Bertemu kawan lama, berkeluh-kesah-desah tentang museum, dan terkagum-kagum Neng Angelina Jolie.

Sudah berbulan-bulan aku nggak ketemu teman-teman kuliahku. Beberapa kawan dari Jogja memang bersama-sama menceburkan diri di rimba raya Jakarta. Pipit di K**** O**, portal baru itu (sebelumnya nyaris dua tahun di O******). Dian di T**** TV, televisi pengisap darah muda itu hihihi. Bimi jadi jurnalis B***** I********. Andrea reporter M**** TV. Furi sekarang editor E*****, anak perusahaan juragan buku pelajaran E*******. Muhtar masih setia jadi kutu loncat di beberapa perusahaan iklan.

Hubungan kami sebenarnya nggak akrab-akrab banget. Tapi ternyata rasa kangen untuk kumpul-kumpul itu ada juga. Dan momentum kali ini: ketika aku mendengar kepindahan Pipit dari kawanku. Beberapa malam lalu, aku telepon dia, konfirmasi kabar, hehe. Ternyata benar… Dan dia malah ngajak ketemuan. Dia atur sana-sini, SMS teman-teman, dan hasilnya: kami sepakat untuk bertemu hari Minggu lalu, jam 9-an (yak, pake akhiran -an, tahu kan maksudnya? ;), di Taman Fatahillah, Kota.

Sekitar pukul 9.30, aku sudah sampai di Halte Transjakarta di Kota. Hmm. Udara panas banget, matahari ngumbar kekuatannya tanpa terhalang awan, duh. Belum ada yang datang. Pipit, Muhtar, dan Furi “on the way”. Bimi nggak bisa dateng karena harus nganterin pacarnya terus langsung kerja. Dian ke Cirebon. Andrea nggak ada kabar.

Ya sudahlah. Aku jalan ke arah Taman Fatahillah. Melewati dua pasangan yang sibuk foto pra-pernikahan (hehe pasaran ya, sekarang banyak banget yang foto pra-pernikahan di daerah Kota). Bwih, di depan Museum Sejarah (d/h Museum Fatahillah) ada ramai-ramai di sana. Ternyata ada panggung dangdutan “Mega Bikers Club”. Wah, curi start kampanye nih kayaknya…

***

Mataku menyapu sekeliling, enaknya neduh di mana ya… Ah, ada Museum Wayang. Aku pernah ke sana jaman SMP dulu, diajak Ua Ani, kakaknya ibuku. Oke, kupikir, mungkin sekarang saat yang tepat untuk mendatanginya lagi. Aku masuk ke bangunan tiga lantai itu. Seorang pria paruh baya duduk di balik meja di dekat pintu masuk. Ia menyodorkan karcis museum, Rp 2.000 saja, lalu mempersilakanku mengisi buku tamu. Lucunya, ada kolom “impressions” di buku tamu itu. Lha, baru masuk kok udah ditanya gimana kesannya? Halah.

Di depan meja itu, ada prasasti berbahasa Belanda. Aku tanya seorang lelaki yang kayaknya sih pegawai museum, “Ini prasasti apa?” Dia tergagap-gagap menjawab, “Bangunan ini dulu Gereja. Tulisan itu tentang itu.” Lalu dia menunjuk sepotong marmer yang ada di seberang ruangan, “Itu terjemahannya.” Dengan sekali pandang, meski aku nggak ngerti bahasa Belanda, aku tahu kata-kata di marmer itu bukan terjemahan prasasti yang kutanyakan, hahaha. Aku tanya lagi, iseng aja, “Museum ini ada guide-nya nggak?” Seperti yang sudah kuperkirakan, jawabnya tentu saja TIDAK.

Huhu. Dia cuma ngasih tau, “Mulainya dari sana, Mbak,” sambil nunjuk ke tangga. Kayu tangga itu berderit saat kunaiki. Di lantai dua, ada kotak kaca berisi wayang revolusi, konon dari Museum Wayang di Belanda. Di sekeliling kotak kaca itu, ada beberapa peti kayu, besar-besar, yang digembok. Dugaanku, kotak penyimpanan wayang (tapi ya nggak menutup kemungkinan, itu adalah peti tempat…… [isi sendiri titik-titiknya!]).

