“Klo perbedaan adalah rahmat, trus kenapa anda ingin di samakan dengan laki-laki ?”

Kalimat tersebut adalah salah satu komentar yang menggugat konsep kesetaraan gender dalam posting saya di lapak ini.

Hati saya agak mencelos saat menyadari betapa banyak orang tak memahami arti kata setara, apalagi konsep kesetaraan gender. (Kalau soal ejaan dalam komentar yang kacau balau, saya ikhlaskan dulu :D)

Setara itu bukan berarti sama. Berikut definisi kedua kata tersebut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

setara/se·ta·ra/ n 1 sejajar (sama tingginya dan sebagainya): kedua kakak beradik itu duduk ~; 2 sama tingkatnya (kedudukannya dan sebagainya); sebanding: pilihlah istri yang ~ denganmu; 3 sepadan; seimbang: tenaga yang dipergunakan harus ~ dengan hasilnya;

sama 1/sa·ma /a 1 serupa (halnya, keadaannya, dan sebagainya), tidak berbeda; tidak berlainan: pada umumnya, mata pencaharian penduduk desa itu — saja; kedua soal itu — sulitnya;

Memperjuangkan kesetaraan gender bukan berarti menuntut perempuan untuk menjadi sama dengan lelaki, tetapi mendukung perempuan dan lelaki agar mendapat kesempatan untuk ada dalam posisi yang sejajar. Mendobrak konstruksi sosial bahwa lelaki “dari sananya diberi kelebihan sehingga hanya dia yang layak jadi pemimpin”. Ini memberi laki-laki stigma dan beban juga. Harus selalu memimpin, nggak boleh nangis, harus maskulin, harus melindungi perempuan.

Ini abad ke-21. Perempuan dan lelaki bisa sama-sama jadi pemimpin, bisa berbagi pendapat dan beban, bisa berada dalam spektrum femininitas-maskulinitas, harus pula bisa saling melindungi.

Feminisme adalah upaya untuk mengubah ketidaksetaraan gender menjadi kesetaraan gender. Bukan usaha agar perempuan jadi sama dengan lelaki, bukan taktik supaya perempuan tercerabut dari agama, bukan menuntut laki-laki jadi bawahan perempuan. Bukan pula ajaran “Barat” karena spiritnya selaras dengan banyak ajaran dan agama yang mengedepankan keadilan, termasuk Islam.

Yang sering dijadikan dasar menggugat feminisme adalah pemahaman keliru tentang kodrat — bahwa feminisme membuat perempuan lupa akan kodratnya. Lho, kodrat itu apa? Sifat asli atau bawaan, yang tidak bisa diubah karena memang tercipta demikian. Betul, perempuan dan lelaki punya kodratnya masing-masing, yang tidak bisa dipertukarkan. Misal, hanya perempuan yang bisa terlahir dengan organ tubuh vagina dan rahim, serta cuma perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Hanya laki-laki yang bisa terlahir dengan penis dan zakar, serta memiliki sperma yang bisa membuahi sel telur. Kalaupun perempuan dan lelaki mau operasi kelamin, hingga kini masih belum mungkin bertukar fungsi biologis 100% (jadi saya mau operasi agar punya organ seksual seperti penis pun, akan tak mungkin badan saya memproduksi sperma dan air mani layaknya lelaki). Kalau soal bekerja, mengurus anak, menyetir, memimpin, dan dipimpin, semua hal tersebut bukanlah kodrat karena dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.

“saya bingung sama wanita yang minta kesetaraan, bukannya kalian itu selalu mendapatkan keistimewaan lebih, kalo ada dua beban juga pasti laki laki yang lebih berat wanita yang lebih ringan”

Nah, kalau soal berbagi beban, saya rasa ini masalah kemanusiaan, bukan mengistimewakan salah satu gender. Kalau Anda punya fisik yang kuat dan melihat orang lain yang badannya lebih lemah, apa salahnya membantu? Kalau Anda dikaruniai otak yang cemerlang, apa salahnya membantu mereka yang kemampuan kognitifnya lemah (kecuali pas ujian ya :D)? Perlu dicatat bahwa tidak semua lelaki lebih kuat fisik maupun otaknya daripada perempuan, sangat mungkin terjadi hal sebaliknya. Bisa saja Anda, perempuan muda yang berbadan sehat dan kuat, memutuskan memberi tempat duduk di KRL Commuter Line kepada lelaki paruh baya yang tampak sakit dan memerlukan istirahat.

