Yak. Ini hari pertama saya di Koran Tempo. Semestinya sih Senin pekan lalu, tapi ceritanya agak panjang, mungkin bisa dicontek dari entry yang ini di blognya Vennie 🙂
Nah. Saya awali hari dengan kurang sip : saya bangun kesiangan. Rencana bangun jam 5, jadinya jam 7. Padahal tadinya mau berangkat jam 8.30 biar jam 9 pas udah sampai kantor Velbak. Tapi anehnya, tadi pagi saya nggak panik lalu terburu-buru (seperti lazimnya saat-saat saya terlambat bangun).
Agak malas-malasan saya masuk kamar mandi. Eh, lupa nggak bawa handuk, jadi saya keluar lagi hehehe. Sebelum mandi, cucian saya rendam dulu. Lalu mengumpulkan nyawa sambil nangkring di kloset. Barulah kemudian saya gebyar-gebyur meski nggak dekat sumur. Kelar mandi dan nyuci, beberes kamar sebentar dan mengeringkan rambut.
Menyambar margarin dan dua telur yang lebih dari sebulan ngendon di kulkas, saya melenggang ke dapur di lantai dua. Kocok telur sebentar, panaskan margarin, lalu telur pun digoreng sekenanya — yah, pokoknya sampai kuning cantik gitu deh. Saya turun ke ruang makan, membakar roti di toaster, mengoleskan mayones plus saus sambal dan tomat, dan jadilah roti lapis isi telur, yang lebih lama bikinnya daripada makannya, hahaha.
Jam digital uzur saya – umurnya sudah 10 tahun – menunjukkan jam 9.03 saat saya melangkah dari pintu kos. Ups. Jalan sebentar, berojek sampai Blok M, disambung ber-metro mini 69 sampai depan kantor (bis oranye ini sempat kena tilang dulu di perempatan Blok M Plaza). Di kantor, jam absen menyatakan saya datang jam 9.33, telat sejam dari rencana awal… Halah.
Dua rekan saya yang juga baru dipindah ke koran sudah sibuk di ruang pojok lantai dua. Yang satu ditugaskan di desk Metro, Jakarta Barat tepatnya. Satu lagi di ekbis, tapi “dipinjam” desk nasional untuk meliput seminar tentang HIV.
Saya dan Vennie ditempatkan di kompartemen ekbis, tapi belum jelas di mana posnya. Sekitar jam 10, redaktur kami yang baik hati memerintahkan, “Tolong liput konferensi pers di restoran Bebek Bali, Taman Ria Senayan.” Berdua, Mas? “Iya, berdua, kan kalian masih baru ini,” jawabnya sambil tersenyum.
Maka kami pun mulai bergumul dengan panas, keringat, dan debu jalanan. Metro mini 69 kami naiki lagi, disambung Patas P 45 warna kuning (konon beda banget jalurnya dengan yang warna merah). Lalu, liputan. Mendengarkan orang bicara. Mencatat dan mencerna. Mencoba mereka-reka, berita apa yang bisa ditulis darinya.
Sebelum acara usai, Vennie mendapat telepon dari redaktur yang lain, menyuruhnya pergi ke Bursa Efek Indonesia. Meninggalkan saya sendiri. Sebenarnya nggak masalah. Tapi ada satu jurnalis yang sepertinya lebih asyik bertanya-tanya pada saya dibanding narasumber yang ada di depan ruangan… >_<
Parahnya lagi, setelah capek-capek mengetik, ponsel saya (lungsuran sih, tapi seharusnya kan cukup canggih) tidak bisa mengakses situs web yang biasa dipakai untuk mengunggah (upload) berita.
Walhasil, saya harus ke kantor. Pilihannya: Velbak atau Proklamasi? Saya memutuskan: Proklamasi. Ya ampun, baru hari pertama di koran, sudah kangen majalah? Hmm, iya juga sih, tapi saya punya alasan lain yang lebih pragmatis: saya perlu tanda tangan atasan “lama” di lembar klaim transportasi, hahaha.
Leave a Reply