Bergerak ke arah kanan tangga, lewat sebuah pintu, tiba di suatu ruangan yang disesaki kotak kaca tempat macam-macam wayang. Semuanya dengan keterangan seadanya. Nggak jauh-jauh dari, “Wayang kulit Yogya, tahun XXXX, Bima,” atau “Wayang Purwa Suriname,” atau “Wayang Golek Cirebon.” Bikin agak stress, karena otakku terus-terusan protes, “Terus kenapa??? Apa konteksnya? Apa ceritanya? Apa istimewanya? Apa bedanya?” Aku bukan penggemar wayang sih, tapi kan udah dateng ke situ gitu, masa’ nggak dapet tambahan ilmu. Oh ya, di ruang itu juga ada seperangkat gamelan yang tertutup kain berdebu. Sayang deh.

Di ruang berikut, kotak-kotak kaca miskin info itu masih dominan. Tapi ada panggung mini tempat pertunjukan wayang rutin dilakukan, tiap minggu kedua, ketiga, dan terakhir setiap bulannya, jam 10.00 – 14.00 (kata brosurnya sih gitu). Siang itu kebetulan giliran wayang Cirebon yang dipentaskan. Sayang tempat duduknya minimalis – nggak lebih dari 15 kursi lipat, yang sudah dipenuhi pengunjung.

Tiba-tiba ponselku bunyi: telepon dari Furi. Dia sudah di depan Museum. Aku langsung turun. Belum ada tanda-tanda keberadaan Pipit dan Muhtar. Furi pengen liat-liat Museum Wayang juga. Aku buntuti dia, masuk lagi deh. Putaran kedua: masih sibuk mengeluh ini dan itu, hahaha. Lewat panggung wayang itu, ada pajangan beberapa boneka dari negara lain. Perancis, India, Inggris. Tetap tanpa keterangan yang memadai (padahal Punch & Judy yang terkenal dengan kritik-kritiknya yang sadis itu, menurutku cerita menarik lho).

Turun tangga, Furi ke toilet sebentar (lumayan bersih, tapi banyak nyamuknya hehehe). Di seberang tangga, ada sederet boneka Unyil, cuma dilabeli namanya doang. Duh, anak sekarang mana tahu dan mana peduli sama Unyil, Meilani, Usro, Pak Raden, Mbok Bariah dkk itu?

Menuju ke pintu depan, kami melewati koridor yang di kanan-kirinya penuh dengan tulisan berbahasa Belanda (lagi) tanpa keterangan apapun (seperti biasa). Di koridor berikutnya, ada beberapa wayang beber yang dibingkai. Oke, sudah, sudah, hentikan harapan akan adanya penjelasan yang memadai, ihiks.

***

Kelar melihat-lihat wayang tanpa banyak cerita, kami memutuskan untuk menunggu Pipit dan Muhtar di Museum Bank Indonesia nan adem ber-AC. Kebalikan dari Museum Wayang tadi, museum gratisan yang juga sudah pernah aku kunjungi ini ingin bercerita terlalu banyak, hahaha.

Selepas menitipkan tas, pengunjung langsung disambut sederetan panel penuh tulisan yang menjelaskan asal-usul Bank Indonesia. Berikutnya, lorong play motion a.k.a. tangkap-koin-dengan-bayanganmu yang jadi atraksi utama museum ini. Sayangnya, di ruang orientasi tidak ada film (biasanya ya seputar perbankan) yang diputar. Mungkin karena bukan rombongan? Ataukah ada jam-jam tertentu? Hmm, misterius (dan males nanya).

Dari ruang orientasi, kami langsung dihadapkan pada tiruan dermaga Sunda Kelapa di abad ke-17. Lumayan bagus, mengingatkan pada museum-museum di negara maju hehehe. Di sebelah kanan, ada peta kuno dalam bentuk relief yang besarnya sak-hohah kalau orang Jogja bilang =)

Berikutnya, lagi-lagi panel-panel dan komputer layar sentuh yang penuuuuh dengan cerita dan tulisan, halah-halah. Temanya ya jelas nggak jauh-jauh dari sejarah uang, perbankan, dan bangunan museum ini sendiri. Isu yang penting sih, tapi sayangnya bikin bosen.

Kami berjalan ke arah ruang numismatik. Sebelum masuk ke ruang itu, ada sesuatu yang disiapkan museum untuk penggila photo-op (photo opportunity) alias banci foto. Yak, ada “uang” kertas besar yang bagian wajahnya dibolongi – tentu saja, itu tempat untuk menongolkan wajahmu, hihihi. Gambar aslinya sih Kartini, dan nominalnya cuma sepuluh ribu (apa??? jadi wajah kita cuma dinilai sepuluh ribu perak???).

