(Sudah baca bagian pertama?)
Sebelum ke Pankstrasse, kami melongok ke dalam bunker Blochplatz yang dibangun pada masa perang dunia kedua dan direnovasi tahun 1980. Dibanding Pankstrasse, Blochplatz lebih kecil dan lebih lemah. Bisa menampung 1.318 orang, tapi hanya hingga 48 jam.
Blochplatz juga lebih gelap, pengap, dengan langit-langit rendah, tak cocok untuk pengidap klaustrofobia. Suara dan getaran kereta bawah tanah dari stasiun Gesundbrunnen pun terasa lebih jelas. Di Blochplatz, Andromachi berbagi kisah bagaimana perang dingin antara blok barat dan timur mempengaruhi kehidupan penduduk Berlin.
Selama lebih dari dua dekade, 16 stasiun bawah tanah di Berlin Timur dijuluki Geisterbahnhöfe alias stasiun hantu. Sebabnya, tiga jalur kereta yang ditumpangi penduduk Berlin Barat melintasi 16 stasiun itu, namun tidak diperbolehkan turun di sana. Tiap tahun, pemerintah Jerman Barat membayar 20 juta deutschemark kepada Kerman Timur untuk menggunakan ketiga jalur tersebut. Sedangkan penduduk sipil Berlin Timur sama sekali tak bisa mengakses jalur U-Bahn yang dibangun tahun 1902 itu.
Di Geisterbahnhöfe, cuma ada tentara Jerman Timur berjaga. Pagar berduri ditaruh di peron, menangkal orang Berlin Barat. Tapi penumpang Berlin Barat rupanya kerap sengaja melempar beragam barang dari jendela, mulai dari buah, koran, hingga buku.
Tur bunker yang saya ikuti hanya berkisah tentang Jerman Barat, sehingga untuk mengimbanginya, saya berkunjung ke DDR Museum. DDR alias Deutsche Demokratische Republik adalah nama resmi Jerman Timur. Di museum itu, memorabilia Jerman Timur bertebaran. 6 euro saya rogoh dari kantong untuk membayar tiket masuknya.
DDR Museum membanggakan diri sebagai museum interaktif, dan ternyata mereka tidak berbohong. Di sana, pengunjung tak hanya melihat benda kuno, tapi aktif membuka lemari, rak, pintu, peti, untuk memahami kehidupan di bawah pengaruh Uni Soviet. Pantas museum itu ramai sekali saat saya berkunjung.
(bersambung ke bagian ketiga..)
Leave a Reply