Rumah hook di Jalan Cipaganti 109, Bandung, adalah jangkar hidup ibuku, Reni Anggraeni, selama lebih dari dua dekade.
“Ibu nggak tahu persis kapan mulai tinggal di Cipaganti. Ingatan pertama Ibu waktu TK, dan itu sudah tinggal di sana,” ujarnya saat kami mengobrol pada 2 Januari 2022.Reni lahir di Bandung pada 1957 dari pasangan Kartiwi dan Ino Supena. Sebagai anak ketiga dari 10 bersaudara, sejak kecil ia tinggal di rumah bibinya, Apipah. Apipah, akrab disapa Nini Apip oleh generasi saya, adalah sulung dari 9 anak pasangan Ocin Karnesih dan Masdan Nataatmaja, sedangkan Kartiwi si bungsu.
Praktik menitipkan anak di luar rumah keluarga inti bukan hal asing pada masa itu. Apalagi, banyak keluarga punya anak lebih dari lima akibat sulitnya akses ke alat kontrasepsi (maupun, barangkali, sulitnya akses ke sarana rekreasi yang terjangkau).
Saya bertanya ke kakak kedua Ibu, Ani Sukarni, soal kapan persisnya Reni mulai tinggal di Cipaganti. Menurut Ani, Reni saat bayi masih tinggal dengan kakak-kakak dan orang tuanya. Mereka sempat tinggal bersama di Tasikmalaya, lalu pindah kembali ke Bandung. Sekitar umur empat tahun, pada 1961, Reni mulai tinggal di Cipaganti.
Tahun-tahun berikutnya, empat adik lelaki kemudian menyusul tinggal di Cipaganti: anak keempat, Iwan Irawan, yang beda umurnya tak sampai setahun dengan Reni; anak keenam, Rachmat Karmana; anak kedelapan, Iim Ibrahim; dan anak kesepuluh, Didin Komarudin. (Nyaris semua nama kakak-beradik ini berpola berulang khas Sunda.) Iwan yang jarak umurnya paling dekat dengan Reni, adalah musuh bebuyutan saat kecil; sedangkan Iim jadi adik yang secara emosional paling dekat dengan Reni.
***
Sekolah pertama Reni adalah TK Perwari di Jalan Sederhana, tak jauh dari rumah di Cipaganti. Seingatnya, ia pergi dan pulang sendiri ke TK, tanpa diantar. Sekitar setahun ia bersekolah di sana.
Jenjang pendidikan berikutnya ditempuh di SD Sejahtera, juga dekat rumah. Dua tahun pertama, sekitar separuh anak ke sekolah memakai sandal jepit. Perekonomian memang lesu pada dekade 1960-an. Apalagi kemudian ada peristiwa 1965.
“Setelah September 1965, Nin Apip membuka dapur umum untuk orang yang susah makan, juga mahasiswa demonstran. Banyak korban mahasiswa di RS Hasan Sadikin, yang dulu namanya RS Ranca Badak. Beberapa kali aku mengantar makanan dan susu ke rumah sakit, dibonceng salah satu aktivis Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), Masriadi, mahasiswa FK Unpad,” ucap Reni mengenang masa itu. Masriadi kemudian menjadi Bupati Tanah Datar, dan wafat pada Maret 2021.
Pada awal Orde Baru, anak-anak sekolah mengalami latihan berlabel “bahaya udara”. Kalau ada suara kencang sirine plus helikopter melintas di atas SD, semua anak harus keluar kelas lalu bersembunyi di balik semak-semak. “Semak yang ada di SD cuma semacam daun teh-tehan, jadi sebetulnya tetap kelihatan,” kata Reni.
Sewaktu bersekolah di SMPN 15 di Jalan Setiabudi, Reni sering harus memilih antara jajan atau naik angkot. Pasalnya, uang sakunya tak banyak. Kalau ingin jajan di sekolah, berarti perginya harus jalan kaki. Kalau pergi sekolah pakai angkot, berarti tak bisa jajan ketika jam istirahat.
Masa SMP ditandai juga dengan kenangan khusus soal karung beras. Tiap bulan, Reni dan Iwan harus mengambil karung beras seberat 50 kg dari rumah Ino dan Kartiwi di Gegerkalong. Di peta, jarak Cipaganti ke Gegerkalong cuma sekitar 4 km. Tapi untuk anak usia 15 dan 14 tahun, itu bukan jarak yang pendek.
“Dari Gegerkalong ke Setiabudi harus jalan kaki sekitar 2 km sambil gantian bawa karung beras. Di Setiabudi naik angkot, lalu turun di depan RS Advent Cihampelas. Kadang Iwan jahil, dia lari pas turun angkot di Cihampelas, jadi aku yang harus bawa karungnya sendiri ke rumah,” kata Reni.