Adalah pintu brankas yang dijadikan pintu masuk ruang numismatik itu. Menarik sih, soalnya besar, terlihat kokoh banget (ya iyalah, kan fungsinya untuk melindungi uang triliunan gituuu), dan kata Mbak guide di ruang itu, beratnya puluhan ton.

Di ruangan ini, ada beberapa display kaca berisi bermacam-macam uang yang digunakan di Indonesia. Lengkap dengan keterangannya, hehe, bikin sumringah lah. Ada kaca pembesar juga, jadi bisa lihat detail uang-uang itu.

Kemudian, akhirnya Pipit dan Muhtar sampai juga di museum ini. Kami ke arah pintu masuk, dan mereka tentu nggak mau melewatkan kesempatan mengunjungi museum ini, jadi…. yak, aku dan Furi ngikut muter-muter lagi. Bedanya, kali ini, ada Muhtar yang semangat banget pengen motret – bukan dipotret lho. Jadi dia sering maksa kami (aku-Furi-Pipit) untuk foto di sana-sini, ehehe. Lalu, pas sampai di ruang numismatik, si Mbak pemandu gatel pengen nerangin meski kami nggak minta (salut deh sama semangatnya). Sip lah, dapet tambahan ilmu.

***

Keluar dari Museum Bank Indonesia, sudah jam 12. Matahari pas banget di ubun-ubun. Agak menyesal kenapa lupa bawa topi. Tapi nggak apa, sekarang yang penting: makan! Kami jalan ke Taman Fatahillah, menghampiri gerobak-gerobak di dekat Museum Wayang.

Sambil makan, kami cerita-cerita, lama nggak ketemu, banyak kisah tentu. Furi sudah mulai mencicil rusunami di Kelapa Gading. Lama cicilannya, 15 tahun. “Orang yang punya beban cicilan katanya lebih panjang umur, jadi mending nyicil daripada punya asuransi,” selorohnya. Hmmm, benar juga ya.

Pipit banyak cerita soal kepindahan kerjanya (hehe akunya yang banyak nanya sih). Kenyamanan di tempat lama versus beberapa ketidakpuasan, ajakan dari atasan, negosiasi gaji, dan nostalgia Jogja. Banyak atasan barunya yang lulusan Jogja, jadi mereka sering bernostalgila bersama tentang Jogja (duh, kangen).

Muhtar, teman kami yang unik tiada duanya, baru saja menang dua lomba desain. Kontan kami mendesaknya untuk traktir, hahaha. Tapi ya bukan yang di kaki lima. Yang mahalan dikit lah ya… XD

Selesai makan, Muhtar jalan-jalan sendiri ke Museum Wayang, sementara aku Furi Pipit istirahat nurunin makan. Lalu kami bersama-sama ke tujuan berikutnya: Museum Sejarah Jakarta.

Lumayan ramai di dalam situ. Maklum hari Minggu, banyak juga keluarga yang berkunjung. Karcisnya Rp 2.000, sama dengan Museum Wayang.

Di lantai dasar, diterangkan kisah Jakarta dari masa pra-sejarah. Ada beberapa prasasti – sepertinya sih replika saja – yang dipamerkan di sana. Lalu kami naik ke lantai dua, yang kami kitari sambil mengeluh: ini sih showroom furniture, bukan museum!

Pasalnya, memang isi lantai dua bangunan cantik itu cuma mebel tua, tanpa cerita yang memadai. “Kursi panjang dari abad ke-18, digunakan untuk beristirahat.” Ya iyalah, masa untuk main pingpong? “Meja tulis bercat merah dan kuning dari abad ke-19.” Oke, kami bisa lihat catnya warna merah dan kuning tanpa kamu beri tahu, tapi siapa yang pakai meja ini dulu? Di mana ia digunakan? Kenapa ia penting sehingga harus dimuseumkan? “Lemari arsip.” Lemari sebesar itu, gimana ngangkutnya ke atas? Ia dipakai jaman gubernur siapa saja? Arsip-arsipnya sekarang ke mana?

Ada beberapa benda pecah-belah yang juga mejeng di situ. Salah satu isi labelnya nggak kalah konyol. “Piring keramik biru, bergambar 5 ikan, 1 di tengah, 4 di pinggir.” Rasanya seperti pelajaran berhitung: ada 5 ikan, kalau 1 di tengah, di pinggir ada berapa, anak-anak??? Empaaaaat….

