Malam ini perhatian saya sedang terbagi antara main Candy Crush di ponsel dengan marah-marah sama orang di Facebook yang bilang nggak respek sama buruh yang menuntut kenaikan gaji. Iya, dua kegiatan yang memang nggak nyambung. Tetiba ponsel saya memainkan lagu I Will Follow-nya Lykke Li. Hati mendadak mencelos saat mendengar salah satu lagu favorit saya itu. Dan saya ingin nyerocos sedikit kali ini…
Selama tinggal di Budapest, saya lumayan sering mendengar lagu tadi di pesta-pesta yang saya sambangi di malam dan pagi hari di kota cantik itu. Pesta? Iya pesta. Keluar bareng kawan-kawan ke pesta di apartemen teman lain, disambung dansa-dansi di klab malam, lalu pulang di pagi hari. Atau makan malam di luar lalu nongkrong minum di ruin pubs kemudian ke klab malam lalu baru pulang ketika klab itu tutup. Nyaris tiap pekan kegiatan begini saya lakukan — kecuali saat ujian, tenggat tugas kuliah, dan jalan-jalan ke kota lain. Lagu I Will Follow itu juga nongol pas Spring Ball, pesta dansa musim semi yang diadakan CEU di kapal yang berlayar di Sungai Danube semalam suntuk.
Hedon? Ya memang sih. Habisnya gimana, saya diberkahi teman-teman yang menyenangkan, hidup di kota yang seru, di mana klab malamnya bebas asap rokok, minuman beralkohol murah meriah, jalan-jalannya relatif terang dan aman jam berapapun, tinggal di apartemen yang dilewati trem 24 jam, dan… duit beasiswa lebih dari cukup untuk mengongkosinya.
Ini bukan gaya hidup saya selama tinggal di Jakarta saat nguli di pabrik kata. Ya kamu tahu lah klab malam di Indonesia ini asap rokoknya lebih mematikan daripada bis kota ugal-ugalan. Minuman beralkohol, entah yang nendang ataupun basa-basi, yang aman (dalam arti nggak beresiko bikin peminumnya buta atau mati) relatif muahal buanget berhubung dikenai pajak ratusan persen dari harga jualnya. Lagu-lagu di klab malam pun yang biasanya ajeb-ajeb makjleb-makjleb yukdjum-yukdjum bak gudeg terdengar nggak karuan di telinga saya. Belum lagi yang datang ke klab malam biasanya dandan pol dari atas sampai bawah (jarang yang dandannya cuma sampai tengah.. halah) dan berbekal kartu kredit berlimit tak terbatas.
Soal alkohol, saya minum dengan menganggapnya sebagai cara bersosialisasi saja. Lagian rasanya juga nggak enak-enak amat. Bir? Ogah, baunya pesing. Wine? Mirip-mirip tape, tapi lumayan. Wiski? Pait. Sampanye? Bailey’s? Cocktail? Enak tapi ya mahal banget boooo. Anyway saya sih pegang prinsip selama nggak mabuk, berarti nggak apa-apa. Ya lagi-lagi soalnya gimana mau mabuk juga karena jarang ada yang nraktir, dan saya nggak kuat beli sendiri banyak-banyak hahaha.
Setahun di Den Haag saya lumayan menaikkan toleransi alkohol. Kadang bareng teman akrab dari Filipina, minum wine sambil cerita masalah pribadi sampai membahas masalah dunia jaman kiwari (iya, beneran serius kadang-kadang topiknya, kadang sok akademis segala pula ngobrolin teori segala hahaha). Rekor sekali minum nggak heboh, paling pol cuma setengah botol anggur merah. Tapi saya masih nggak doyan ke klab malam. Den Haag kota yang mahal gara-gara disesaki diplomat dan birokrat kelas atas beragam negara. Dampaknya ya jelas segala macam barang dan jasa di sana mahal, termasuk minuman dan hiburan.
