaman nikah beda agama, aku muslim dan calon suami katolik, tp sepertinya itu komen menghilang dan tak terbalas oleh mbak..sedih, tp apakah disini aku bs dapat secercah harapan dgn ngarep mbak bs balas komenku?makasih sanget yo mbak sebelumnya..
bunga
Halo Gita, saya sudah kirim email ya 🙂
awanwarna
Yakin dua-duanya pemimpin dlm berumah tangga? Atau jgn2 suami anda diam2 mengalah?
Karna rata2 orang yg menuntut pasangannya(istri atau suami) agar dia dianggap setara/pemimpin akan berakhir buruk
bunga
Yakin. Kesepakatannya sudah demikian dengan suami, 5 tahun sebelum kami menikah. Sejak awal saya bilang tidak mencari imam, tetapi mitra sejajar dalam hidup. Apakah Anda punya statistik yang mendukung pernyataan “rata2 orang yg menuntut pasangannya(istri atau suami) agar dia dianggap setara/pemimpin akan berakhir buruk”? Kalau ada, tolong dishare ya supaya saya dapat tambahan ilmu. Bagaimanapun, saya harap kami tidak akan bernasib demikian 🙂