(Bagian pertama ada di sini, bagian kedua di sana, ya…)

DDR Museum membanggakan diri sebagai museum interaktif, dan ternyata mereka tidak berbohong. Di sana, pengunjung tak hanya melihat benda kuno, tapi aktif membuka lemari, rak, pintu, peti, untuk memahami kehidupan di bawah pengaruh Uni Soviet. Pantas museum itu ramai sekali saat saya berkunjung.

Konsep interaktif tersebut membuat turis pecicilan seperti saya pun bisa puas mencicip duduk di dalam mobil Trabant 601 atau lebih akrab disapa “Trabi”, mencoba berdansa Lipsi, juga menonton film propaganda Jerman Timur di bioskop mini yang menggunakan proyektor peninggalan masa perang dingin.

Trabi, pertama kali diproduksi tahun 1958, adalah mobil yang digagas untuk mengalahkan popularitas Volkswagen kodok di Jerman Barat. Dirancang sebagai mobil murah, Trabi menggunakan mesin dua tak yang meski menghasilkan asap knalpot tebal, tapi konsumsi bensinnya superirit, hanya 7 liter tiap 100 km. Masalahnya, tak ada pengukur bensin di dasbor, sehingga pengemudi hanya bisa menebak jumlah bensin dari pengukur kilometernya. Bodi Trabi terbuat dari plastik yang mengandung resin dan wol daur ulang, lumayan ramah lingkingan untuk masa itu. Selama diproduksi tahun 1957-1991, lebih dari 3 juta unit Trabi terjual. Mobil mungil andalan banyak keluarga tersebut kini menjadi salah satu simbol nostalgia untuk perindu jaman Jerman Timur.

Sedangkan Lipsi adalah dansa yang diciptakan pemerintah Jerman Timur tahun 1959 untuk mengimbangi Rock n Roll. Lipsi serupa dengan dansa ballroom lainnya, hanya temponya saja yang lebih cepat. Proyek Lipsi tergolong gagal karena anak muda Jerman Timur berpendapat dansa itu aneh dan tak sekeren Rock n Roll.

Di DDR Museum, pengunjung bisa pula mencoba baju-baju khas Jerman Timur, berakting jadi agen badan intelijen Stasi yang memata-matai warga, dan memahami bagaimana pemerintah Jerman Timur menanamkan nilai-nilai sosialisme sejak dini. Misalnya, sistem toilet kolektif di taman kanak-kanak, di mana sekelompok anak didudukkan di kloset pada saat bersamaan, lantas baru boleh pergi kalau semua anak dalam kelompok itu selesai buang air.

Tentu saja museum ini tidak lepas dari bias “Barat”. Bermacam gambaran negatif tentang rezim sosialis Jerman Timur terpapar. Bagaimanapun, sejarah adalah milik pemenang. Saya berandai-andai, kalau komunisme dan sosialisme yang menang dan mengakhiri perang dingin, mungkin museum ini tak bakal ada. Sebaliknya, malah siapa tahu, akan ada museum tentang Jerman Barat.

Meski berkisah tentang Jerman Timur, DDR Museum didirikan oleh etnolog asal Freiburg, Jerman Barat, Peter Kenzelmann. Tahun 2003 ia berkunjung ke Berlin dan kecewa karena tak ada museum tentang Jerman Timur. Ia kemudian memutuskan membuat museum itu dengan dukungan modal dari sejumlah kawan dan pinjaman dari bank. Dia mengumpulkan sekitar 10 ribu barang khas Jerman Timur, mulai dari kondom sampai proyektor film. Museum swasta itu dibuka tahun 2006 dan tiap saat menampilkan 600-an objek di ruang pamernya.

Menengok Jerman masa perang dingin tentu tak lengkap tanpa melihat sisa-sisa Tembok Berlin. Daripada ke Checkpoint Charlie, bekas pos jaga sektor Amerika Serikat yang dipenuhi turis, saya memilih ke East Side Gallery di Mühlenstraße dan Gedenkstätte Berliner Mauer di Bernauer Straße.

(bersambung sekali lagi saja….)

Komentar via Facebook | Facebook comments