Dunia saya berubah di Budapest. Selama sepuluh bulan, karena alasan-alasan yang saya sebutkan di paragraf ketiga (hihi silakan ditengok lagi), saya sering banget kelayapan malam di Budapest. Konsumsi alkohol dalam sepuluh bulan itu kalau ditotal ya jauh melebihi jumlah alkohol yang pernah saya minum selama 28 tahun sebelumnya. Oya musim dingin di sana juga lebih dingin dan panjang ketimbang Den Haag, sementara pacar tercinta nun jauh di utara dan penghangat di apartemen nggak pernah sanggup mengusir dinginnya salju, jadilah kehangatan perlu diraih melalui minuman beralkohol dan berdansa semalaman.
Dansa? Iya dansa. Jadi saya entah gimana akrab sama tiga kawan yang doyan dansa — satu dari Somalia, satu dari Kolombia, satu dari Nepal. Yang jago beneran sih cuma yang dari Somalia, partner in crime saya selama di Budapest. Ini anak jangkung nan cakep dan kadang bikin iman saya tergoncang, cuma berhubung dia cowok yang doyannya cuma sama cowok, saya aman lah di tangan dia. Dansa sama dia asik banget karena dia bisa mencocokkan ritme dan memimpin pasangannya. Kalau dia sudah mulai dansa latin sama teman dari Meksiko, aduh makkkkk seksi abis deh itu dua bocah. Saya sih sempat diajarin sedikit tapi berhubung kaki masih doyan aja gitu nginjek kakinya, dia kayaknya udah nyerah hahaha. Nah selama si anak Somalia ini belum sibuk tepe-tepe ke cowok cakep yang juga bertebaran di Budapest, saya bisa lah kebagian joget hore sama dia.
Budapest punya banyak ruin pubs, gedung-gedung nganggur yang diubah fungsinya jadi tempat minum dan klab. Mau yang murah banget sampai yang muihiiill ya silakan pilih, tapi saya dan kawan-kawan cukupan lah di level tengah-tengah. Biasanya sih kalau nggak di Instant, yang selalu ramai hari apapun, ya di Doboz (bukan ndobos ya.. hehehe). Saya lebih suka Doboz karena meski harganya sedikit lebih mahal ketimbang Instant, musiknya lebih bagus, ada dua ruangan — yang besar diisi musik techno/dance yang rada ngepop, sedangkan yang satunya diisi musik R & B, reggaeton, dan Latin. Belakangan ketika musim panas tiba, Holdudvar di pulau Margit jadi alternatif yang seru karena ruangan dansanya besar dan DJ-nya niat nge-mix lagu, nggak cuma muterin lagu doang.
Balik ke masalah alkohol, prinsip “asal nggak mabuk nggak apa-apa” sering terlanggar di Budapest. Maklum amatiran, kadang kelupaan nyampur minuman segala macam di perut. Katanya kan harus konsisten ya kalau minum, kalau wine ya udah semalaman wine aja, kalau gin and tonic ya udah gine and tonic aja, kalau sejenis wiski macam Southern Comfort yang di sana jadi kesukaan saya ya udah wiski aja. Nah berhubung saya belum tahu, semua diicip, ya pagi belum menjelang, saya sudah keburu mengeluarkan isi perut… Sumpah nggak enak banget rasanya, mana sempat kejadian 3-4 kali selama saya di sana. Serius saya nggak bangga, sedih juga kalau inget jijiknya kayak apa pas sadar huhuhu. Tapi biasanya saya cuma tipsy alias agak melayang aja kok. Masih bisa pulang sendiri dengan sehat wal afiat.
Sudah hampir dua bulan saya kembali ke Indonesia, dan belum sekalipun saya ke klab malam, berdansa, apalagi minum alkohol. Tapi rasanya saya nggak ingin melakukan semua itu di Jogja ataupun Jakarta. Serius, saya superkangen Budapest! Kapan ya bisa pesta lagi di Budapest?
Leave a Reply