Halo! Kemarin baru saja Hari Kartini lewat. Terlepas dari apapun kontroversi di baliknya — mulai dari apa sih sebetulnya jasa Kartini untuk Indonesia sampai peringatan yang kerap terjebak pada lomba kebaya, menurutku Hari Kartini selalu bagus untuk pengingat bagi perjuangan kesetaraan gender di Indonesia.

Dengan kesetaraan gender maksudku adalah setaranya peran dan kesempatan di masyarakat ya, bukan berarti minta semuanya sama — setidaknya sekarang lelaki dan perempuan punya kemampuan biologis yang beda, jadi laki-laki nggak mungkin hamil atau menyusui, dan perempuan nggak bisa membuahi laki-laki.

Nggak jarang kita, ya paling nggak saya deh biar nggak dibilang main klaim hehehe, temui orang yang sinis kepada apapun yang berbau gender. Kesetaraan gender dianggap konsep yang cuma pepesan kosong, sesuatu yang ada di awang-awang. Pertanyaan standarnya: perempuan kan sudah banyak yang maju? Mau setara kayak apa lagi? Apa perlu kuli bangunan perempuan semua? Indonesia sudah pernah punya presiden perempuan tapi terbukti nggak mampu, masa’ perlu dikasih kesempatan lagi?

Lebih banyak lagi yang sinis, ngeri dan takut soal feminisme. Ih itu kan gerakan perempuan-perempuan marah yang anti cowok? Bukannya feminis itu lesbian doang? Feminis itu bertentangan sama agama Islam, hukumnya haram! Kamu pasti golongan sepilis! (aduh sori, boleh ngakak dulu ga? :D) Lalu satu lagi: halah aktivis feminis banyak yang koar-koar antipoligami, tapi malah pada selingkuh sana-sini…

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita bisa diskusi panjaaaaang sekali. Saya bukan ahli soal gender maupun feminisme, saya cuma perempuan yang feminis dan rada kecanduan pakai Google untuk cari informasi. Tapi saya ingin memberi versi ringkas jawaban saya untuk penentang feminisme.

Kondisi perempuan di Indonesia sekarang sudah jauh lebih baik ketimbang sekian dekade lalu. Itu jelas. Menurut Bappenas di berita ini, keterlibatan perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian naik dari 29.24 persen pada tahun 1990 menjadi 35.10 persen di tahun 2013.

Tapi bukan berarti perjuangan selesai menuju kesetaraan gender. Upah yang diterima pekerja perempuan dan laki-laki masih timpang: rata-rata upah buruh perempuan per bulan di sektor formal Rp 1.427.717, yakni cuma sekitar 77,7 persen dari upah Rp 1.812.606 yang diterima laki-laki.

Di sektor politik, kata Kementerian Pemberdayaan Perempuan, pemilihan legislatif tahun 2009 menghasilkan anggota DPR perempuan hanya 17,49 persen. Di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD jauh lebih kecil. Padahal jumlah penduduk perempuan cuma sedikit di bawah lelaki: berdasar statistik BPS tahun 2010, ada 118 juta perempuan di Indonesia, atau 49,66 persen dari populasi. Sedangkan penduduk laki-laki mencapai 50,34 persen. Dengan laju penambahan legislator perempuan yang lambat itu, PBB memperkirakan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan di parlemen Indonesia baru akan bisa dicapai pada tahun 2490 — saya sudah dikubur berapa abad, tuh…

Soal kuli bangunan perempuan, mereka sejak dulu sudah ada, meski tak sebanyak yang lelaki. Coba tengok di Bali, banyak saudari kita yang sehari-hari memecah batu dan terlibat dalam proyek konstruksi. Asumsi saya itu terjadi bukan karena kesetaraan gender, tapi demi cari nasi.

Dan kalau satu presiden perempuan kita tidak becus ngurus negara (paling nggak kata ibu saya, si presiden perempuan itu bikin malu ibu-ibu, seolah semua ibu sama lamban dan dodolnya hahaha), bukan berarti pintu buat presiden perempuan lainnya kita tutup dong. Buktinya kita punya banyak pejabat berjenis kelamin lelaki yang tak becus, tapi kita tidak menghalangi lelaki lain untuk jadi petinggi negara hanya karena jenis kelaminnya.

Lalu feminisme, serupa dengan “isme” lain, ini juga paham yang punya banyak aliran, meski sama-sama percaya soal pentingnya memajukan perempuan yang garis start-nya di masyarakat jauh di belakang lelaki. Memang ada feminis yang radikal dan benci lelaki, ada pula yang bersikukuh feminisme tak cocok dengan Islam. Saya termasuk golongan yang relatif moderat dan percaya, jika kita mau menafsirkan Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW dengan perspektif terbuka, Islam dan feminisme bisa berjalan beriringan, tidak berseberangan. Islam justru merupakan agama yang memberi keadilan pada perempuan dan laki-laki, artinya senafas dengan perjuangan untuk kesetaraan gender dan feminisme.

Ihwal feminis itu identik dengan lesbian… ya memang ada feminis perempuan yang lesbian, ada feminis yang biseksual, ada feminis yang heteroseksual. Saya pribadi menganggap orientasi seksual seseorang adalah urusan masing-masing, serupa selera memilih baju atau sepatu, yakni pilihan yang dipengaruhi oleh insting dasar, lingkungan, dan pengalaman. Saya pikir tak ada yang salah dengan perempuan dan/atau feminis lesbian. Salah satu sahabat saya adalah lesbian dan dia baik-baik saja. Yang perlu diingat: bukan hanya perempuan yang feminis, lelaki juga bisa. Jadi jangan kaget kalau ada feminis lelaki yang homoseksual, biseksual, atau heteroseksual. Apapun orientasi seksual si feminis, itu tidak mengurangi bobot pentingnya inti feminisme yang ingin perempuan setara dengan lelaki.

Terakhir, aktivis perempuan yang antipoligami tapi selingkuh. Apapun alasannya, saya termasuk orang yang berpandangan selingkuh itu salah. Jujur, saya akui saya pernah terjebak di situ pula. Itu bukan pengalaman yang membanggakan. Saya justru menyesal sampai sekarang, dan tetap beranggapan selingkuh itu tidak pernah bisa dibenarkan. Tapi sekali lagi, seperti juga orientasi seksual si feminis, apa yang segelintir feminis lakukan dalam kehidupan pribadinya tidak membuat feminisme itu sendiri otomatis gugur ataupun cacat. Sama saja dengan meski ada pemuka agama yang ngawur dan jelas melanggar aturan agamanya, bukan berarti si agama itu sendiri salah.

Terus… apa hubungannya Kartini dengan cantik versi industri? Hehe, karena tulisan ini sudah terlalu panjang, saya bahas di entri berikutnya, ya. YUK LANJUT KLIK DI SINI 🙂

NB: Gambar Kartini disalin dari sini.

Komentar via Facebook | Facebook comments