Kemudian, Reni masuk SMAN 2 di Cihampelas, satu sekolah dengan kakak sulungnya, Yanti Damayanti, juga adik ketiganya, Iwan. Menurutnya, itu masa menyenangkan karena bisa pesta di rumah maupun rumah teman. Banyak temannya juga sering berkumpul di Cipaganti. “Nini Apip nggak pernah melarang. Pergi ya pergi aja,” ucapnya.
Saat SMA, Reni banyak main dan bolos. Mabal ini tak cuma di Bandung, tapi bisa sampai ke Jogja dan yang bolos sekelas! Kebetulan salah satu teman sekelasnya, Sheila, adalah anak Direktur Kimia Farma. Sheila mentraktir teman sekelasnya, sekitar 25 orang, untuk berlibur seminggu ke Jogja. “Begitu masuk sekolah lagi, wali kelasnya juga nggak nanya-naya. Jaman itu bisa begitu,” katanya.
Berkat hitung kancing untuk memilih fakultas menjelang masuk kuliah, Reni masuk ke Fakultas Publisistik (sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi) Unpad. Di sana ia bertemu dengan kakak kelasnya, Rizal Malik, yang kemudian menjadi pacar dan keterusan jadi suami.
“Pacaran kami waktu itu on and off. Aku aktif di Menwa (Resimen Mahasiswa), Ayah berpolitik di Senat. Ada beberapa teman dekat di Menwa, tapi akhirnya aku memilih aktivis senat yang cerdas dan baik hati,” tutur Reni.
Ia lantas lulus kuliah pada Desember 1981. Diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Sekretariat Negara membuat Reni meninggalkan Cipaganti. Setelah dua dekade, hidupnya pindah ke Jakarta.
***
Tumbuh bersama Apipah yang melajang semasa hidupnya ternyata memberi dampak positif bagi Reni. Ia tidak hidup bersama ayahnya, tipikal lelaki tentara pada masa itu yang jadi penguasa rumah dan kerap memberikan hukuman fisik bagi anak-anaknya. “Menyenangkan juga hidup tanpa laki-laki yang memerintah dan melarang ini-itu. Nini Apip memberi kebebasan berpikir lebih progresif,” kata Reni.
Apipah aktif di beragam organisasi sosial dan politik, mulai dari Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), Badan Koordinasi Organisasi Wanita Indonesia, sampai Partai Sosialis Indonesia (PSI, tapi bukan PSI yang itu). Ia sering menjadi pemateri acara-acara penguatan perempuan, termasuk di onderbouw PSI, Gerakan Wanita Sosialis. Ia lantas menjadi anggota DPRD Tasikmalaya, lalu anggota DPR RI pada 1973-1978.
Rumah di Cipaganti pun jadi semacam rumah singgah bagi banyak orang. “Banyak orang datang dan pergi, menumpang hidup di Cipaganti. Entah mereka bayar atau nggak, yang pasti mereka ikut makan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, penghasilan Nini Apip tambal sulam dari aktivitas politik atau temannya, juga punya toko kerajinan,” tutur Reni.
Beragam orang yang lalu-lalang di Cipaganti berpengaruh juga pada kehidupan Reni dan adik-adiknya. Dua yang diingatnya betul adalah Elis dan Kunkun.
“Waktu aku masih SD, sekamar sama Ceu Elis, anak teman Nini Apip di PSI. Dia mahasiswi Pendidikan Olahraga IKIP. Dia mengajarkan cara membersihkan kamar, juga menjaga kebersihan diri seperti rajin menyikat kuku kaki dan tangan. Ceu Elis tinggal di Cipaganti lumayan lama, sekitar lima tahun,” ujar Reni.
Saat Reni SMA, ada mahasiswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) bernama Djoni Trizana Sudarma, akrab dipanggil Kunkun, yang tinggal di Cipaganti. Dia jadi sosok kakak laki-laki untuk Reni dan adik-adiknya.
“Kalau bulan puasa telat sahur, dia nutup gorden seolah di luar masih waktu sahur. Sering dia nyeleneh juga, kayak pertama kali tahu majalah porno dari dia juga,” kata Reni sembari tertawa. “Itu terjadi saat Nini Apip jadi anggota DPR di Jakarta.”
Ada begitu banyak kenangan dalam dua dekade Reni tinggal di Cipaganti. Namun, beberapa foto Cipaganti yang kami temukan justru diambil selepas ia tak lagi tinggal di sana: menjelang pernikahannya dengan Rizal Malik tahun 1982, aqiqah saya ketika bayi, dan saat Ibu dan saya yang masih bayi mampir ke Cipaganti sekitar tahun 1985.
Foto-foto hitam putih disalin dari Facebook Didin Komarudin. Foto-foto berwarna dipindai oleh Rizal Malik.
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari serial Cerita Reni dan Cerita Rizal.
Leave a Reply