Kami turun ke halaman tengah yang diteduhi beberapa pohon. Beberapa sel penjara kuno kami tengok. Di dalamnya ada bulatan-bulatan, sepertinya dari logam, yang membuatku bertanya-tanya (lagi). Apakah itu besi pemberat tahanan? Atau isi meriam?

Daripada pingsan gara-gara pertanyaan yang kebanyakan, kami foto-foto sajalah. Lalu saatnya berkunjung ke satu museum lagi yang dekat dari situ.

***

Museum Seni Rupa dan Keramik. Hooo, ini toh museum yang dipakai Miranda Goeltom untuk menikahkan anaknya. Peristiwa yang bikin dia dimaki-maki pecinta sejarah dan Kota Tua, hahaha.

Fasad depan museum ini megah. Sekilas mengingatkan pada Parthenon di Athena (duh, semoga satu hari nanti bisa ke sana!). Ada delapan kolom masif gaya Dorik Yunani di sana. Jumlahnya genap, sesuai pakem, nggak kayak di gedung Mahkamah Konstitusi.

Lewat kolom-kolom besar itu, ada meja tempat beli karcis. Rp 2.000 lagi. Si pegawai menjual juga peta Kota Tua, kartu pos, dan gelang-gelang (hmm, yang terakhir ini agak nggak nyambung deh).

Ruang pertama yang kami masuki adalah… ruangan kosong. Di pojoknya ada komputer “Enjoy Jakarta” yang, yah, pas-pasan lah informasinya. Beranjak ke kamar berikutnya, ada tangga besi melingkar yang cantik sekali. Kami menaiki tangga hitam yang ternyata sedikit goyang jadi ngeri juga. Di atas ada semacam loteng, berlantai kayu agak reot. Beberapa lemari kaca memamerkan keramik, dengan label-label yang, yah, tak jauh beda dengan di Museum Sejarah lah.

Kami turun dengan tangga yang sama, dan melangkah ke ruang-ruang pamer di sebelahnya, yang agak suram dan muram. Beberapa lukisan digantung, diurutkan berdasar pembabakan historis dunia seni lukis Indonesia. Nyaris semuanya tanpa bingkai dan kaca, jadi sayang juga melihat karya-karya itu terlapis debu.

Setelah beberapa ruang pamer, kami melewati toilet yang konon direnovasi Miranda khusus demi perhelatannya itu. Lalu, ruang-ruang pamer lagi. Dan satu lagi ruang bertangga putar menuju satu lagi ruang pameran keramik tanpa konteks.

Kami lalu mampir istirahat sebentar di semacam ballroom yang lega, tempat pesta si Miranda, kami duga. Tiga lampu kristal, chandelier, bergayut di langit-langit. Sekarung beras teronggok begitu saja di dekat salah satu pintu.

Itu sudah. Beranjaklah kami. Cukup dulu ya, empat museum saja hari ini.

***

Hari masih muda, belum saatnya kami bilang “sampai jumpa”. Rencana awal, mau mampir ke Bakoel Koffie. Setelah dipikir, kayaknya sayang deh mengeluarkan sekian puluh ribu untuk secangkir kopi, hihihi pelit sekali. Jadi, sepertinya es duren di depan Pasar Cikini lebih menarik hati. Transjakarta disambung Kopaja. Tapi ternyata, warung es duren yang dicita-cita malah tutup, apa daya.

Menyeruput sebotol teh berpengawet dengan cepat, berdiskusi ke mana kami akan mengalihkan tujuan. Pesan-pesan singkat meluncur ke server 21. Membandingkan jadwal, mempertimbangkan lokasi, akhirnya kami sepakat: menonton film Wanted di Djakarta Theatre. Berempat berdesakan seperti sarden di bajaj biru nan ramah lingkungan.

Sampai di bioskop, beli tiket. Turun dua lantai, tempat Muhtar (setelah sangaaaat dipaksa) akan mentraktir kami sebagai syukuran menangnya dia di dua lomba desain. Mmm hmmm, produk raja roti daging itu memang lezat, apalagi tanpa harus merogoh kocek sendiri, hahaha, pelitnya keluar lagi deh!

Saatnya tiba untuk masuk ruang tonton. Di dalamnya aku terbawa alur film yang begitu cepat, mengasyikkan, memabukkan. Ceritanya mungkin agak hiperbolis (yah, namanya juga adaptasi dari komik), tapi Angelina Jolie betul-betul seksi! Hihihi. Kapan-kapan aku tulis lebih detail deh, kalau sempat…

Komentar via Facebook | Facebook comments