“Udah gak perlu ribet kesetaraan gender gitu deh, perempuan jaman skrg udah pada hebat melampaui laki-laki. Terus ada yang protes/kekang? Gak ada. Malah diapresiasi. Mbaknya aja kurang gaul dan kurang update informasi makanya teriak2 kesetaraan gender sendiri disaat perempuan di luar sana udah pada melesat keluar angkasa haha”

Yakin? 🙂 Kondisi perempuan masa kini secara umum memang sudah jauh lebih baik ketimbang di era Kartini. Perempuan bisa membaca, sekolah, bekerja, dan berkarya. Betul, sejumlah perempuan bisa menggapai prestasi melampaui rekannya yang lelaki. Namun, ini masih lebih umum jadi pengecualian daripada hal yang lazim.

Kenyataannya, ada kesenjangan upah cukup mencolok untuk lelaki dan perempuan. Data Global Gender Gap Report 2015 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-92 untuk tingkat kesetaraan gender, dengan gaji rata-rata yang diperoleh pria per tahun sebesar US$ 14.000, namun perempuan hanya memperoleh sekitar $6.000 per tahun. Sebuah studi yang dilakukan Qerja menemukan ketimpangan gaji antara perempuan dan laki-laki pada sekitar 300.000 sampel dari Indonesia adalah 12,36 persen. Artinya, pekerja perempuan digaji hanya 87,64 persen dari rekan kerja laki-laki. Hanya pada sektor tekstil dan fashion, perempuan memperoleh rerata gaji lebih tinggi daripada kolega laki-lakinya.

Kesenjangan ini kemungkinan besar dipicu oleh aspek kultural nan patriarkhal, yang juga tercermin pada kebijakan publik dan korporat. Soal cuti melahirkan, misalnya, pemerintah hanya memberikan waktu 3 bulan pada perempuan, sedangkan lelaki hanya diberi 2 hari. Kebijakan ini juga berisiko mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk tidak mempekerjakan perempuan, lantaran cuti hamil berdampak terhadap penurunan produktivitas. Ini sangat kontras dibanding beberapa negara di Eropa, seperti Swedia dan Jerman, yang memberikan kesamaan hak dan durasi cuti melahirkan (dengan tetap digaji) bagi laki-laki dan perempuan. Kebijakan ini memberikan kesempatan yang setara bagi kedua orang tua untuk merawat anaknya.

Belum lagi, kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi di Indonesia. Survei BPS pada 9.000 responden menemukan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, terutama di perkotaan. Dalam pernikahan, kasus kekerasan diakui terjadi oleh 2 dari 11 perempuan yang menjadi responden. Bentuk kekerasan yang terjadi mulai dari tamparan, pukulan, dorongan, jambakan, tendangan, hingga benar-benar dihajar.

Jadi, pekerjaan rumah kita masih banyak sekali untuk lebih memberdayakan (bukan memperdaya) perempuan dan lelaki, serta mewujudkan kesetaraan gender.

Disclaimer:
Pemikiran dan perilaku saya tentu dipengaruhi cara saya dibesarkan, lingkungan pergaulan, dan bahan bacaan. Saya beruntung (meski untuk orang lain mungkin dibilang buntung, haha) dibesarkan oleh orang tua yang sangat terbuka dan setara. Ayah saya mendaku sebagai feminis (oh betul, lelaki pun bisa jadi feminis: orang yang berupaya mengubah ketidaksetaraan gender menjadi kesetaraan gender). Ibu saya pun dalam kesehariannya demikian.

Jika Anda dibesarkan dengan cara berbeda, bergaul dengan lingkungan lain, membaca hal yang lain dengan saya, wajar jika Anda berpendapat dan berperilaku berbeda. Tak apa. Saya di sini hanya ingin mengatakan: ada alternatifnya. Saya tidak pernah memaksa orang untuk menerima pendapat saya. Siapa saya sih, pejabat juga bukan 🙂

Tulisan ini adalah pengembangan dari posting Instagram saya yang lalu. Gambar disalin dari https://www.brandingmag.com/wp-content/uploads/2013/11/bechdel-film-rating-1.jpg. 

Komentar via Facebook | Facebook comments